Penambahan Lucas sebagai phobia sentuhan agak maksa. Di eps sebelumnya bisa dijelasin lagi karena dia terlalu santai interaksi sama Melisa, tapi bisa sih kalau Melisa bukan asing.
Wanita bersanggul itu menunggu kemunculan Edmund dengan wajah cemas. Ia melirik ke arah pria yang kini bersandar di pintu mobil sembari meniupkan asap rokok. Kalau tidak ada pria dia, mungkin sekarang mobil Lucas berhenti di tengah jalan.
"Anu, Sir. Terima kasih sudah membantu kami," ungkap Melisa memecah keheningan. Sikutnya menyenggol pelan lengan Lucas, membuat si empu menyadari kode yang diberikan.
Lucas tersenyum sambil mengarahkan tangan ke depan, meminta berjabat tangan. "Tidak hanya memberikan ban cadangan, Anda juga membantu kami memasang ban, dan menunjukkan jalan ke sini. Kami minta maaf karena telah menyita banyak waktu Anda, Mr. Glen."
Pria tersebut menginjak rokok seraya menarik sudut bibir, kemudian ia menarik tangan Lucas agar bisa berpelukan. Tentu saja Lucas terkejut bukan main. Melisa hanya bisa melotot melihat rekan kerjanya-si paling benci bersentuhan dengan pria-malah dipeluk oleh pria asing. Terlebih lagi, Mr. Glen memiliki tubuh yang kekar sehingga dirinya sulit bernapas.
"Tidak. Justru aku yang berterima kasih," ucapnya ramah. "Kalau kalian tidak datang kemari, aku mungkin kehilangan kesempatan untuk berbuat baik."
Pelukan Mr. Glen sangat mencekik. Lucas berusaha menepuk-nepuk pundak pria itu dengan tangan gemetar. "A-anda sungguh orang yang dermawan."
Mr. Glen melepas rangkulan diikuti senyuman lebar. "Tidak juga," jawabnya, membuat lawan bicara mengernyit.
"Melisa!" teriak seseorang dari kejauhan.
Tampak Andrew melambaikan tangan ke arah Melisa. Di belakangnya, terdapat dua orang berjalan pincang, tertatih-tatih menyusul langkah Andrew yang lebar. Sebenarnya kondisi kaki Zoey tidak lebih parah dari kondisi kaki Edmund. Namun, pria berjiwa medis itu tidak membiarkan seorang pasien memikul sakit sendirian. Ia menguatkan diri memapah Zoey meski dalam keadaan kurang fit.
Zoey pun mengalihkan pandangan ke sekitar, menatap pepohonan ekaliptus yang tumbuh subur di sisi kiri dan kanan jalan raya. Dahan-dahan pohonnya saling berderit saat tertiup angin, seolah ingin membisikkan sesuatu tentang cerita tersembunyi di antara batang besarnya. Ia masih tidak menyangka dapat keluar dengan mudah.
"Satu hari."
Zoey menghela napas. Bahkan, peringatan Manajer Eric terus terngiang di kepala. Sedikit pun ia belum tenang selagi pria itu masih berkeliaran. Bagaimanapun caranya ia harus melarikan diri sejauh mungkin yang ia bisa.
"Melisa, apa kamu tahu betapa bersyukurnya aku bisa melihat sinar matahari lagi?" tanya Andrew saat tiba di depan mereka. Ia langsung meraih genggaman Melisa dengan satu tangan.
Wanita tersebut membulatkan mata. Di luar dugaan, ternyata penampilan Melisa jauh berbeda dari apa yang Zoey pikirkan. Pemilik nama Melisa yang terpikir oleh Zoey adalah seseorang yang memasang wajah bak mayat setiap hari. Sedangkan Melisa yang ini, wajahnya selalu dihiasi rona merah. Sepertinya dia malu.
"Apa lenganmu baik-baik saja?" tanya Melisa sambil menarik tangannya kembali.
"Lenganku? Tidak. Ah ... aku hampir kehilangan lengan karena ulah si idiot ini yang sok-sokan mau jadi pahlawan!" Andrew mengarahkan dagu ke belakang, lebih tepatnya, ke arah Edmund. Nada bicara Andrew berubah berat di akhir kalimat.
"Kamu harus memarahinya, Mel! Masa dia mau memotong lenganku begitu saja hanya gara-gara perintah si George itu? Aku benar-benar merinding saat dia mengangkat gergaji. Kukira dia orang lain."
Pria berambut hitam itu hanya memutar mata. "Yah, anggap saja kerasukan. Lagipula meski bukan aku yang memotong, kemungkinan besar nanti di rumah sakit ada dokter bedah yang akan mengamputasi tanganmu."
"Apa?" Andrew menoleh cepat. Tatapannya memancarkan ketakutan sekaligus kekesalan. Kalau bisa melayangkan pukulan, sudah dari tadi wajah Edmund biru lebam. "Lancar sekali kau ngomong!"
"Sudah, sudah! Jangan bertengkar di sini," lerai Melisa saat Andrew hendak mengambil kuda-kuda.
"Aku jadi seperti ini gara-gara membantumu menyelamatkan gadis itu! Tahu begini, mending aku pulang saja tidak mengantarmu. Sialan," umpat Andrew sambil sekilas menuding wajah Zoey, membuat gadis yang dituding semakin tegang.
Spontan ia mundur. Edmund yang menyadari kegugupan Zoey pun menarik tubuhnya agar lebih dekat. Berada di belakang punggung orang lain kadang membuat Zoey merasa terlindungi. Kini gadis itu dapat menatap tengkuk Edmund yang dipenuhi bekas lilitan.
Kalau diingat-ingat, semua bekas lilitan tersebut Edmund dapatkan dari pelampiasan Manajer Eric ketika marah. Puluhan kali Edmund menahan jeritan tatkala Eric mengencangkan tali lehernya. Sekalipun dia tidak pernah bercerita dan Zoey pun tidak berani menyinggung.
"Edmund, jangan menakut-nakuti Andrew lagi."
"Aku hanya mengatakan fakta," dalihnya membuang muka ke samping.
"Dasar kau ini—" Andrew kesal setengah mati, bersiap melayangkan tinju.
"Baiklah, hentikan! Dia sudah membantumu sampai membahayakan nyawanya kalau kamu lupa."
Edmund terdiam.
"Dan Andrew, kamu beruntung sebab Edmund tidak meninggalkanmu sendirian. Setidaknya ucapkan terima kasih," tegas Melisa.
"Terima kasih? Apa aku gila? Ah, benar. Aku sangat berterimakasih padanya karena telah mementingkan orang lain daripada rekannya sendiri. Bukankah begitu, Nona Pasien?"
Zoey melebarkan mata. Detik berikutnya, ia menatap tajam. "Omong kosong! Setelah menghampiriku, jelas-jelas Edmund langsung menuju ke tempatmu. Aku juga sudah menyelamatkanmu dengan memperbaiki remot itu meski kamu selalu menyumpahiku 'gagal', 'gagal'. Bukankah kita impas? Dasar pria tidak tahu terima kasih!"
"A-apa? Hei, kaulah yang tidak tahu terima kasih! Mentang-mentang wajahmu persis dia, jadi kau bisa memanfaatkan perasaan Eddy dan berkata seenaknya? Hah!"
'Dia? Dia siapa?' Zoey terheran.
Pandangan Melisa pun terpaku pada sosok wanita yang sejak tadi berlindung di belakang Edmund. Dia memiliki rambut hitam pendek, poni sejajar dengan alis, dan bercak darah mengering di pipi. Kemeja putih yang dikenakan terlihat kusut serta terciprat cairan merah di bagian bawah. Ia penasaran, tapi terlalu ragu untuk bertanya soal identitas.
"Bukankah dia mirip Bridie?" Lucas berujar pelan.
Melisa mengangguk. "Kalau belum mendengar kabar bahwa Bridie telah meninggal, mungkin aku sudah mengira dia itu Bridie."
"Pantas saja Edmund bertingkah aneh," timpalnya.
Ketika orang-orang di sekitar mulai menyebutkan nama Bridie atau mengeluarkan kosakata 'tunangan' dan semacamnya, pria itu berbalik dengan gesit, lantas menutup rapat-rapat kedua telinga Zoey menggunakan telapak tangan.
"Jangan pedulikan Andrew," ujar Edmund.
Mr. Glen yang merasa kehadirannya terlupakan sedikit menyela. "Ekhem! Permisi, sepertinya aku harus pamit. Kalian bisa lanjutkan percakapan kalian, kok. Aku hanya mau pergi."
"Eh, tunggu dulu, Mr. Glen! Sepertinya kami masih memerlukan bantuan Anda." Melisa meringis kecut sembari menahan kepergian pria tersebut.
Tadi ia sudah mengkode Lucas agar secara tidak langsung mengusir keberadaan Mr. Glen, tetapi dengan tidak tahu malu sekarang malah meminta bantuannya lagi. Jujur saja, kesan pertama Melisa ketika bertemu Mr. Glen cukup buruk. Salah satu ban mobil Lucas tiba-tiba meledak saat menanjak jembatan. Bersamaan dengan itu, Mr. Glen tetap merokok santai sembari menikmati pemandangan di bawahnya yang berupa anak sungai. Mr. Glen akan mengabaikan mobil bermasalah jika pengemudi di dalamnya tidak berinisiatif menghampirinya.
"Bisakah Anda membantu kami?"
"Ya?" Mr. Glen mengangkat satu alis.
"Seperti yang terlihat, jumlah orang di sini dan jumlah kursi tidak sama. Kalau Anda tidak keberatan, sebagian dari kami ingin menumpang di mobil Anda bagaimana?"
Kemudian, Mr. Glen tampak berpikir sambil memandang dua pria dan seorang wanita di sana yang asik beradu mulut. "Aku tidak masalah, tapi kalian semua harus membayar biaya transport sekaligus biasa kesehatan. Aku perlu ke THT setelah ini."
Melisa terkekeh. "Baiklah, Sir. Kami pasti bayar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuma Revisi
RomancePenulisnya lagi sibuk mengurutkan bab cerita! Stop disturbing.