Masih kurang 1 bab tentang alasan Eric ngajak Edmund keluar. Waktu itu disuruh keliling ruangan.
Setitik cahaya perlahan masuk. Zoey merasakan kelopak matanya sedikit berat. Ia bersikeras membuka mata. Dengan pasti penglihatannya menangkap langit-langit kamar yang redup.
Gadis itu berkedip beberapa kali untuk beradaptasi. Setelah indera penglihatnya benar-benar pulih, Zoey mengumpulkan kesadaran penuh untuk bangun. Kepalanya langsung berdenyut nyeri.
Zoey mencoba diam sejenak. Barusan dia terlalu cepat mengubah posisi dari tidur ke duduk.
Tak lama kemudian, Zoey mengangkat kepala. Kedua alisnya mengernyit saat menatap ke depan. Sebuah dinding penuh gambar-gambar yang disusun polaroid. Di tengahnya terpasang cermin yang langsung mengarah pada gadis itu.
Zoey dapat melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Seorang gadis kurus berambut cokelat tanpa riasan . Bahkan dari jarak tak sampai lima meter, Zoey tahu bahwa wajahnya pucat pasi.
Gadis itu menunduk dalam sembari memegang ujung bajunya. Dia dibuat bingung karena pakaian tipis yang dikenakan tidak pernah ia lihat sebelumnya.
'Ini bukan bajuku', batin Zoey. Namun di samping penampilannya yang berantakan, Zoey lebih bingung dengan kondisi matanya. Gadis itu meraba mata kanannya tak percaya.
Dia bisa melihat. Meskipun sekarang objek di ruangan tampak berputar, tapi ia yakin penglihatannya sudah kembali normal. Zoey melirik takut ke arah gambar-gambar yang tertempel di dinding. Entah kenapa ruangan ini memiliki aura mencekam. Zoey penasaran dengan gambar-gambar tersebut. Saat hendak turun dari kasur, matanya melebar sempurna.
'Apa ini?' batin Zoey bertanya.
Zoey melihat cairan merah tua mengotori lantai putih. Tidak hanya lantai dekat tempat tidur. Warna merahnya berbentuk tetesan dan menempel seperti mengikuti pergerakan seseorang.
"Darah?" gumamnya pelan sembari membekap mulut dengan kedua tangan.
Gadis itu menelan saliva susah. Dengan kaki gemetar ia menginjak lantai tanpa mengenai cairan anyir tersebut. Meskipun sudah kering, samar-samar Zoey masih mencium bau amis. Kepalanya semakin pusing ketika berjalan mendekati gambar-gambar di dinding.
"Ya Tuhan, pusing sekali," ucap Zoey sambil sesekali memukul ubun-ubun dengan keras. Rasanya mau pecah. Zoey dapat mendengar detak jantungnya berdetak lebih kencang kencang dan objek yang dilihat semakin terang.
'Oh, tidak. Kumohon jangan pingsan.'
Zoey pun segera menyambar laci meja nakas samping tempat tidur. Ia ingat Manajer Eric selalu mencari obatnya di sini. Gadis bermata abu itu menggigit bibir. Lagi-lagi ia dibuat terbelalak. Kali ini berbagai alat tajam tersimpan dengan baik dalam laci.
Zoey mengabaikan semua itu dan hanya mengambil tiga jenis obat di samping peralatan aneh tersebut. Tanpa ragu ia meminum air putih yang sudah disiapkan di meja, lalu menelan utuh obat pil satu per satu. Zoey tidak tahu pil apa yang baru saja ia telan.
Untungnya secara signifikan, detak jantung gadis itu menjadi lebih teratur. Ia tidak lagi merasa pusing. Namun kenapa perasaan tidak enak ini selalu mengganggu pikiran Zoey? Daritadi pikirannya tidak tenang.
Mungkin karena ia dikelilingi oleh gambar-gambar mini sebanyak itu. Zoey tidak terbiasa meskipun di kantor studio terdapat banyak gambar yang ukurannya justru lebih besar.
Ceklek!
Zoey terkejut, spontan mendongak ke sumber suara. Dari arah pintu muncul sesosok pria yang menutup setengah wajah dengan memakai masker hitam. Dia pasti Edmund.
Pria jangkung itu juga terkejut melihat Zoey duduk di lantai. Terlebih tatapannya menjadi fokus ke mata Edmund. Mereka berdua saling menatap cukup lama sampai akhirnya Zoey memutus tatapan dengan mengalihkan pandangan. Pupil mata Edmund menyusut. Ia curiga kalau bukan hanya demam, namun penglihatan Zoey juga ikut pulih.
"Nona!" teriak Eric di belakang Edmund. Tiba-tiba pria pemarah itu mendorong Edmund ke samping karena berani menghalangi jalan.
"Ergh!" erang Edmund saat tubuhnya membentur lantai. Kepalanya mendongak sempurna dan satu tangan memegang lutut.
Zoey miris mendengarnya. Kaki yang patah pasti sakit. Lelaki itu menahan erangan karena Eric langsung memberikan tatapan tajam, seolah mengisyaratkan Edmund agar diam atau tidak nyawanya melayang.
"Anda sudah sembuh? Sejak kapan Anda bangun? Kenapa Anda bisa jatuh?" tanya Eric bertubi-tubi.
Gadis itu terperanjat saat Eric hendak menyentuh pundaknya. Refleks ia menggeser badan untuk menghindari tangan Eric. Wajah Zoey tegang serta terlihat ketakukan. Hal itu membuat Eric menarik tangannya lagi.
"Nona, jangan takut. Ini saya—Manajer Eric. Saya hanya ingin membantu Nona naik ke kasur," ujarnya.
Zoey terdiam beberapa detik. Detik berikutnya, gadis itu melengkungkan bibir ke arah Eric. "Maaf, Manajer. Aku pikir kamu orang lain."
Edmund yang mendengar pengakuan Zoey seketika mengeryitkan alis. 'Palsu? Bagaimana bisa dia pura-pura tersenyum?' cemasnya dalam hati. Bahkan kedua bahu Zoey tidak berhenti gemetar. Tentu saja Mr. Willson takkan tertipu oleh akting buruk seperti itu.
Sedangkan Eric membalas senyum tersebut dengan lembut. "Lantainya dingin. Ayo naik dulu."
"I-iya."
"Ulurkan tangan Nona," perintah Eric.
Hampir saja dirinya ketahuan bisa melihat jika berdiri sendiri. Mau tak mau ia mengulurkan tangan ke arah Eric. Dia berusaha tenang saat Eric menuntunnya ke tempat tidur.
"Ternyata tangan Anda lebih dingin daripada lantai," ucap Eric serius sambil menundukkan kepala. Ia menatap tautan tangannya pada tangan Zoey.
"Apa yang Nona lakukan di lantai?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Cuma Revisi
RomantikPenulisnya lagi sibuk mengurutkan bab cerita! Stop disturbing.