Masa Mimpi 1.1 (Revised)

2 0 0
                                    

"Aku dengar manajermu mengundurkan diri," ujar seorang wanita dengan lipstik merah menyala.

Zoey meneguk ludah. Kenapa dia di sini? Dan kenapa Zoey bisa melihat wajah kakaknya lagi? Tidak, bukankah dia buta? Namun Zoey dapat melihat segala hal dengan jelas.

Geornia tampak sibuk. Wanita itu duduk menyilang pada kursi sofa favoritnya. Tanpa mengalihkan pandangan, matanya terus berkutat dengan dokumen-dokumen di atas meja. Sesekali tangannya bergerak menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Ia sedang menunggu jawaban Zoey yang tak kunjung keluar.

Gerakan tangannya terhenti saat menyadari, bahwa atensi Zoey terpaku pada ruangan. Tempat ini sangat akrab, pikirnya. Itu mengingatkan Zoey terhadap mendiang sang ayah. Ruang kerja di rumahnya telah berpindah kepemilikan ke putri tertua semenjak Tuan Hashe sakit parah. Oleh sebab itu, semua urusan rumah tangga dipegang oleh Geornia termasuk mengatur pekerjaan Zoey.

Wanita itu mengetuk meja, seperti bos besar yang menginginkan fokus karyawan. Lamunan Zoey seketika buyar. Ia langsung mengerti, bahwa kini dirinya bermimpi.

"Kenapa kamu diam saja? Aku dengar manajermu mengundurkan diri. Ini sudah kesekian kalinya kamu bekerja tanpa manajer, Zoey. Sebenarnya bagaimana kamu memperlakukan mereka?" tanya Geornia tak habis pikir.

"Mereka bahkan tidak ada yang mengundurkan diri," gumam Zoey berbicara dengan diri sendiri.

"Apa?" Geornia mengangkat dagu karena suara Zoey kurang jelas.

"Aku belum pernah menandatangani surat pengunduran diri," tegas Zoey. "Mereka semua meninggalkanku begitu saja, jadi secara legal mereka masih berstatus sebagai manajerku. Dalam artian lain, aku sudah ditelantarkan oleh mereka."

Geornia mengepalkan tangan, lantas memalingkan muka. "Hah!"

"Apa Kakak marah?" Zoey membulatkan mata.

"Bukankah wajar kalau aku marah? Aku telah menggaji penuh mereka semua di awal bulan, tetapi semuanya kabur begitu saja sambil membawa uang itu. Mereka sangat tidak tahu malu! Lihat saja, akan aku pastikan wajah jelek mereka terpampang di tiap sudut kota, sehingga tidak akan ada satu pun perusahaan yang mau menerima mereka," geramnya sembari menggerakkan ujung pena ke kertas kosong.

Zoey menahan tawa. Sepertinya sang kakak ingin menulis surat edaran terkait orang-orang yang akan dia masukkan ke daftar hitam. Orang yang pernah menjadi manager Zoey dan melarikan diri, pasti tidak luput dari daftar tersebut.

"Jangan tertawa!" sentak Geornia kesal. "Alangkah baiknya kamu bisa menendang mereka sebelum mereka berani bersikap seenaknya. Aku menyesal sekali karena sudah membayar mahal-mahal."

"Maaf."

Zoey menyeka sudut mata akibat air matanya keluar lagi. Anehnya, ia merasa lega. Sudah sangat lama Zoey ingin mengucapkan kata 'maaf'. Ia bersyukur bisa melihat kakaknya lagi dan meminta maaf meski lewat mimpi. Karena pada kenyataannya, Zoey terlalu takut bertemu sang kakak. Geornia di dunia nyata tidak akan bicara sesantai ini.

"Sudahlah, jangan menangis. Minta maafnya nanti saja. Aku lelah karena harus mencarikanmu manajer, padahal belum ada satu minggu dia bekerja! Kalau bukan sebab permintaan Ayah, mana mau aku melakukan ini?"

Zoey tersenyum tipis. "Terima kasih, Kak. Aku benar-benar minta maaf sudah merepotkan Kakak dalam hal ini."

"Tidak perlu berterima kasih. Ini memang tugasku," tolak Geornia.

Sebenarnya, bukan hal ini saja. Zoey juga ingin meminta maaf soal semua kejadian di masa lalu yang sudah menyusahkan kakaknya, namun lidahnya masih kelu.

Andai saja ... waktu dapat diputar kembali ke hari sebelum insiden itu terjadi. Mungkin Zoey tidak akan mengingat kehidupan sebelumnya, dan keduanya bisa menjadi adik-kakak yang normal tanpa harus terbayang-bayang dengan isi novel.

"Ayolah, kenapa kamu masih menangis?" Geornia menatap Zoey dengan alis bertautan.

"A-aku tidak menangis!" Zoey segera mengusapnya. "Ini karena aku baru bertemu dengan Kakak setelah sekian lama, jadi-"

Terdengar suara tawa dari mulut Geornia, membuat Zoey terdiam.

"Apa maksudmu?" tanya Geornia sambil menyeka sudut mata. "Kamu selalu datang ke sini tiga kali setiap hari. Memangnya mau sebanyak apa lagi kamu ingin bermain di jam kerjaku?"

"Ah ...." Zoey mengernyit. Sejak kapan hubungan dirinya dan Geornia terlihat akur?

Zoey hendak bertanya, tetapi suara ketukan pintu membuatnya mengurungkan niat. Di depan pintu, berdiri seorang pelayan dan seorang pria dengan senyum formal yang menawan.

"Nona Besar, tamunya sudah datang," ujar pelayan yang mengantar orang tersebut.

Geornia mengubah posisi duduk menjadi lebih tegap. Setelah menyuruh tamu itu masuk, ia melihat mulut Zoey sedikit terbuka seolah dia tidak menyangka akan bertemu sosok tersebut di sini.

"Manajer Eric," gumam Zoey.

Dari jarak satu meter, Geornia mendengar gumaman adiknya dengan jelas. "Kurasa kalian berdua sudah saling kenal."

Eric memiringkan kepala sambil memandang Zoey. Detik berikutnya, ia langsung memberi salam.

"Ini pertama kalinya saya bertemu nona-nona. Saya Eric-"

Geornia mengangguk, mengangkat sebelah tangan isyarat berhenti. "Cukup. Aku Geornia. Dan dia adikku, Zoey Loeranth. Zoey, ucapkan salam pada Eric."

Bukankah perkenalkannya terlalu singkat? Zoey menaikkan sebelah alis, lantas membalas salam tersebut dengan senyum canggung.

"Salam kenal, Eric. Namaku Zoey."

"Salam kenal juga, Nona."

"Mulai sekarang, Eric akan menjadi manajermu yang baru," ucap Geornia.

Zoey refleks menoleh, tatapan mereka bertemu selama beberapa detik.

"Mata Nona lebih gelap jika dilihat langsung," ujar Eric.

Zoey menunduk takut seraya menutupi wajah. Isu menyeramkan sepanjang meniti karir sebagai bintang adalah mata gelap yang tidak mirip orang Jerman. Mereka selalu berkomentar tentang pembantaian anak-anak yang tidak memiliki mata cerah dan berusaha mengulik asal-usul Zoey. Jika di sampingnya sekarang adalah Manajer Eric sungguhan, dia tidak mungkin menyinggung warna mata Zoey terang-terangan.

"I-itu karena lensa kontak," kata Zoey mengelak.

Eric seperti melakukan kesalahan besar. "Maaf, saya tidak bermaksud menyinggung. Lagipula Nona cocok dengan warna lensa apa pun," hiburnya.

Zoey perlahan memberanikan diri menatap Eric. "Terima kasih, Manajer."

Geornia berdeham. Sembari menunjukkan lembaran dokumen, ia berkata, "Ini kontrak kerja yang sudah kutulis dengan mempertimbangkan keuntungan dua belah pihak. Kamu bisa tanda tangan setelah membaca kontraknya baik-baik."

Eric langsung tanda tangan di halaman terakhir, membuat Zoey melebarkan mata. Setidaknya bacalah kontrak sampai selesai! Ia belum terbiasa meski adegan ini pernah terjadi. Eric memang memiliki kemampuan membaca cepat yang sangat cepat.

"Mohon kerja samanya, Nona." Eric sekilas menunduk pada Zoey. Itu sangat sopan.

"Bukankah panggilan 'Nona' terlalu kaku? Panggil aku Zoey," pintanya.

Eric menatap Geornia seakan meminta pendapat, namun wanita itu tidak merespon.

"Baiklah, saya mengerti. Di kontrak ini tertulis Pihak B wajib memanggil Anda 'Nona'. Jika pihak B melanggar, Pihak B akan dikenakan membayar penalti dua kali lipat ke Pihak A."

Geornia memuji, "Menakjubkan! Ternyata kamu sudah membacanya, ya?"

"Tentu saja, Nona."

Lalu, ia melirik ke arah sang adik. "Zoey, kontrak ini berjalan atas namaku dan nama Eric. Meskipun dia manajermu, kamu tetap tidak bisa memberinya perintah tanpa persetujuanku."

"Aku mengerti, Kak." Zoey memaksa tersenyum.

Cuma RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang