Karakter Zoey di sini aneh. Dipertajam lagi cara dia interaksi sama Aisha.
Eric lekas melengkungkan senyum ketika Aisha mendongakkan kepala. Ia melebarkan celah pintu, sehingga rumah sederhana itu kini terbuka bagi siapa saja. "Silahkan masuk."
"Oh?" Wanita itu cukup terkejut. Sikap Mr. Willson cenderung arogan, tetapi dia pria yang sopan. Tarikan bibir Mr. Willson juga sangat tampan. Jantung Aisha berdesir hanya dengan menatap mata Mr. Willson yang ikut melengkung.
Mereka berdua mengekori langkah Eric yang mengarah ke ruang tamu. Dokter Miller mengamati sekeliling, di mana potret para korban yang malang sudah tidak ada. Hal tersebut membuat dahinya berkerut.
Eric menyeringai menyadari keheranan Dokter Miller. Tentu saja, sebelum membuka pintu ia lebih dulu mengecek lewat lubang kunci siapa saja yang datang. Mustahil Dokter Miller datang seorang diri apabila mengingat kejadian beberapa hari lalu. Walau ia bisa menduga sejak awal, menyingkirkan semua potret di ruang tamu dalam waktu singkat sungguh melelahkan.
"Anda baik-baik saja?" tanya Aisha khawatir, melihat keringat mengalir dari pelipis Eric.
Eric mengangguk. "Silahkan duduk."
"Di mana pasien?" tanya Dokter Miller begitu mereka menduduki sofa.
"Sepertinya Anda sedang buru-buru. Apa setelah ini masih ada agenda menjenguk pasien lain?"
Aisha menimpali, "Dokter Miller memang selalu terburu-buru. Selain jam kerja yang padat, juga masih banyak pasien di luar sana sedang menunggu kedatangan Dokter Miller. Belakangan ini saya yang membantunya."
"Begitu, ya. Jam berapa kunjungan terakhir kalian di Kota X hari ini?"
"Sekitar jam sembilan malam."
"Ah ...." Eric mangut-mangut. "Pasien ada di kamar. Saya akan segera memanggilnya kemari. Maaf karena membuat kalian menunggu."
"Tidak masalah!" seru Aisha.
Tak lama kemudian, Mr. Willson keluar dari salah satu bilik sembari memapah seorang gadis berambut pendek.
Zoey terus melihat ke bawah. Dia seperti menahan tangis. Ini pertama kali dia keluar dari kamar setelah penglihatannya pulih. Ternyata aura di luar kamar juga sama-sama mencekam. Apalagi, ia harus melakukan pemeriksaan dari Dokter Miller yang tidak tahu apa-apa. Telapak tangan gadis itu terasa lembab dan dingin. Manajer Eric sesekali mengusap telapak tangan Zoey menggunakan sapu tangan miliknya.
Gadis itu tersentak. "Jangan bertindak tiba-tiba," gumamnya.
Eric berbisik, "Tapi tangan Anda berkeringat. Boleh, kan, saya lap?"
Gadis itu menarik napas kesabaran, membuat Eric tersenyum kecil.
"Apakah ini pasiennya?" Aisha menghampiri Mr. Willson dan turut memapah Zoey dari sisi sebelahnya lagi.
Zoey mencuri pandang ke arah Aisha. Wanita matang yang cantik, begitu pikirnya. Zoey tidak pernah bertemu orang di dunia ini yang memiliki pesona kecantikan melebihi dirinya sendiri. Akan tetapi, ia sering cemburu pada beberapa aspek yang dimiliki seseorang.
Aisha tersenyum maksimal. Ia tampak antusias menjalani masa koas. Entah karena dorongan pekerjaan atau mungkin daya tarik wali pasien yang kelewat tampan. Hanya Aisha yang tahu. Namun, antusiasme tersebut menimbulkan kecelakaan besar—menurut Eric.
"M-manajer," rintih Zoey kesakitan. Lutut kanannya agak menekuk. Pegangan pada tangan Manajer Eric semakin ketat, sedangkan pegangan pada Dokter Aisha berusaha dia tolak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuma Revisi
RomancePenulisnya lagi sibuk mengurutkan bab cerita! Stop disturbing.