Isabella melangkah santai di koridor akademi yang panjang, cahaya bulan dari jendela tinggi menyinari lantai marmer, menciptakan bayangan samar setiap kali ia melewati tiang-tiang besar di sisi kanan dan kiri. Setelah makan malam, suasana akademi mulai lengang, sebagian besar siswa sudah kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat atau menyelesaikan tugas. Namun, bagi Isabella, malam pertama setelah kembali ke St. Britannia adalah waktu yang sempurna untuk kembali ke rutinitas lamanya—berkunjung ke perpustakaan.
Saat ia hampir sampai di ujung koridor, langkahnya terhenti ketika melihat seorang pemuda berjalan dari arah perpustakaan. Rambut cokelat gelapnya tertata rapi, setelan jasnya masih terlihat sempurna meski hari telah beranjak malam. Theodore. Mata Isabella berbinar sedikit, ia tak menyangka akan bertemu dengannya di waktu seperti ini.
"Pangeran Theodore!" sapanya ringan.
Theodore menghentikan langkahnya sejenak. Ia menatap Isabella sekilas, lalu hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Tidak ada ekspresi berlebihan di wajahnya, tetap tenang dan sedikit dingin seperti biasanya. Tapi kemudian, seolah menyadari sesuatu, ia akhirnya bertanya dengan suara rendah, "Mau ke mana?"
"Ke perpustakaan," jawab Isabella tanpa ragu. "Aku belum sempat ke sana sejak kembali ke akademi."
Theodore menahan napas sejenak. Ingatannya langsung tertuju pada Louis yang masih berada di perpustakaan. Ia tak ingin Isabella bertemu dengannya, apalagi setelah mengetahui bahwa Sebastian telah menyetujui kerja sama dengan Louis.
Tanpa menunjukkan keraguan, Theodore berkata dengan datar, "Perpustakaan sudah tutup. Aku baru saja dari sana."
Isabella menyipitkan mata, jelas tidak langsung percaya. "Benarkah? Kurasa masih ada waktu sebelum benar-benar tutup. Lagipula, kalau baru saja dari sana, seharusnya aku bisa melihat pustakawan yang keluar untuk mengunci pintu."
Theodore tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Ia tahu bahwa Isabella tidak akan semudah itu termakan kebohongannya. Bagi seorang bangsawan, hal paling dasar dalam berhubungan adalah mencari tahu apakah lawan bicara menyampaikan kebenaran atau kebohongan. Theodore tahu itu, tapi dia tetap nekat untuk membohongi Isabella.
Isabella melangkah maju, bersiap untuk melewati Theodore dan mengecek sendiri ke perpustakaan. Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, Theodore meraih pergelangan tangannya. Isabella terkejut. Sentuhan itu datang begitu tiba-tiba, membuatnya menegang sejenak. Ini pertama kalinya Theodore melakukan kontak fisik dengannya.
"Jangan ke sana," kata Theodore singkat, suaranya terdengar lebih tegas dari biasanya.
Isabella menatapnya dengan bingung. "Kenapa tidak? Kalau kau bilang perpustakaan tutup, seharusnya tidak masalah kalau aku memastikan sendiri," katanya dengan nada menantang, meski terlihat sedikit kerutan samar di dahinya.
Theodore tidak menjawab. Ia hanya semakin mengeratkan genggamannya, sebelum mulai menarik Isabella menjauh dari koridor itu.
"Pangeran Theodore, tunggu!" Isabella berusaha menahan langkahnya, tapi tenaga Theodore lebih besar. Ia bisa merasakan detak jantungnya mulai berpacu lebih cepat karena situasi yang tiba-tiba ini.
Theodore tidak berhenti. Ia terus membawanya melewati lorong-lorong akademi, menjauh dari perpustakaan.
Isabella tidak tahu harus berkata apa. Theodore selama ini bukan seorang yang sembarangan bertindak tanpa alasan. Jika dia sampai melakukan hal ini, pasti ada sesuatu yang ia sembunyikan.
Langkah mereka akhirnya berhenti di sebuah koridor yang mengarah ke taman belakang akademi. Tempat ini sepi, tak ada seorang pun di sekitar mereka. Hanya ada cahaya remang dari lampu-lampu dinding yang menerangi jalur batu yang mengarah ke taman.

KAMU SEDANG MEMBACA
7 PRINCES
RomanceDi Tanah Aurion, perang telah mereda, tetapi bayang-bayangnya masih mengintai di setiap sudut istana. Dendam lama belum terkubur, dan rahasia yang telah lama disembunyikan mulai terungkap sedikit demi sedikit. Sebastian Whitmore dan Theodore Ashford...