Manajer Eric memberinya tiga butir obat untuk diminum. Zoey meraba sebentar pil tersebut sebelum memasukkannya ke dalam mulut. Anehnya, ia merasakan ukuran pil berbeda dari sebelumnya. Tidak, bahkan sebenarnya, Zoey menyadari semua pil yang diberikan tidak pernah sama kecuali satu jenis pil bulat yang paling kecil. Ini adalah pil vitamin D yang biasa Zoey minum setiap hari.
Tanpa berpikir dua kali, ia pun menelan semua obat itu. Manajer Eric dengan sigap menyiapkan segelas air. Zoey tertegun memikirkan alasan di balik perhatian manajernya. Meski Manajer Eric tampak meragukan karena dia dan Geornia bekerja sama, setidaknya Zoey tahu bahwa keduanya belum berencana menyingkirkan Zoey dalam waktu dekat.
"Terima kasih," ucap Zoey sambil menyerahkan gelas kosong.
"Sama-sama," balas Manajer Eric.
Zoey lalu memejamkan mata. Ia mencoba mengingat ciri-ciri penjahat yang membunuh Geornia di side story. Ia hanya ingat posenya saat terpampang di sampul buku bagian depan, terlihat memeluk dan mengikat leher Geornia dengan rantai panjang. Meskipun wajah mereka sekarang tampak kabur dalam ingatan, perasaan mengerikan itu masih terbayang-bayang. Itu cukup mengerikan sampai menciutkan nyali Zoey untuk membacanya. Di kehidupan sebelumnya, Zoey memilih fokus untuk belajar ujian seleksi pegawai.
Tunggu.
Kenapa tiba-tiba ujian seleksi pegawai?
Bukankah di kehidupan sebelumnya dia hanya pelajar SMA? Dia pelajar SMA yang bahkan baru memasuki tahun pertama! Sebenarnya dari mana ingatan asing ini berasal?
Melihat Zoey membuka mata secara mendadak, membuat Manajer Eric bertanya apakah ada sesuatu yang membuat gadis itu tidak nyaman. Zoey menanggapi pertanyaan tersebut dengan menggeleng pelan.
"Ah, tidak ada. Hanya saja ... kepalaku pusing." Kepala Zoey selalu berdenyut nyeri saat berusaha menggali ingatan di kehidupan sebelumnya.
Eric menatap datar saat Zoey menjawab dengan sedikit linglung. "Haruskah dosis obatnya saya tambahkan?"
"Tidak usah," tekan Zoey. "Yang benar saja! Daripada itu, apa kamu sudah mengecek kandungan zat di dalamnya?"
"Saya belum mengeceknya, tapi ini adalah resep dari dokter. Jadi saya pikir tidak ada masalah. Apa Nona punya alergi yang saya tidak ketahui?"
Zoey mengembuskan napas. "Entahlah. Aku merasa pusing sehabis minum obat."
"Itu aneh. Saya sudah memilihnya dengan hati-hati. Yang saya tahu hanya efek samping obat berupa rasa kantuk. Di sini tidak tertulis bahwa setelah meminum obat akan terasa pusing. Apa perlu saya ambilkan obat pusing?"
Zoey setengah tertawa mendengar nada yang terkesan peduli itu. "Diamlah, br*ngsek! Jangan tawarkan apapun. Aku bahkan tidak tahu yang kamu berikan itu obat sungguhan atau racun."
"Sepertinya Nona melantur," ujar Manajer Eric. "Saya akan pura-pura tidak mendengar."
Tak lama kemudian, Zoey menguap panjang. "Kapan aku bisa keluar dari rumah sakit?"
Eric tertawa kecil mendengar rengekan tersebut. "Saya akan membawa Anda keluar jika sudah sembuh. Sekarang, sebaiknya Anda tidur dan istirahat yang nyenyak."
Sebenarnya, Eric paling lelah di sini. Lingkaran hitam di wajahnya semakin kentara. Ia masih mengurusi hal-hal merepotkan di ruang sebelah. Tubuh tercabik milik Dokter Jean kian menyengat. Eric memang terbiasa mencium bau mayat, tetapi penciuman Zoey lebih tajam. Begitu aroma mayat tercium, mungkin Zoey berakting tidak mencium apapun dan berniat kabur secara diam-diam.
Zoey agak tersentak sebab Eric berinisiatif menata selimutnya. "Apa Manajer Eric baik-baik saja?" tanyanya pelan.
Eric menatap pandangan sayu di wajah Zoey. Itu cukup mengesankan sampai dirinya ingin memotret.
"Manajer Eric?"
"Kenapa Anda menanyakan kondisi saya?" tanya Eric sambil menyentuh punggung tangan Zoey.
Tanpa sadar tangannya melepas kontak fisik tersebut. Zoey tidak ingat sejak kapan laki-laki ini terbiasa menyentuh orang lain. Padahal, Eric cukup senang saat mendengar Zoey mengkhawatirkannya.
"Fobiamu sudah sembuh? Sejak kapan?"
"Belum sembuh total. Saya mulai menghadapinya sedikit demi sedikit. Dalam situasi sulit, mau tidak mau saya harus berinteraksi dengan orang-orang. Jadi saya berlatih melakukan terapi mandiri."
"Benarkah? Sudah sejauh mana?"
"Saya menjabat tangan dokter yang memeriksa Nona."
"Oh, aku senang mendengarnya." Zoey terngiang kembali insiden pertama tatkala ia memeluk lengan Manajer Eric.
Saat itu, ia berusaha mengenalkan Manajer Eric kepada Emilia yang sedang memarahi pria itu karena masuk ruang rias. Zoey lalu memperkenalkan Manajer Eric sembari memeluk lengannya untuk menunjukkan kedekatan mereka. Namun reaksi Manajer Eric di luar dugaan, raut wajahnya begitu tegang seakan ingin mematahkan tangan Zoey.
"Apa Manajer baik-baik saja? Maaf, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu kalau kamu memiliki fobia sentuhan. Ya Tuhan, bagaimana ini ... tolong katakanlah sesuatu!"
Zoey dulu amat panik karena itu adalah kali kedua ia merasakan penolakan yang sangat kentara, setelah kakaknya--tentu saja. Manajer Eric terdiam beberapa detik untuk menteralkan wajah. Ucapan Manajer Eric setelah itu terus membekas di memori.
"Saya tidak apa-apa. Lain kali, beri tahu saya kalau Nona mau melakukan sesuatu. Saya akan terkejut kalau Anda tiba-tiba menyentuh tangan saya seperti tadi."
Sejak kejadian itu, Zoey sadar betul bahwa manajernya telah membangun batas tegas yang tidak boleh dilewati; mulai dari penolakan memanggil nama, pengucapan formal, dan larangan menyentuh tanpa izin. Zoey tetap tersinggung meski setiap batasan memiliki alasannya masing-masing. Terkait nama dan bahasa formal, Manajer Eric pernah menjelaskan mengenai statusnya sebagai atasan dan bawahan Geornia di mana dia terikat kontrak. Ia tidak bisa melanggar peraturan kontrak hanya karena permintaan Zoey. Lalu untuk sentuhan, jelas karena pria itu mengidap fobia. Entah trauma seperti apa yang pernah dia alami.
"Lain kali beri tahu aku kalau mau melakukan sesuatu. Aku terkejut kalau Manajer Eric tiba-tiba menyentuh tanganku," ucap Zoey menirukan kalimat yang pernah Manajer Eric lontarkan.
Mendengar kalimat familier tersebut, membuat pria di sampingnya tersenyum. "Baik, saya akan mengingatnya."
Zoey memejamkan mata lagi karena kelopak matanya terasa berat. "Perawat yang kemarin ke mana?"
Eric memandangi wajah damai tersebut. Eric tersenyum sambil menopang dagu. Zoey yang merasakan tatapan dari samping, menjadi tidak nyaman.
"Perawat?" tanya Eric. Sebab ada dua perawat palsu yang ia ciptakan di tempat ini.
"Iya. Perawat wanita tunawicara yang kemarin memberiku obat."
Seketika senyuman Eric memudar. "Ah, Anda tidak pernah absen menanyakan soal perawat itu, ya? Baru kali ini Anda begitu kekeuh mengajukan pertanyaan yang sama. Sepertinya Nona benar-benar khawatir dengan perawat itu."
"Kalau begitu tinggal jawab saja, maka aku bisa berhenti bertanya."
Zoey kesal sekali karena setiap membahas perawat tersebut, Manajer Eric selalu tidak menjawab dengan membicarakan topik lain. Skenario yang Zoey hadapi adalah seperti ini. Manajer Eric menghadirkan seseorang untuk berperan sebagai perawat dan Zoey akan pura-pura percaya. Entah wanita itu perawat sungguhan atau tidak, ia harap dengan keterbatasan seperti itu dia tidak kehilangan pekerjaannya.
"Kalau ada perawat, Manajer tidak perlu memaksakan diri bersentuhan denganku," kata Zoey melanjutkan.
Manajer Eric spontan tertawa. "Anda tenang saja Nona. Saya tidak pernah memaksakan diri ...."
Tidak ada tanggapan.
"Nona?"
Hanya terdengar suara napas yang teratur. Ia menatap wajah lelap Zoey. Pandangannya turun pada bibir yang agak pucat. Ia ingin menciumnya lagi sampai berubah warna menjadi kemerahan, tetapi Zoey pasti tidak akan menyukainya. Manajer Eric pun mengambil kamera di laci nakas paling bawah. Ia mensejajarkan posisi lensa dengan wajah Zoey sebelum kemudian menjepretnya.
"Kali ini obatnya bekerja lebih lambat," ucap Manajer Eric sembari melihat hasil jepretan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuma Revisi
RomancePenulisnya lagi sibuk mengurutkan bab cerita! Stop disturbing.