"Cut!" teriak Sutradara dengan suara serak. Kedua alisnya mencuram, menandakan kekesalan pada sosok yang terpantul di matanya.
Zoey tertegun. Dengan pelipis berkeringat dingin, kakinya gemetaran berdiri di tengah panggung yang dikelilingi banyak orang. Gadis itu tidak bisa melihat siapa pun selain wajah-wajah gelap yang berusaha mengintimidasi dan menatapnya penuh kemarahan. Terdengar banyak suara keluhan yang masuk.
"Cepatlah menyanyi!"
"Sampai kapan adegannya mau diulang?"
"Haish, di sini panas sekali sialan!"
"Kenapa akting pemeran utama sangat buruk?"
Zoey menunduk sedalam-dalamnya tatkala mendengarkan cemoohan tersebut. Ia begitu pusing mencari jawaban mengapa aktingnya tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Apakah mungkin ... karena dia bukan Zoey yang asli?
Gadis itu menggeleng kuat. Seharusnya bukan seperti ini. Seingatnya, Zoey di buku dideskripsikan sebagai aktris paling top sedunia yang mana memiliki segudang bakat. Menyanyi, menari, memainkan alat musik, memainkan bermacam-macam peran, dan semuanya bisa dia lakukan di dunia hiburan. Akan tetapi, kini terdapat pengecualian bahwa dia tak bisa menyanyi.
"Lihat, tuh! Pak Sutradara jadi melampiaskan amarah ke juru kamera," ujar salah satu penonton saat melihat Sutradara melempar botol bekas air mineral ke kameramen.
"Mungkin dia sengaja memanggang kita di ruangan ini," timpal seseorang.
"Dia kira kami gampang jadi figuran?"
"Kenapa pula Sutradara memberikan pemeran utama kepada gadis tidak berbakat sepertinya?"
"Memalukan!"
"Ganti peran saja!"
Zoey mendengar langkah sepatu yang mendekat dengan tergesa-gesa. Gadis itu sedikit mengangkat kepala, melirik takut pada manajernya yang baru saja memohon maaf pada Sutradara. Terlihat kerutan di sekitar mata sang manajer.
"Nona, lakukanlah seperti biasa." Wanita itu menepuk pelan pundak Zoey dan membuatnya menelan saliva susah.
Gadis kecil tersebut mengangguk kaku. Seperti biasa apanya?
Tangan Zoey yang gemetar masih memegang mikrofon dengan erat. Ia memandang pria berkumis panjang di depannya, berjarak tujuh meter. Dia memegang pengeras suara kemudian meneriaki Zoey agar lebih serius.
"Semua atur posisi!" perintah Sutradara tersebut.
Zoey berjengkit kaget sekaligus merasa tertekan. Semua orang bungkam. Zoey pun memejamkan mata berusaha menenangkan rasa gugup. Ruang studio yang mendadak sepi dan hening membuat Zoey kian berkeringat dingin. Sudah puluhan kali take video dilakukan, tetapi aktingnya tidak pernah memuaskan orang-orang.
"Sudah siap?" tanya Sutradara sambil menatap para kru, kameramen, termasuk para pemain satu per satu. Mereka mengangguk mantab. "Ok. Action!"
Setelah mendengar aba-aba, Zoey dengan cepat membuka mata. Ia bahkan belum mengangguk, namun panggung tempatnya berdiri semakin terang oleh lampu sorot. Zoey mendapat banyak cahaya dari berbagai sisi. Musik yang sama pun diputar kembali untuk mengantar sebuah lagu.
Mereka berteriak seperti marah, seolah ingin menenggelamkan Zoey dari panggung ini. Teriakan para penonton bukan karena mereka menyandang status penggemar, melainkan mereka hanya pemain figuran yang dibayar. Justru penggemar asli adalah 'mereka' yang duduk di kursi berderet paling belakang. Sayangnya, tempat duduk tersebut benar-benar gelap.
Oh, tidak ... bibirnya gemetar lagi. Saat Zoey mendekatkan mikrofon, ia mencoba melantunkan satu baris, tetapi kata yang keluar menyerupai isak tangis anak kecil. Sontak hal itu membuat Zoey sendiri terkejut. Tanpa sadar ia menjatuhkan mic sehingga menimbulkan bunyi denging panjang yang cukup nyaring.
![](https://img.wattpad.com/cover/373583530-288-k629170.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuma Revisi
RomancePenulisnya lagi sibuk mengurutkan bab cerita! Stop disturbing.