"Tin?"
"Aku baik-baik saja," jawab Tin, "sebenarnya siapa pria itu?"
"Dia ... Tuan Pavel, isri ...."
"Ahk ...." ringis Kattie memegangi perutnya, hingga menarik perhatian Tin yang langsung menghampirinya.
"Dokter akan mengobati lukamu," ucap Tin, mengabaikan Ping.
"Bukankah kita harus menuntut pria gila itu?"
"Menuntut?"
"Lihatlah, dia sudah menyakitiku, apa kau tidak melihat itu? Dia membuat wajahku terluka, aku bahkan merasakan sakit di sini," balas Kattie memegangi pinggangnya yang terasa terbela dua karena mendapatkan bantingan dari Pavel.
"Apa terjadi sesuatu?"
"Aku rasa tulang rusukku patah, aku tidak bisa diam saja, kau harus benar-benar menuntutnya," balas Kattie sebelum Dokter Jony datang menghampiri.
"Dokter, tolong periksa kondisinya," ucap Tin.
"Yah, Tuan. Silahkan berbaring di sini, Nyonya Kattie," balas Dokter Jony mempersilahkan Kattie untuk berbaring di atas tempat tidur, sedang Tin masih duduk di sofa dengan Ping yang tengah memegangi infusnya.
Melamun di sana dengan tatapan kosong, tatapan mata Tin terus tertuju ke arah luar jendela, entah apa yang tengah di pikirkan oleh pria itu. Mengabaikan Kattie yang masih berbaring di hadapannya, tak mendengar apa pun yang di katakan Dokter Jony padanya, hingga lamunan Tin buyar saat Ping memegangi bahunya dengan perlahan.
"Tin ...?"
"Ada apa?" tanya Tin mendogak, menatap wajah Ping.
"Sepertinya istri Anda mengalami retak tulang rusuk," ucap Dokter Jony yang langsung mengakhiri pandangan Tin yang sempat bingung, sebab tak begitu menyimak perkataan Dokter Jony.
"Maaf?"
"Istri Anda mengalami keretakan di tulang rusuk, dan akan ada pemeriksaan lanjutan untuk memastikan, jika keretakan di tulang rusuk istri Anda tidak berakibat fatal," jelas Dokter Jony.
"Yah," angguk Tin masih bingung, "dia ... baik-baik saja, 'kan?"
"Nyonya Kattie masih harus melakukan pemeriksaan radiologi agar kita dapat melihat bagian dalam tubuh pasien untuk mendapatkan petunjuk mengenai kondisi medis yang dialami."
"Ah, iya ... baiklah. Aku akan mengantarnya untuk melakukan pemeriksaan," balas Tin.
"Tin, kondisimu masih belum memungkinkan untuk bergerak terlalu sering," sahut Ping.
"Aku baik-baik saja, Ping." Tin langsung bangkit dari duduknya, bersamaan dengan kepalanya yang kembali berdenyut nyeri dengan pandangan yang tiba-tiba buram.
"Sayang, sebaiknya kau istirahat, aku bisa ke ruang Radiologi sendiri," ucap Kattie berjalan menghampiri, "kau tidak perlu khawatir, aku bisa sendiri."
"Kau yakin?" tanya Tin mengusap wajah penuh memar Kattie.
"Yah, aku yakin. Aku tidak ingin melihatmu sakit. Istirahatlah," balas Kattie tersenyum manis di sana hingga membuat Ping muak.
Sebenarnya siapa wanita ini? Mengapa ia bisa mencuci otak Tin dengan cepat.
"Ping, bisakah kau mengantarkan Kattie ke ruangan Radiologi?" tanya Tin membuyarkan lamunan Ping yang langsung mengangguk cepat.
"Tentu saja. Dengan senang hati," angguk Ping.
"Aku rasa tidak perlu, Sayang. Aku benar-benar bisa sendiri," balas Kattie menolak, dengan langsung melayangkan tatapan tajam yang penuh kebencian ke arah Ping yang tak berkomentar apa pun, selain satu sudut bibir yang terangkat ke atas, membentuk sebuah smirk.
"Ping akan mengantarmu Kattie, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu," ucap Tin terlihat tak ingin di bantah.
"B-baiklah," angguk Kattie pasrah sambil terus menatap wajah Ping yang kini tersenyum padanya.
"Silahkan, Nyonya Kattie." Ping mempersilahkan.
Sedang Tin kembali membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil memejam menahan rasa sakit di kepala, dan entah mengapa, semakin mengingat keributan beberapa menit lalu, kepala Tin semakin berdenyut nyeri, di tambah lagi saat wajah dan tangis Pavel kembali terlintas di pikirannya, dan tak hanya kepala, hatinya juga berdenyut nyeri dan semakin merasakan sakit.
Sedang di luar ruangan, Kattie melangkah dengan gelisah dan terlihat tak ingin bersama Ping yang saat ini tengah mengamati dirinya dari belakang.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Ping seketika menghentikan langkah kaki Kattie yang langsung membalikkan tubuhnya.
"Kau tampak penasaran denganku, Tuan." Kattie bersidekap di hadapan Ping yang sudah berdiri tepat di hadapannya, menatapnya tajam seolah ingin menguliti tubuhnya hidup-hidup.
"Sebaiknya jawab saja aku!"
"Apa aku harus melakukan itu?"
"Tentu saja kau harus, Nona!"
"Lalu apa yang akan kau lakukan jika aku menolak, memaksaku?" tanya Kattie dengan satu alis terangkat ke atas.
"Yah, jika kau terus menutup mulutmu!"
"Aku rasa tidak semudah itu, Tuan. Kau lupa, jika aku adalah istri Krittin Tunner?"
"Istri Krittin Tunner adalah Pavel Tunner. Bukan Anda!"
"Yah, benar. Tapi sayangnya, Krittin sudah tidak mengingatnya lagi," balas Kattie tertawa.
"Ingatannya tidak akan selamanya hilang."
"Kau yakin?" tanya Kattie menyeringai, "aku rasa kau salah, aku bisa saja membuat ingatan Krittin menghilang selamanya," sambungnya sebelum kembali meringis saat merasakan sakit di tulang rusuknya.
"Sebaiknya jangan melakukan apa pun. Nona, aku tidak bisa menjamin jika kondisimu akan baik-baik saja jika terjadi sesuatu dengannya."
"Kau mengancamku?"
"Yah, ada apa? Kau takut?" balas Ping menyeringai.
"Aku tidak pernah takut pada siapa pun!"
"Baguslah. Karena aku tak pernah memandang gender saat akan mengeksekusi musuh," balas Ping sebelum melangkahkan kakinya.
"Tunggu!" seru Kattie memegangi perutnya. Sedang Ping hanya menghentikan langkah kakinya tapi tak berniat untuk membalikkan tubuhnya.
"Bukankah kau akan mengantarku?" tanya Kattie dengan tidak tahu malu, melangkah mendekati Ping dan berdiri di depan pria itu sambil menyodorkan tas yang ia pegang sejak tadi, "kau bisa membantuku membawa ini," sambungnya menyeringai.
"Apa kau merasa sudah berhak memerintahku?" tanya Ping yang bahkan tak menyentuh tas milik Kattie sedikit pun.
"Bukankah kau tangan kanan suamiku? Atau ... budaknya? Jadi kau juga harus menuruti perintahku."
"Aku rasa ekspetasi Anda terhadapku terlalu tinggi, Nona. Bukankah sudah aku katakan, jika aku hanya akan menuruti perintah Pavel Tunner, istri dari Krittin Tunner. Jangan buat Dokter menunggu. Aku harap tulang rusuk Anda baik-baik saja," balas Ping yang langsung melangkahkan kakinya, meninggalkan Kattie dengan wajah yang kini memerah menahan amarah.
"Lihatlah saja nanti, apa yang akan aku lakukan!" gumam Kattie yang langsung mengambil ponsel dari dalam tasnya dan terlihat menghubungi seseorang.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
For HIM Book '2'
RomanceSekuel dari cerita 'For HIM' musim pertama. Dan sesuai dengan genrenya 'darkromance', akan ada konflik dan tokoh baru di dalam cerita ini, sekaligus menuntaskan kisah cinta yang belum berakhir pada tokoh sebelumnya.