"Hfft, hffft." Melalui sela-sela mulutnya yang masih terbuka, Dokter Jean susah payah mengatur napas.
Eric mendorongnya lagi ke lantai. Ini belum seberapa dibanding hal gila yang akan lelaki itu lakukan. Dokjer Jean mulai menangis membayangkan nasibnya ke depan.
"Dokter Jean, lihat aku!" perintah Eric. Mutlak.
Wanita itu lekas mendongak meski dengan tubuh gemetar. Pandangannya berkaca-kaca. Tiba-tiba Eric tertawa mendapati ekspresi kacau tersebut.
"Tanpa bicara pun, aku bisa tahu apa yang kau pikirkan. Semuanya tampak jelas dari sorot matamu. Apa kau ingin menyelamatkan gadis itu, hm?"
Pertanyaan Eric membuat Dokter Jean tertegun. Dokter Jean menggeleng. Sebagai langkah awal, ia harus meyakinkan manajer gila itu kalau dirinya tidak punya niatan membantu Zoey. Tentu saja ia lebih yakin kalau Eric adalah orang yang sulit dihadapi.
"Lucu. Kau pikir bisa menjadi pahlawan? Daripada memikirkan keselamatan orang lain, sebaiknya kau pikirkan saja keselamatanmu."
Eric lalu mendekati wajah Dokter Jean. Tangannya menyentuh sudut bibir yang jahitannya terlepas, membuat tengkuk wanita itu merinding. Dokter Jean melebarkan mata saat jarum kasar ditusukkan ke kulit wajah tanpa anestesi.
"Ugh,emh!" Sakit, sakit, sakit! Dokter Jean mencengkeram tangan Eric agar berhenti menusuk-nusuk wajahnya.
"Bisakah Anda diam, Dokter Jean? Daritadi aku heran kenapa ruangannya bau busuk. Ternyata bau itu berasal dari mulutmu." Eric berniat menutup seluruh mulut Dokter Jean.
Sekali lagi, Dokter Jean terbelalak. Kalau begini, bagaimana cara dia makan dan minum? Sekilas mata cokelat Eric tampak lebih gelap. Dia memang berniat membunuh Dokter Jean secara perlahan. Dia membiarkan seseorang kelaparan dengan menutup seluruh bagian mulutnya. Dia itu monster!
"Ah, lihat ini, Dokter Jean! Anda terlihat jauh lebih cantik," ucap Eric tersenyum usai menanamkan beberapa benang.
Laki-laki itu menggiring Dokter Jean ke arah cermin persegi yang tertempel di dinding. Di belakangnya, Eric menyentuh erat pundak Dokter Jean hingga wanita tersebut meringis. Bayangan wajah Eric saat tersenyum miring bahkan lebih menakutkan daripada melihat bayangan wajahnya yang seperti zombie.
"Wajah Anda pucat, Dokter Jean," bisik Eric tepat di telinga. "Istirahatlah sampai 'kesayangan'ku bangun dan memanggil-manggil perawatnya. Jangan melakukan hal aneh atau aku akan merobek perutmu hidup-hidup."
Eric memberi kecupan singkat di kepala sebelum meninggalkan Dokter Jean. Wanita itu langsung luruh ke lantai. Kakinya lemas.
Ia harus melakukan sesuatu.
Dokter Jean membuka laci lemari satu per satu untuk mencari ponsel. Seseorang, entah siapapun, petugas damkar atau polisi. Mereka semua perlu tahu ada sarang monster di kota ini. Tempat Dokter Jean sekarang sangat jauh dari pemukiman penduduk, tapi koordinatnya muncul di peta. Pasti ada jaringan sinyal yang muncul di saat-saat tertentu.
Tidak ada. Dokter Jean menatap nanar pada layar ponselnya. Namun dering telepon Dokter Miller terdengar jelas saat itu. Mungkinkah ada sinyal di ruang tamu?
Lalu ia menarik knop pintu yang mengarah ke ruang tamu. Seketika napas Dokter Jean tercekat. Detik berikutnya, ia menghidupkan ponsel dengan jari gemetar. Foto-foto di dinding membuat pelipis Dokter Jean berkeringat.
"Halo! Terima kasih sudah menghubungi X hospital. Ada yang bisa kami bantu?" Suara yang tersambung akhirnya memberi secercah harapan. Dokter Jean sedikit tenang. Ia mulai mengatur napas, tetapi mulutnya tertutup sempurna. Dia hanya bisa terisak.
"Halo, Miss? Ada yang bisa kami bantu?" tanya customer service dengan nada khawatir.
"...."
"Kalau Dokter Jean tidak menjawab, nanti dikira orang iseng, loh," bisik Manajer di telinga satunya.
Wanita itu melirik ke samping dengan tangan gemetar hebat, membuat ponsel genggam tersebut merosot dari tangannya. Kalau saja Manajer Eric tidak menangkapnya dengan baik, mungkin ponsel itu akan ringsek.
'Sejak kapan?' batin Dokter Jean tidak menyangka kedatangan sosok Eric yang tiba-tiba berdiri di belakangnya.
Setelah tidak ada jawaban, sambungan telepon tersebut terputus. Melisa mengernyit sambil menatap bingung rekan di sampingnya.
"Ada apa?" tanya Andrew.
Melisa mengedikkan bahu. "Tiba-tiba panggilannya ditutup. Haruskah kutelepon balik?"
"Jangan, mungkin orang iseng."
"Huft, ini membuatku terbebani. Aku mendengar suara tangisan seorang wanita. Sebaiknya aku telepon balik untuk memastikan apakah dia baik-baik saja."
"Ya, terserah. Lagi pula pendapatku tidak pernah kamu dengar."
"Hei, hei, bisa-bisanya kamu marah di saat seperti ini?" Melisa terkekeh, kemudian menunggu penerima telepon menjawab telepon. Sedetik, sepuluh detik, satu menit. Melisa mengetuk ujung sepatu dengan gelisah.
"Gimana?" tanya Andrew yang mendapat gelengan lesu dari gadis itu.
"Tidak dapat dihubungi."
Andrew pun mengecek riwayat panggilan yang Melisa maksud. Ia memiringkan kepala sebab nomornya terlihat familier. "Tunggu sebentar, sepertinya aku tahu nomor ini."
Telepon ermegency itu kembali berdering. Kali ini dari nomor pemanggil yang berbeda, tentu saja. Melisa segera mengangkatnya. "Halo! Terima kasih sudah menghubungi X hospital. Ada yang bisa kami bantu?"
***
Eric mengikat kaki dan tangan Dokter Jean. Wanita berusia tiga puluhan itu dibaringkan di atas ranjang sempit. Bau anyir sangat kental, rasanya penciuman Dokter Jean akan lumpuh. Kepalanya pusing seperti mau pingsan.
"Kau tahu, Dokter Jean? Aku punya hobi mewarnai seprai kasur dengan darah," ujar Eric. "Terkadang warna darah yang dihasilkan berbeda-beda, tapi aku paling suka merah terang."
Dokter Jean menggeleng kuat saat Eric menjilat pinggiran pisau bergerigi.
"Aku sangat penasaran, nanti darah Dokter Jean merah terang atau gelap, ya? Kalau Anda tidak merokok, pasti warnanya cantik."
"Ermh!" Tolong ... hentikan, batin Dokter Jean sambil memejamkan mata. Ia menggigit lidah sampai cairan segar mengalir dari mulut. Ia tidak mampu melihat penyiksaan dirinya sendiri. Andaikan ada celah untuk kabur.
Eric memicingkan mata. "Kau membuatku kesal, Dokter Jean. Bukankah aku sudah melarangmu melakukan hal-hal aneh? Kau masih saja melakukannya."
"Erk!" Wanita itu melotot saat Eric melebarkan sayatan perutnya dengan tangan kosong. Cairan merah menciprat ke mana-mana, termasuk wajah sadis Eric yang menyeringai. Dia menjilat sedikit darah yang mengenai sudut bibirnya.
"Halo! Terima kasih sudah menghubungi X hospital. Adakah yang bisa kami bantu?" sapa Melisa antusias.
"Ambulans, tolong! Temanku sekarat dan pendarahan di perutnya tidak mau berhenti. Cepat kirimkan ambulans!" jawab Eric sambil memasang mimik wajah tertekan. Sebelah tangannya menghujam ujung pisau ke organ perut Dokter Jean.
Tatapan Dokter Jean kosong. 'Dasar gila', begitulah umpatan yang sejak awal ingin dia katakan. Perlahan matanya menutup.
"Dengar, Sir. Harap tenang! Kami sedang berusaha menghubungi saluran lain. Ambulans akan segera disiapkan. Bisa sebut nama dan alamat Anda?" tanya Melisa lagi.
"George Willson. Untuk alamatnya ...."
"Sir, panggilan ini akan dialihkan ke saluran cabang. Jangan matikan telepon karena ambulans sedang menuju ke tempat Anda, lalu pastikan Anda menekan area pendarahan—"
"Kalian lambat," potong Eric sembari memandang wajah dingin Dokter Jean. "Dia sudah mati."
Melisa meneguk saliva tatkala suara cekikikan pria itu terdengar dari lubang speaker. "Apa dia tak waras?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuma Revisi
RomancePenulisnya lagi sibuk mengurutkan bab cerita! Stop disturbing.