Masa Dewasa 3.5 (Bayangan di Jendela si Z)

2 0 0
                                    


Tambah 1 bab lagi tentang gimana si Ed bisa jalan ke RS, terus lebih detailkan lagi kondisi si Z. Di sini karakter dia menurun.

Andrew tersentak.

"George Willson," gumamnya tak percaya. "Apa dia orang yang panggilannya disalurkan padaku terakhir kali?"

Edmund mengangguk. Lalu, memberikan selembar foto Helena saat terjadi kecelakaan. Lembaran foto itu telah lecek saking seringnya tertekuk sana-sini. Ia mendapat foto itu dari mencuri polaroid Mr, Willson.

"Apa ini?" Andrew bertanya menatap ke depan, meminta penjelasan singkat.

Namun Edmund ingin dia melihatnya sendiri. Wajah Helena yang kesakitan, menangis darah, dan hilang harapan. Semua ketakutan dalam menemui ajal tercetak jelas di wajahnya.

Mulut Andrew terbuka sedikit. Dengan tangan gemetar, berharap apa yang dilihat tidak nyata. "Ini berwarna."

Edmund menaikkan sebelah alis. "Hanya itu?"

Sungguh, hanya itu yang ingin dia katakan? Tatapan Edmund memanas seolah menanyakan apakah rekannya waras.

"Hei, aku tidak gila! Menurutku, kualitas gambarnya juga bagus. Memang kamera macam apa yang bisa menangkap gambar sejernih ini, hah?" tanya Andrew menggebu.

Benar, tapi Edmund tidak pernah terpikir sampai sana. Ia justru menggelengkan kepala kemudian menekan-nekan wajah Helena di foto tersebut.

"Ini siapa?" tanyanya mengetes ingatan Andrew.

Andrew mengernyitkan dahi. Jujur saja, ia lupa. Kalau dilihat dari seragam biru, tentu wanita ini bisa dikenali sebagai perawat. Bridie atau Helen? Kepalanya pusing.

"Helen?" ucapnya ragu setelah melalui proses pertimbangan tak kasat mata.

Edmund ingin sekali meninju kepala Andrew biar pecah sekalian. Bisa-bisanya dia melupakan wajah seseorang yang pernah menyatakan perasaan padanya di hari pertama kerja. Sayang sekali, bahwa jawaban pria itu benar.

"Ya, dia Helena."

"Ah ... memang Helen," ucapnya, kembali memandangi potret. Wajah wanita itu jauh berbeda dari wajah yang dipasang di foto kematian. Mungkin sebab berada situasi genting dan banyak darah mengalir. Dia menjadi lebih tirus.

Edmund sekarang mengerti kenapa Melisa menolak perasaan Andrew. Karena Andrew itu laki-laki pikun, tidak bertanggung jawab, dan bodoh. Helena pun terlalu lugu menghadapi kebodohan Andrew.

"Bantu aku cari tahu tentang George Willson," ujar Edmund.

"Aku telah mencari data orang itu di kantor polisi sehabis kecelakaan. Namun, tidak kutemukan satu penduduk bernama George Willson yang masih hidup."

"Maksudmu, hanya ada nama George Willson yang sudah mati?" tebaknya.

"Ya. Dia korban kebakaran."

"Haa, sudah kuduga." Edmund menahan rasa frustrasi.

Mr. Willson bukan nama asli. Edmund merebut foto mini dari tangan Andrew, satu-satunya barang bukti yang menunjukkan kejahatan Mr. Willson, sayangnya, identitas pria itu palsu. Percuma saja lapor polisi. Mana mungkin polisi mau menggali kuburan orang mati.

Edmund hendak meraup wajah. Depresi. Ia lupa tentang luka tusukan jarum di sekitar mulutnya.

"Argh!" erangnya, meringis sakit.

"Yakin tidak mau kuobati?" tanya Andrew, menawarkan kebaikan untuk terakhir kali. Jarang-jarang ia peduli.

Namun, Edmund membuang kesempatan tersebut. Dia menggeleng pelan. "Tidak usah. Ayo kembali ke kantor polisi, lalu tanyakan apakah ada catatan penduduk bernama Eric."

"Jangan sekarang, petugas sipil sedang sensitif." Andrew menarik kembali lengan Edmund yang ingin pergi.

Dahi Edmund berkelit. "Kenapa?"

"Entahlah." Andrew mengeratkan kepalan tangan, mengingat tatkala Melisa menangis histeris saat kepala rumah sakit menolak laporan yang ia buat.

Baik kepolisian maupun damkar, semuanya sepakat menjadikan kecelakaan hari itu sebagai kecelakaan biasa.

"Intinya, jangan sekarang. Kamu masih dicari-cari oleh aparat kepolisian. Memangnya kamu mau, ditangkap begitu saja?"

Edmund berdecak. Fotonya tertampang nyata di mana-mana. Sepanjang jalan, ia berusaha berpakaian tertutup sebab status buronan. Tentu ia tidak mau.

Tujuan Edmund ke sini adalah untuk membongkar kejahatan Eric. Berharap pria psikopat itu dipenjara. Kalau polisi tidak bisa diandalkan, sebaiknya Edmund kembali dan menyelamatkan Zoey. Memikirkan dirinya terbangun tanpa siapa pun, dia pasti kebingungan.

Edmund menepuk kedua bahu Andrew lumayan keras. Gerakan tersebut biasa ia lakukan saat hendak pamit.

"Ayo pergi."

"Ke mana? Aku lelah sekali baru selesai kerja."

"Ke tempat George Willson."

"Apa?" tanya Andrew setengah berteriak. "Kamu mau kembali ke tempat orang yang membuatmu pincang dan wajahmu jadi penuh lubang seperti ini?"

Edmund meringis. Ia bahkan belum memperlihatkan luka tusukan di dada kirinya. Bekas tusukan masih basah. Rasanya nyeri sebab Mr. Willson beberapa kali menyerang area tusukan.

Ia tadinya tidak mengerti kenapa Mr. Willson membiarkannya keluar dari sana.

"Pergi."

Begitulah, dia menyuruh pergi dengan nada dingin. Namun tanpa perasaan, juga melayangkan bogeman ke rahang Edmund sampai lelaki itu hilang keseimbangan.

Edmund ingin bertanya kenapa, tetapi mulutnya akan perih walau hanya digerakkan sedikit saja. Belum lagi gesekan antara kulit dan masker, menambah rasa ngilu berlapis-lapis.

***

Pagi ini Zoey masih hidup. Ia terbangun dengan merasakan benda panjang melilit perutnya. Sebuah lengan yang berat. Cukup mengejutkan sampai dia berjengkit kaget, tetapi lebih mengagetkan lagi bahwa semalam dia bisa tidur nyenyak di pelukan seorang psikopat.

"Sudah bangun?" tanya Manajer Eric tanpa mengubah posisi. Dari suara yang tidak serak, sepertinya pria itu telah terjaga sepanjang malam.

"Singkirkan tanganmu," ucap Zoey dingin.

Manajer Eric tersenyum kecil, lalu beranjak dari kasur. "Saya akan membuat sarapan."

Sementara itu, Zoey memegang perutnya yang terasa lengket. Matanya melebar sempurna. Ia lantas menundukkan kepala, melihat bercak darah menghiasi kain yang semula polos.

"Ah," keluh Zoey dengan pandangan horor. Gadis itu membalikkan tangan yang terlanjur merah.

Lalu ia menatap kepergian Manajer Eric dengan air muka tegang. Sebaliknya, pria itu berjalan keluar kamar dengan santai. Terdapat jejak tetesan darah di lantai, menetes dari jari-jari tangan Eric.

'Sebenarnya luka apa—,' batin Zoey penasaran, lantas menggeleng kuat. Ia tidak boleh menyia-yiakan waktu dengan mengkhawatirkan sang manajer. Ada orang lain yang jelas lebih terluka dan pantas dikhawatirkan.

Dokter Aisha ....

Benar, bagaimana kondisinya? Zoey perlu memastikan apakah dia sudah membaik atau malah memburuk. Dengan hati-hati, Zoey pun menuruni ranjang.

"Eh?" gumamnya heran begitu melihat perban menutupi seluruh kaki Zoey mulai dari pergelangan sampai ujung kuku. Itu adalah jenis perban yang sama yang ia berikan pada Dokter Miller.

Zoey tersentak, lalu mengangkat kepala memandang arah keluar Manajer Eric. Ruangan di mana Dokter Miller dan Aisha disekap juga berasal dari arah yang sama. Seketika wajah Zoey memucat. Ia harus segera mengalihkan perhatian laki-laki itu.

Namun, tiba-tiba, terdengar sebuah ketukan. Zoey spontan menoleh ke sumber suara. Jantungnya mencelos, mendapati bayangan lelaki yang tercetak pada tirai. Dia mengetuk berkali-kali, seolah menunggu jendelanya dibuka.

Cuma RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang