Sejak kapan Edmund mati? Oh, padahal belum dibakar loh. Berarti ini kurang informasi kenapa zoey bisa salah paham kalau Edmund mati?
Loncat adegannya kejauhan weh! Udah kupindah di bab 3.8
"Siapa?" tanya Zoey waspada. Ia tidak berani mendekat barang satu inci.
Bayangan itu pun berhenti mengetuk, kemudian meninggalkan secarik kertas. Dia berlalu begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata.
Zoey tertegun, melihat kertas terselip yang ditinggalkan di celah jendela bagian bawah. Gadis bermanik abu tersebut membuka surat dengan perasaan campur aduk.
"Pergilah ke jembatan."
~Edmund
Mata Zoey berbinar. Sama sekali tidak menyangka, akan muncul nama Edmund di akhir surat. Bukankah dia sudah mati?
"Syukurlah," gumam Zoey tanpa sadar.
Ternyata dia masih hidup.
"Apa yang sedang Nona baca?" tanya Manajer Eric tersenyum.
Zoey terperanjat. Pada momen itu, Manajer Eric berhasil memanfaatkan kesempatan dengan merebut kertas surat. Ia membacanya dan seketika kedua alisnya mencuram, bahkan bunyi kasar terdengar setiap ia menarik napas.
"Anda mau pergi? Saya tidak akan membiarkan Nona pergi, terlebih dengan pria asing yang latar belakangnya belum jelas."
Zoey menggigit bibir bawah yang gemetar. Dia hampir menangis. Gagal sudah rencana Edmund membawa dia lari.
Menyadari keadaan nonanya yang ketakutan. Manajer Eric langsung melembutkan aura wajah. Dia memasang ekspresi lemah, sehingga membuat bulu kuduk Zoey meremang. Zoey merasa kemampuan akting Manajer Eric lebih hebat berkali-kali lipat daripada kemampuannya sendiri.
"Nona, saya tidak mengerti," ujar Manajer Eric sedih.
Zoey refleks memalingkan wajah saat tangan berlumuran cairan kental itu berusaha menyentuhnya. Namun, Manajer Eric beralih memindahkan anak rambut Zoey ke belakang telinga. Aroma perban busuk dari tangan Eric telah menusuk indera penciuman Zoey. Ia tertunduk meletakkan dahinya ke pundak Zoey.
"Anda memilih lari dengan pria lain yang baru saja Anda kenal, padahal saya yang paling setia di sini," bisiknya.
"Pembohong," ucap Zoey tersenyum kecut.
"Saya bukan pembohong."
Mata Zoey berkaca-kaca. "Kau hanya setia pada kakakku."
"Saya juga setia pada Nona. Buktinya, saya masih di sisi Anda meskipun semua orang berpaling. Kenapa Anda seenaknya menyimpulkan?"
"Kau pikir aku tidak tahu kalau kau hanya ingin mengawasiku, kemudian melaporkannya pada kakakku? Ah ..., kau memang anjing yang paling setia," balas Zoey sarkas.
Manajer Eric tidak membantah. "Saya mengawasi karena Nona Besar ingin Anda selamat. Selain itu, saya juga menyu--"
"Berhenti mengatakan omong kosong," kata Zoey sambil menitikkan air mata.
Hah, selamat? Zoey ingin tertawa mendengar kebohongan Manajer Eric lagi dan lagi. Hati Zoey terasa hampa. Suara kakaknya yang katanya menginginkan dia selamat, nyatanya sering menagih kapan Manajer Eric akan membunuhnya.
Manajer Eric ingin menyeka wajahnya, tetapi urung karena gadis itu menghindar. Tatapannya yang seolah-olah tidak ingin ternodai membuat Manajer Eric geram. Lebih baik mendorong dia ke ranjang, lalu menjilat setiap air mata yang keluar. Namun pikiran kasar itu langsung ditepis.
"Menjijikkan!" umpat Zoey seraya memeluk dirinya sendiri.
Dia membayangkan deretan dosa yang sudah Manajer Eric lakukan. Tangan kotor itu .... Sejak awal, Zoey selalu merasa jijik setiap kali tangan kotor Manajer Eric berusaha menyentuhnya.
"Nona, saya tidak mengerti kenapa Anda bersikap denial. Saya memang harus mematuhi perintah Nona Besar selama beberapa tahun karena kontrak. Namun saya tidak bisa membiarkan Nona pergi karena keinginan saya sendiri. Bisakah Anda sedikit saja memahami posisi saya?"
"Kau mengurungku seperti ini juga perintah kakakku, kan?"
"Mengurung?" Manajer Eric bertanya balik. Beberapa saat, ia tampak polos. Kemudian tertawa tidak jelas. "Jadi itu ya yang Anda pikirkan."
Zoey mengepalkan tangan erat. Semua jendela dan pintu di rumah ini terkunci. Kalau bukan mengurung, lalu namanya apa?
Manajer Eric memandang perut Zoey yang berlapiskan kain dengan noda merah. Bajunya kotor. Seperti rumah tua yang kini mereka tempati.
"Kita bicara lagi setelah Nona membersihkan diri," putusnya, lalu melenggang keluar.
Zoey menundukkan kepala, menatap nanar kertas kumal yang habis dikepal Manajer Eric. Surat Edmund dilempar begitu saja olehnya. Saat hendak mengambil kertas itu, Zoey mendengar lagi suara ketukan tersebut sebanyak dua kali.
Ia segera menghampiri jendela dan membuka tirainya dengan kasar. Zoey menutup mulut, berusaha memblokir debu-debu halus yang beterbangan.
"Tidak ada," lirihnya sambil menyentuh palang besi.
Zoey mencari bayangan Edmund di luar sana, tetapi tidak ada. Mata Zoey hanya dipenuhi oleh batang pepohonan ekaliptus. Ketika harapan gadis itu mulai luntur, ia melihat ke bawah. Lalu tanpa sengaja menemukan secarik kertas di dekat kakinya.
"Pikirkan sebuah rencana! Saya akan menunggu sampai Anda datang."
Zoey menghela napas usai membaca tulisan Edmund. Apa yang dia katakan benar. Bagaimanapun caranya, Zoey harus memikirkan sebuah rencana untuk keluar dari sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuma Revisi
RomantikPenulisnya lagi sibuk mengurutkan bab cerita! Stop disturbing.