Usai mencuci piringnya, Hongjoong mengelap tangannya sendiri sebelum berbalik mengambil botol air mineralnya di atas meja pantry. Meminumnya seraya memperhatikan lekat, sang kekasih, duduk di kursi meja makan, dan sibuk membaca bukunya.
Ya, Hongjoong memang mengambil alih seluruh pekerjaan rumah.
Bahkan, seluruh mengenai keuangan--semuanya.
Kehidupan Yeosang benar-benar nyaman; hanya perlu menjadi pribadi yang baik, sebaik-baiknya hal buruk pernah terjadi beberapa tahun yang lalu.
Namun, ya, Hongjoong tahu.
Dengan tak ada keluarga Yeosang tersisa, Hongjoong memilikinya sepenuhnya.
Memang, sejujurnya, menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri itu menyesakkan, sekalipun semua sudah menjadi kebiasaan dan mungkin dirinya sudah beradaptasi. Tetapi tidak, semuanya salah.
Ketika orang-orang berpikir, manusia sepertinya yang bekerja lebih banyak dengan otak kiri, adalah pribadi yang kaku dan tertata. Hongjoong tak sepenuhnya demikian, bahkan cenderung bebas dan lebih menikmati rangkaian emosi tercipta. Selagi Yeosang, sang kekasih yang bekerja lebih banyak dengan otak kanan dianggap berjiwa penuh warna dan lebih memahami perasaan. Padahal pada kenyataannya, Yeosang sangat teliti, spesifik dan taat pada aturan.
Setidaknya itu yang terjadi sebelum kecelakaan mengenaskan itu.
Melibatkannya.
Nyaris mati.
Hongjoong berdiri di sampingnya dan Yeosang segera menutup bukunya--memastikan ada pembatas yang menjadi penanda di mana terakhir dia membacanya. Yeosang menatapnya sambil tersenyum tipis, siap untuk apapun jika Hongjoong meminta. Di mana Hongjoong menaruh botolnya di meja, sebelum menyentuh rambutnya, untuk mengusap.
Seonghwa itu... bermandikan banyak emosi.
Di sekujur tubuhnya.
Sedangkan Yeosang menyukai kemurnian... kesempurnaan...
Dan ketika Yeosang menawarkan diri semalam, untuk tak menahan dirinya lagi, adalah sesuatu yang Hongjoong inginkan.
Tapi tidak seharusnya terjadi ketika dirinya menaruh mata pada seseorang lainnya...
Menyulitkan.
Hongjoong berada dalam dilema.
"Kamu butuh aku melakukan sesuatu?" Yeosang bertanya padanya lembut.
Hanya memainkan helai rambut lembutnya, Hongjoong tak menjawab.
Yeosang memperhatikan sekujur tubuhnya sendiri dahulu, memastikan bahwa dia telah menghilangkannya. "Kamu tak mau menyentuhku karena aku masih kotor? Masih rusak? Aku minta maaf--"
"Kapan penulis itu akan mengambil bunganya?"
Saat kalimatnya dipotong, Yeosang beralih untuk menjawab. "Pukul 5-7, biasanya."
"Alright." Hongjoong mengangguk. "Aku akan keluar."
"Aku ingin ikut."
"Tak perlu." jawab Hongjoong.
Yeosang menggelengkan kepalanya, memasang tatapan memohon.
Tidak.
Tetap tidak.
Hongjoong sedang berada dalam dilema.
Benar-benar menginginkan Yeosang melawan traumanya, untuk mengembalikan dirinya yang dahulu...
...tapi, sialan, jangan di waktu sekarang?
Ada Seonghwa menarik perhatiannya.
Hongjoong bukan tipe seseorang yang melewatkan kesempatan. Bukankah itu yang membuatnya bisa mencapai seluruh yang menjadikannya di posisi ini atas karir dan segalanya, sekarang?