Ruangan itu hanya dikhususkan untuk karyawan.
Hanya Yeosang, di dalam ruangan lainnya--yang lebih kecil dari ruangan sebelumnya--menonton di dekat pintu, dari kekasihnya yang sedang menyalin rekaman CCTV untuk seminggu terakhir. Sebuah kegiatan di hari Minggu, secara rutin. Yeosang sangat terbiasa dan tak ada protes sama sekali, sekalipun toko bunga itu sebenarnya diberikan untuknya--walau Hongjoong yang membangun segalanya.
Begitu tersisa waktu hanya untuk menunggu, Hongjoong berbalik untuk menghadapnya.
Yeosang tentu menghadiahinya senyuman, toh, semua aman, bukan?
Tak ada hal-hal yang Hongjoong takutkan terjadi.
Walau Yeosang melihatnya.
Ketakutan itu kini terasa nyata.
"Apa tak bisa kita antar saja?"
Pertanyaan itu tak sepenuhnya Yeosang mengerti.
Namun Yeosang tahu, kekasihnya adalah seseorang yang cukup keras mengenai pekerjaan.
Jadi jika yang dimaksud adalah...
"Penulis itu. Kita kirimkan saja bunganya agar bisa tutup hari ini."
Hongjoong tak pernah seperti ini.
Selagi Yeosang hanya memberikannya senyuman, Hongjoong merapat ke arahnya, sebelum memeluk pinggangnya. Mengusap secara lembut, berhati-hati seperti biasanya, dan berakhir dengan menyembunyikan wajah di ceruk leher putihnya.
Dengan itu, Yeosang agak memiringkan lehernya.
Untuk sang kekasih lebih mudah mengecupinya, atau pun menggesek ujung hidung runcingnya.
Menggemaskan.
Yeosang merasa mendapatkan sesuatu, sebuah dorongan, untuk menggenggamnya lagi.
Laki-laki yang ditemuinya pertama kali di pameran, yang bisa mengerti karya-karya seninya. Juga, laki-laki yang bisa memahami seluruh kesempurnaan yang diagungkannya, selagi sulit sekali untuk orang lain bisa melihatnya.
Jadi pertama kali bertemu, Yeosang sangat ingat, betapa berharganya Hongjoong.
"Aku ingin diam, memelukmu."
"Kamu sedang memelukku." Yeosang menjawab seperti merespon anak kecil, dengan suara dan intonasi begitu halus. "Aku takkan pergi kemana pun, tapi yang kutahu, kamu justru lebih takkan suka jika kita tahu alamatnya, bukan?"
Terasa pada sapuan kulitnya.
Hongjoong menahan napasnya.
Hal itu membuat Yeosang menoleh sedikit padanya. "Aku tak mau tahu lebih banyak dari siapapun, jadi kita harus tetap buka, karena dia sudah membayar untuk satu bulan lebih, benar?"
"Ya."
Jawabannya singkat.
Yeosang mulai menyentuh punggungnya, menepuk pelan.
Dan pelukannya mengerat.
Sehingga itu adalah waktu yang tepat, untuknya menanyakan sesuatu pada Hongjoong. Satu hal yang dirinya coba untuk pastikan,
"Malam nanti, boleh berikan aku izin untuk melukis, bersamamu?"
apakah kekasihnya sudah siap, atau tidak sama sekali?
.
.
.
Sebelumnya, Hongjoong sangat menantikannya. Sekarang, Hongjoong kewalahan sendiri.
Semua skenario ketika secara tak terduga, karakter Yeosang yang sudah ditidurkan karena traumanya, akan bangkit lagi dapat membuatnya merasa senang, rupanya tidak. Dan ini bukan karena Hongjoong salah perhitungan. Namun adanya gangguan dari pihak lain, merusak perhitungan dirinya, dan membuat semuanya kacau.