"Coba lihat."
Jongho melirik sambil tak bisa menahan senyumannya, ketika lagi dan lagi Mingi menaruh lembaran kertas penuh dengan tulisannya di atas karpet tersebut. Duduk saling berhadapan, dengan sekitar yang berantakan; minuman dan makanan ringan, lembaran kertas lainnya, bungkusan kondom baru dan yang sudah dipakai, bahkan bantal. Semua itu terjadi sejak semalam, menuju pagi hari ini, di mana mereka masih belum mau beranjak, dan menikmati waktu yang dihabiskan berdua.
Kala itu, Jongho meninggalkan fokusnya dari hanya bersandar, untuk meraih kertas selanjutnya yang Mingi berikan.
Sambil menyampirkan pulpennya di sela telinga, Mingi merapat, dan bergelayut manja padanya. Mingi memposisikan diri di tengah kedua kaki sang termuda, untuk bersandar dari arah samping, agar bisa melihat kertas yang diangkat itu.
"Itu hasil gue selama di klub tulis--udah bisa bantu lo nulis belum?"
Jongho membaca beberapa paragraf yang Mingi tulis.
Di mana jelas, Mingi menatap penuh harap.
Selagi Jongho, menatap kekasih yang baru beberapa bulan menjalin hubungan lebih dengannya--setelah selama ini hanya berteman--itu meringis, untuk menggelengkan kepala. "Lo beneran cocoknya nulis lirik atau puisi deh, kalau narasi agak kurang."
"Orang puitis gak bisa bikin narasi, kah?" tanya Mingi cemberut, memasang wajah sedihnya--secara bercanda. "Gue perasa loh."
Jongho memang berpikir lurus, terarah, dan seharusnya tidak mengejutkan Mingi lagi saat mengangguk. "Ya, lo perasa, bagus untuk menyampaikan perasaan, Kak. Tapi, menurut gue, penulis narasi fiksi yang baik itu saat lo sensitif, bukan hanya perasa--kecuali kalau fokus lo mau bikin sastra untuk rangkai kata-kata indah. Lo harus sensitif sama semua perasaan di sekitar lo, bisa lihat semua sudut pandangnya. Kalau hanya mengandalkan jadi perasa, fokusnya nanti cuma di satu orang."
"Tapi ada sudut pandang orang pertama, 'kan?"
"Betul." Jongho balas memeluk Mingi, tapi menggunakan kedua kakinya. Jongho menarik rapat, memeluk erat dalam senyumannya. Sebelum kemudian Jongho melirik lagi, hasil karya tulis dari Mingi yang berusaha. "Banyak orang berpikir mereka berhasil menyampaikan perasaan dengan sudut pandang pertama, dan benar sebagian, tapi nyatanya banyak juga yang gagal karena mereka malah egois. Mereka gak menganggap adanya sudut pandang lain untuk sebuah sebab-akibat. Semua hal dijadikan pembenaran. Gue sendiri melihat, banyak yang pakai sudut pandang pertama berakhir dengan bermain jadi korban. Makanya, perasa aja gak cukup--kita itu harus merasuk jiwa ke dalam karakter-karakter inti yang terlibat, sekalipun yang kita pakai adalah sudut pandang orang pertama."
Mingi cemberut dalam memahami, karena yang diinginkannya hanya terus menempel bersama Jongho.
Selagi Jongho mulai melipat kertas tersebut, sebelum menaruhnya ke belakang--pada sofa yang disandarinya, secara hati-hati.
Dan itu membuat Mingi mengernyit heran.
Sedangkan Jongho mulai bebas, untuk memeluk Mingi dengan tambahan kedua lengannya.
"Kenapa dilipat?"
"Mau gue simpan." kata Jongho, lalu menunjuk kertas-kertas lain yang memiliki coretan hasil perjuangan Mingi sebelumnya. "Yang lainnya juga; tapi yang itu, ada satu baris buatan lo yang menurut gue sangat indah."