CHAPTER 48

290 38 2
                                    

"Yah, dugaan Anda benar. Apa aku salah tuan?" tanya Kattie hingga membuat Ryu meradang, wajahnya tampak memerah menahan amarah, dengan suara gigi yang saling beradu hingga menimbulkan suara gemeretak. Jika saja tak melihat Tin, mungkin ia sudah mematahkan leher wanita itu dan meremukkan seluruh tulangnya.

"Mulai hari ini, sebaiknya teruslah berdoa agar Tuhan selalu melindungimu, Nona," ucap Ryu sebelum melangkah keluar dari ruangan tersebut.

Berlari mengintari koridor rumah sakit, meninggalkan Kattie dan Tin yang seketika terdiam, menatap Kattie tajam. Entah mengapa perasannya tiba-tiba merasakan sakit saat mengetahui Pavel di bawah ke kantor polisi, sebab yang ia tahu, kondisi Pavel dalam keadaan tidak baik, dan itu terlihat jelas dari wajahnya yang tampak pucat pasih.

"Sayang ...."

"Apa yang sudah kau lakukan padanya?" tanya Tin dengan wajah datar.

"Melaporkannya ke pihak berwajib atas kasus penganiayaan. Ada apa sayang?" 

"Apa kau perlu melakukan itu?" tanya Tin tampak tak suka.

"Tentu saja, apa yang salah dengan itu? Lihatlah. Dia membuatku terluka, apa kau tega melihat kondisiku seperti ini?" balas Kattie balik bertanya.

"Aku rasa kau terlalu berlebihan."

"Apa menurutmu begitu Sayang? Berlebihan seperti apa yang kau maksud? Aku hanya menuntut keadilan. Orang itu menyerangku, kau bahkan melihat itu sendiri, lalu apa yang berlebihan menurutmu?" tanya Kattie berkaca, dengan air mata kini menitik dari sudut matanya, membasahi pipi yang masih terlihat memar di hampir seluruh wajah akibat ulah Pavel yang membabi buta menghajarnya habis habisan.

"Maaf, aku hanya tidak suka kau melakukan sesuatu tanpa sepengetahuanku. Seharusnya kau mengatakan hal itu padaku," balas Tin.

"Bukankah aku sudah mengatakan itu? Aku bahkan sempat membahasnya denganmu, tapi kau mengabaikanku," balas Kattie yang sejujurnya mulai cemas, saat melihat reaksi Tin yang tampak mengkhawatirkan Pavel.

"Yah, aku mengabaikan karena tak ingin kau terlibat lebih jauh lagi," balas Tin, mengusap air mata di wajah memar Kattie.

"Kau terlihat sangat perduli pada pria asing itu," ucap Kattie yang kembali membuat Tin terdiam sesaat, dan apa yang di katakan Kattie barusan memang benar, ia merasa sangat mengkhawatirkan pria itu, bahkan ia sendiri tidak tahu, mengapa sangat mencemaskannya. Terlebih saat ia kembali mengingat mimpinya semalam. Semakin tak asing dengan suara pria yang sedang menangis itu.

"Maaf," balas Tin kembali melangkah ke arah tempat tidur sebelum Kattie meraih tangannya. 

Perasaannya seketika menjadi tak tenang, entah apa yang terjadi dengannya saat ini, yang jelas ia merasa sangat marah, kecewa, sedih juga khawatir. Perasaan yang bercampur aduk hingga membuat kepalanya semakin berdenyut.

"Sayang ... apa kau marah padaku?" tanya Kattie mulai khawatir dengan tingkah Tin saat ini. 

"Tidak. Aku hanya kecewa padamu," balas Tin masih berdiri di depan jendela.

"Baiklah, maafkan aku." Kattie memilih mengalah, ia akui mulai emosional, karena merasa jika sudah merasa memiliki Tin. Dan hal itulah yang ia takutkan, jatuh cinta kepada pria yang sudah menjadi target mereka.

"Yah," angguk Tin.

"Kita akan pulang sekarang, kata Dokter Jony kondisimu sudah membaik," balas Kattie sedikit merasa lega.

"Hmm, aku juga tidak bisa lebih lama di sini," ucap Tin, tak memalingkan pandangan dari luar jendela. Aku harus bisa menyelesaikan semuanya, secepat mungkin. 

"Selamat siang , Tuan Krittin, Nyonya Kattie," sapa seseorang yang sudah berdiri di balik pintu.

"James? Kau di sini?!" tanya Kattie membalikkan tubuh dengan wajah yang seketika panik saat melihat kehadiran James di sana.

"Siapa kamu?" tanya Tin saat mendapati James yang tengah berdiri di samping Kattie.

"Perkenalkan, Tuan. Aku James. Kakak Kattie. Istri Anda," jawab James.

Kening Tin mengernyit. "James?"

"Iya, Tuan. Aku rasa Anda sudah melupakanku."

"Maaf."

"Tidak masalah, Tuan. Aku datang untuk menjemput Anda dan Kattie," balas James mengalihkan pandangan ke arah Kattie.

"Terima kasih, James. Kau tidak perlu serepot itu." Tin meraih mantel untuk di pakainya usai mengganti baju yang sudah di siapkan oleh Kattie.

"Tentu saja tidak, Tuan."

"Sayang, kita akan kembali ke rumah, dan aku bisa merawatmu di sana," Balas Kattie membantu melilitkan syal di leher Tin.

"Terima kasih," angguk Tin.

Meraih ponsel yang di berikan oleh Ping beberapa hari lalu dan menghubungi seseorang. Panggilan yang hanya berlangsung beberapa detik sebelum Tin melangkahkan kaki keluar dari kamar tersebut, dengan Kattie yang menggandeng lengannya, dan James yang menyusul dari belakang dengan sebuah tas pakaian di tangannya.

Melintasi satu kamar VVIP yang tak jauh dari kamarnya, pandangan Tin tertuju pada satu nama yang tertera di pintu kamar VVIP tersebut. 'Pavel Tunner' dua kata yang cukup membuat jantung Tin berdebar, terlebih dengan nama 'Tunner' di belakang nama pria itu. Ia pun bisa melihat kondisi kamar kosong di sana, dan entah mengapa hatinya tiba-tiba merasakan sakit.

"Kau baik-baik saja?" tanya Kattie dengan nada pelan, sambil mengusap lengan Tin dengan lembut.

"Hmm," angguk Tin kembali melangkahkan kakinya dengan satu tarikan napas panjang untuk mengurangi sesak di hatinya.

__

__

Police Station

Tiga jam pemeriksaan, Pavel mendapatkan beberapa pertanyaan dan untuk yang pertama kalinya ia tak bisa menjawab satu pertanyaan pun, meskipun itu hanya pertanyaan sederhana. Bayangan Tin memeluk Kattie sungguh menghantui pikirannya saat ini, hingga ia lebih memilih untuk bungkam dengan pikiran kosong.

Hingga beberapa menit kemudian, Pavel di masukkan ke dalam sel, duduk di atas lantai dingin sambil memeluk kedua lututnya. Membenamkan wajah di sana saat rasa sakit kembali menderanya. Nyeri di kepala dan juga hati ia rasakan bersamaan. Bahkan tubuhnya mulai menggiggil bersamaan dengan suhu tubuhnya yang mulai meninggi. Namun, Pavel tak peduli, ia terlalu lelah untuk mengatakan ke sipir penjara jika saat ini tubuhnya di rasakan sangat sakit. Sebab ia rasa, memejam untuk sementara adalah hal yang paling ia butuhkan saat ini.

Meringkuk di atas lantai dingin, sambil merasakan sakit di seluruh tubuh, suara gaduh mulai terdengar di luar sel. Namun, tak cukup menarik perhatian Pavel yang masih memejam dengan tubuh semakin menggigil karena kedinginan. Hingga di menit kemudian ia bisa merasakan saat rambutnya di usap lembut, dengan sesuatu yang tebal dan hangat menyelimuti tubuhnya yang di gendong dan di bawah pergi.

"Kau akan membawaku ke mana? Seharusnya kau tidak disini," tanya Pavel dengan suara serak saat mencoba untuk membuka kelopak matanya yang berat, dan kembali menatap wajah yang sudah hampir empat hari ini terus ia lihat menemaninya. Bahkan belum sempat mendengarkan jawaban dari pria itu, kesadaran Pavel kembali hilang, akibat suhu tubuh yang tinggi juga rasa sakit di tubuh juga hatinya.

---

---

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
For HIM Book '2'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang