Chapter 6: Persiapan Menuju St.Britannia

271 15 0
                                    

Cahaya matahari sore yang keemasan menembus jendela kaca besar di kamar Pangeran Jay, memantulkan sinarnya ke permukaan lantai marmer yang mengilap. Langit di luar mulai bersemburat jingga, menandakan hari yang hampir berakhir. Ruangan luas itu dipenuhi dengan nuansa biru-putih dengan sentuhan emas yang khas dari kerajaan Lunar. Tirai panjang yang melambai lembut diterpa angin malam menambah kesan tenang di ruangan itu. Beberapa pelayan sibuk mengurus pakaian, menyusun mantel berbahan wol halus dan seragam khas bangsawan yang telah disiapkan untuk keperluannya di St. Britannia.

Jay sendiri tengah duduk di tepi ranjang, ia mengenakan kemeja putih dengan hiasan bordir keemasan pada kerahnya. Matanya memeriksa sebuah buku yang hendak ia bawa, jemarinya menyentuh sampulnya dengan hati-hati, sebelum memasukkannya ke dalam koper kulit yang sudah setengah penuh. Matanya sempat tertuju pada pedang berukiran lambang keluarga yang tersandar di dekat meja. Itu adalah pedang latihan yang selalu ia gunakan, tetapi di St. Britannia, ia harus beradaptasi dengan aturan yang berbeda.

"Pastikan semua barang yang diperlukan sudah siap sebelum malam ini," ujar salah seorang pelayan dengan suara sopan, memerintah pada pelayan lain, dia kepalanya. 

Kepala pelayan membungkuk hormat sebelum bertanya, "Tuan Muda Jay, apakah ada sesuatu yang ingin Anda tambahkan?"

"Bawakan juga alat tulis dan surat kosong. Aku mungkin perlu menulis surat kepada Ayah atau saudaraku nanti," ucap Jay sambil menutup kopernya dengan hati-hati.

Kepala pelayan itu membungkuk hormat dan segera mengatur permintaan Jay.

Jay menghela napas ringan, menatap ke sekeliling kamar yang telah menjadi tempat tinggalnya sejak kecil. Meninggalkan kerajaan Lunar, meskipun hanya sementara, tetap menimbulkan perasaan campur aduk dalam dirinya.

Namun, dalam hatinya, ia merasa sedikit ragu. Meninggalkan istana, keluarganya, dan memasuki lingkungan baru selalu membawa ketidakpastian. Tetapi sebagai pangeran, ia harus menerima takdirnya dengan kepala tegak.

— 7 PRINCES —

Di ruangan kerja Raja Frederik, ketegangan terasa begitu nyata. Ruangan itu berhiaskan dinding biru tua dengan lambang kerajaan yang terpampang megah di belakang kursi sang raja. Meja kayu ek besar dengan ukiran detail menjadi pusat perhatian, dengan beberapa dokumen penting tersusun rapi di atasnya.

Raja Frederik duduk di kursinya dengan ekspresi tenang namun tegas, sementara di hadapannya, Isabella berdiri dengan sorot matanya yang berbinar tajam, mencerminkan ketidaksetujuannya terhadap keputusan yang baru saja ia dengar.

"Kau juga akan ikut ke St. Britannia, Isabella. Aku sudah mengurus semuanya," ujar Raja Frederik, suaranya tenang namun penuh kewibawaan.

Isabella terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Apa? Tapi... aku tidak ingin ke sana. Lagipula, aku bukan anak kandungmu, Ayah. Ini terlalu berlebihan."

Sang raja menatapnya dalam-dalam, matanya yang tajam memancarkan keteguhan hati seorang pemimpin. "Kau tetap putri dari kerajaan Lunar, Isabella. Dan sebagai seorang putri, kau harus mendapatkan pendidikan terbaik."

Isabella menggeleng, frustrasi. "Aku bisa belajar di istana. Aku tidak perlu ikut Kak Jay ke sekolah itu."

"Ini bukan hanya tentang pendidikan," Raja Frederik menambahkan, suaranya sedikit melunak. "Ini tentang masa depanmu. Kau harus memahami bagaimana dunia bekerja di luar istana."

Isabella menggigit bibirnya, merasa terjebak. Hatinya bergejolak antara menolak dan menerima kenyataan yang dipaksakan padanya.

— 7 PRINCES —

Jay sedang menata buku-buku favoritnya di atas meja ketika suara langkah kaki kecil terdengar mendekat. Beberapa pelayan yang tadi membantunya telah keluar dari kamarnya. Ia menoleh dan mendapati Luca, adik laki-lakinya, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh harap. Anak laki-laki itu mengenakan kemeja putih dengan rompi biru tua dan celana panjang krem, pakaian khas keluarga kerajaan.

"Kakak," panggilnya pelan, lalu melangkah masuk. "Bolehkah aku ikut bersamamu ke St. Britannia?"

Jay menutup bukunya dan tersenyum kecil. "Luca, kau masih terlalu muda. St. Britannia memiliki batasan usia."

Luca mengerutkan alisnya, berusaha mencari celah. "Tapi... bagaimana dengan Matthias? Mungkin dia bisa ikut juga?"

Jay menggeleng sambil terkekeh. "Matthias juga belum cukup umur. Kalian baru bisa masuk dua tahun lagi."

Luca mendesah kecewa. Ia sangat ingin ikut, tetapi aturan akademi itu tidak bisa diubah. Seandainya Luca berasal dari keluarga bangsawan dari Ravellion, pastinya dia akan mendapat hak untuk masuk tanpa harus menunggu dua tahun lagi. 

St.Britannia berada di wilayah Kerajaan Ravellion. Hal itu membuat St.Britannia memiliki aturan khusus untuk tidak memperbolehkan bangsawan dari luar wilayah Ravellion yang masih berusia di bawah 17 tahun untuk mendapatkan pendidikan di St.Britannia. 

— 7 PRINCES —

Di sepanjang koridor istana Lunar, pilar-pilar putih menjulang tinggi dengan lampu gantung berukir emas menggantung di langit-langit. Isabella berjalan dengan langkah sedikit terburu-buru, ekspresi kesal masih tergambar jelas di wajahnya. Ia tidak menyadari seseorang mendekat dari arah berlawanan hingga akhirnya suara familiar menyapanya.

"Kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Matthias, menatapnya dengan rasa ingin tahu. "Ada sesuatu yang terjadi?"

Isabella berhenti, menghela napas panjang sebelum menjawab, "Ayah ingin aku ikut ke St. Britannia."

Matthias mengangkat alis, terlihat terkejut. "Bukankah itu bagus? Kau seorang putri kerajaan. Sudah seharusnya kau mendapatkan pendidikan yang sama seperti Kak Jay."

Isabella menggigit bibirnya, enggan mengakui kebenaran kata-kata Matthias. "Aku... tidak yakin aku menginginkannya."

Matthias tersenyum lembut, matanya penuh pengertian. "Kau mungkin belum sadar sekarang, tapi ini kesempatan untuk membuktikan bahwa kau memang pantas berada di sana."

Isabella menatapnya, perasaannya bercampur aduk. Ia tidak yakin apakah yang ia rasakan adalah ketakutan atau sekadar penolakan atas takdirnya. Namun, kata-kata Matthias membuatnya berpikir ulang.

Sorot matanya yang tenang membuat Matthias dapat mengerti perasaan yang sedang dirasakan oleh Isabella. Matthias menghela nafas panjang, mengambil dua langkah untuk lebih dekat dengan Isabella. Tangannya terangkat, menyentuh pundak Isabelle, berbisik pelan di samping telinganya.

"Meski aku enggan mengakui ini, tapi umurmu dan umurku jauh berbeda. Kau seumuran dengan Kak Jay, tentu saja kau berhak mendapatkan kesempatan yang sama." 

Matthias melirik dari sorot matanya, mendapatkan lirikan yang sama dari Isabella. "Jika kau tidak ingin mengambil kesempatan itu, maka jangan sekalipun kau punya harapan untuk memiliki apa yang dimiliki oleh Kak Jay."

Tanpa berkata lagi, Matthias melangkahkan kakinya meninggalkan Isabella yang mematung di koridor. Pikirannya dipenuhi dengan permintaan Raja Frederik dan perkataan menusuk Matthias. Saudara tirinya itu berkata sesuai kenyataan yang dia hadapi. Sebagai seorang anak tiri, dia tidak memiliki hak untuk punya harapan sebesar menginginkan kepunyaan Jay. Akan tetapi, jauh dari dalam lubuk hatinya, Isabella memiliki sisi keserakahan yang belum terasah. 

Isabella enggan mengakui hal itu, namun berdiri di sebelah Jay adalah sebuah kesempatan langka sebagai anak tiri. Anak yang seharusnya tak berhak berdiri di jalan yang sama dengan anak kandung. Namun atas kebaikan Raja Frederik, atas kemurahan hati Raja, Isabella mendapatkan hak yang serupa. Benar-benar sesuatu yang langka dalam kehidupan Isabella.

Matthias benar. Jika ingin memiliki harapan untuk memiliki apa yang dimiliki oleh Jay, maka Isabella harus mengambil kesempatan emas itu. Kesempatan berharga yang tidak boleh dia lewatkan sedetik pun. 

7 PRINCESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang