Masa Dewasa 4.3 (Service Remot)

2 0 0
                                    

Di sini, Melisa masih kurang plot soal kenapa dia nggak kepo dengan cerita Mr. Willson. Mungkin bakal ada tambahan adegan entah itu Lucas atau Andrew yang ngasih tahu kalau Edmund masih hidup? Dan ada posisi dia kalut.

Dalam cahaya remang yang sunyi, jeritan pilu merayap keluar dari dalam ruangan, merobek keheningan dengan kepedihan yang menyayat telinga. Edmund mendekati sumber suara untuk memastikan siapa yang menjerit. Pria itu membungkuk. Sebuah lubang kunci dapat mengizinkan satu matanya mengintip, seorang wanita yang tidak ia kenal tengah menangis darah.

Mr. Willson tertawa keras usai menguliti wajah Aisha layaknya mengupas kulit apel. "Mau kutambah ukiran lain?"

Edmund berkedip menunggu jawaban si wanita. Namun, wanita itu tak menjawab. Dia tergeletak tak berdaya dan bersandar pada kaki kursi yang sedikit peyot. Mr. Willson menarik senyum. Tak lama setelah itu, lagi-lagi Aisha melengkingkan jeritan.

"Diam artinya iya," ucap Mr. Willson tanpa merasa bersalah.

Wanita itu memicingkan sebelah mata. Ia sudah bertahan hidup sepanjang malam, tetapi esok hari Mr. Willson masih menyiksanya. "Dasar pengecut, bunuh saja aku!"

"Aku memang mau membunuhmu, tapi ini bahkan belum sebanding dengan permohonan yang dibuat nonaku. Coba memohonlah lebih sungguh-sungguh." Mr. Willson mengangkat dagu Aisha dengan ujung pisau hingga wanita itu mendesis perih. "Lalu, aku benci wanita yang bicara kasar."

Aisha mendecih. "Dasar pengecut!" ulangnya.

"Haha! Kau hobi menantang orang juga, ya? Menarik, sangat menarik."

"Heh, saya memang menarik, tidak seperti Anda yang diabaikan oleh seseorang."

Eric terhenyak. "Siapa yang kau maksud?"

"Pantas saja dia mau kabur, kan?" seringainya. Keringat Aisha menyatu dengan darah. Sinar matanya meredup seakan mendekati kematian.

Eric mengernyit kesal. Ia pun mengangkat bilah tajam ke udara, bersiap menyerang. "Bicara yang jelas atau kupangkas lehermu!"

Edmund lekas menjauhkan wajah dari lubang kunci. Jakunnya naik turun. Pemandangan yang akan terjadi mungkin terlalu brutal. Dia mencoba mengatur napas sembari melangkah gontai ke kursi Jarinya gemetar memencet tombol-tombol angka.

"Melisa, ayo angkat." Dia bergumam.

Wanita yang dituju sedang terlelap ketika sebuah panggilan darurat itu membuatnya terbangun. Ia masih setengah sadar sehingga Lucas dengan sigap merebut telepon sebelum Melisa mengangkatnya.

"Hei!" Dia tampak protes, tetapi suaranya cukup serak untuk menerima panggilan.

Lucas mengedipkan sebelah mata nakal ke arah Melisa sembari mendekatkan lubang speaker ke daun telinga. "Selamat pagi! Terima kasih sudah menghubungi Rumah Sakit X. Adakah yang bisa kami bantu?"

"Kau Lucas? Tolong beritahu Melisa kalau Andrew celaka."

"Apa?" Lucas mencuramkan alis. Rautnya menjadi lebih serius dan nadanya terdengar syok.

Melisa yang berusaha mengumpulkan kesadaran dibuat penasaran. "Siapa?" ucapnya sambil mengucek mata.

Lucas meletakkan satu jari ke bibir, menyuruh Melisa diam sebentar. Wanita tersebut pun mengangguk dan menajamkan pendengarannya. Ia ingin tahu jelas apa yang dikeluhkan si pemanggil.

"Dengar, aku sekarang bersama Andrew. Kami terjebak di rumah Mr. Willson. Ah tidak, sebenarnya hanya dia yang terjebak. Namun mana mungkin aku pergi, kemudian meninggalkannya terluka sendirian, benar?" Sesekali Edmund menoleh ke pintu ruangan di mana Mr. Willson melakukan tindak kejatahan. Ia takut tiba-tiba pria berbahaya itu keluar dari sana sambil membawa senjata tajam.

Cuma RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang