Masa Dewasa 1.7.2 (Revised)

0 0 0
                                    

Helena langsung menoleh dan mengecek keadaan temannya itu. "Ada apa? Kenapa teriak begi—"

"Kunci pintunya!" Bridie langsung membuat Helena terdiam dengan bentakan.

"Eddy-mu kan masih di luar ...?"

Ia lalu mengintip ke luar, kemudian ternganga menyaksikan pemandangan di luar kaca. Tubuh lelaki yang sebentar lagi hendak menjadi tunangan temannya itu terbaring di jalan raya. Sedangkan Mr. Willson masih berdiri di sana, menggenggam gagang pisau berlumuran darah dengan bekas cairan yang masih menetes.

Bridie cegukan sambil memegang dadanya. Sakit. Ia masih mencerna apa yang terjadi. Sebelumnya, Edmund tampak berbincang santai dengan Mr. Willson. Mereka berdua saling menjabat tangan dan berpelukan layaknya sahabat. Bridie bahkan tidak melihat sejak kapan pria asing itu mengeluarkan pisau. Tiba-tiba saja, Edmund ditikam.

"Kunci pintunya!" Bridie berteriak lagi ketika Mr. Willson meninggalkan tubuh Edmund, kemudian berjalan cepat ke arah ambulans—masih membawa pisau.

Wanita di depan itu tersentak. "Lalu Edmund bagaimana? Kita harus menyelamatkannya."

"Aku melihat dada kiri Edmund ditusuk. Dia pasti mati. Tidak ada harapan!"

"Astaga." Helena bergegas pindah ke kursi kemudi dan mulai menghidupkan mesin.

"Edmund ... bagaimana ini? Ya Tuhan, tolong selamatkan saya ...." Dengan berderai air mata, Bridie menyatukan kedua tangannya.

Helena berusaha memegang setir dengan benar. Dia juga ketakutan meski tidak tahu pasti apa yang sudah terjadi. Telapak tangannya berkeringat dan membuat permukaan setir menjadi licin. Kaki kanannya tetap menginjak gas sekuat tenaga.

"Sebenarnya siapa pria itu?" tanya Helena di sela-sela kesulitannya memutar balikkan arah mobil.

Bridie terus menggeleng, matanya bergerak gelisah. "A-aku tidak tahu! Aku sudah punya firasat kalau pria itu mencurigakan. Ka-kalian tidak percaya, kan? Lihat! Lihat, inilah hasilnya karena kalian tidak percaya ucapanku."

"Aku tidak percaya Edmund mati. Kamu hubungilah rumah sakit!" Helena melempar ponsel Edmund ke belakang. "Minta bantuan agar Edmund diselamatkan."

Mendengar hal tersebut, Bridie mengangguk. Lantas ia membuat panggilan darurat. Tangannya gemetar sambil terus menunggu bunyi memanggil. Biasanya akan dijawab berselang beberapa detik, tetapi ini hampir setengah menit dan telepon masih memanggil.

"Tidak diangkat!" ucapnya panik.

"Hubungi nomor lain! Sial, dia berdiri di tengah jalan."

Wanita tersebut menggigit bibir. Eric kini menyeringai melihat raut wajah si pengemudi. Sebagai tim medis, Helena jelas ragu untuk menabrak seseorang.

"Tabrak, Helena!"

"Ugh, tapi bagaimana kalau dia mati?"

Bridie meremas ujung rok. Pertanyaan barusan membuatnya cemas. Teman yang satu ini bahkan merawat seekor lalat. Dia juga tidak berani membunuh semut.

"D-dia nanti menghindar. Paling hanya mengalami luka kecil. Tapi jika kamu tidak menabraknya, kita berdua yang akan mati," tegas Bridie.

"Baiklah," katanya menarik napas dalam-dalam.

Eric menyeringai lebar saat mobil ambulans melaju dengan kecepatan maksimal. Helena mengernyit. Tidak seperti perkataan Bridie—pria itu tetap berdiri di sana, seolah ia menanti sesuatu yang datang. Tangannya reflek memutar setir 180°, membuat jeritan Bridie kembali melengking karena ban mobil tiba-tiba meletus.

Helena tidak mampu berkedip saat visual di depan matanya berubah drastis. Bukan lagi pemandangan hutan, melainkan kondisi dalam ambulans yang begitu kacau. Mobil mereka sempat terguling beberapa kali.

"Bridie ...," panggil Helena dengan nada lemah.

Kepalanya dipaksa menoleh meski telah terbentur dan mengalami pendarahan. Ia melihat wanita itu pingsan di jok belakang.

'Sial,' batin Helena saat sebuah tangan mengetuk kaca depan. Pemilik tangan itu adalah Mr. Willson.

***

"Akibat hujan deras, sebuah mobil ambulans mengalami kecelakaan tunggal di Street Forest. Menurut keterangan polisi setempat, terdapat bekas belokan tajam di tengah jalan. Pengemudi diduga mengoperasikan mobil dengan kecepatan tinggi, namun ia kehilangan kendali pada rodanya. Hal ini menyebabkan kendaraan tergelincir dan menabrak pohon ek. Kerusakan parah di bagian mesin telah memicu ledakan mobil. Warga setempat yang mendengarnya salah mengira terdapat serangan di area hutan, sehingga dia memanggil petugas keamanan. Namun saat tim keamanan tiba di lokasi, mereka menemukan mobil ambulans dengan kondisi terbakar. Peristiwa ini menewaskan dua orang paramedis dari Rumah Sakit X dan satu orang rekannya dikabarkan menghilang."

Eric tersenyum puas usai membaca berita yang intinya sama selama tiga hari berturut-turut. Berita kecelakaan ambulans menabrak pohon menjadi sorotan utama. Kronologinya diubah sembilan puluh sembilan persen. Pihak pemberita sama sekali tidak mengungkit soal panggilan darurat dari Mr. Willson atau alasan mengapa mobil ambulans bisa lewat ke sana.

"Mulut mereka dijahit dengan baik," gumam Eric sembari menyesap wine.

Kalau sesuai kejadian asli, mungkin judul berita akan berubah menjadi kasus pembunuhan. Eric menyebarkan banyak paku di jalan raya sebelum menghadang mobil tanpa membereskannya kembali. Tidak mungkin polisi tidak menemukan hal janggal.

Terlebih ada satu orang masih dalam status pencarian. Tidak jarang ia berpapasan dengan polisi di TKP. Mereka seolah ingin menyelidiki kasus ini tanpa meresahkan warga sekitar, tapi polisi tidak akan menemukan pelaku sebenarnya karena kelihaian Eric dalam bersembunyi dan menyamar.

"Nona." Eric tersenyum meskipun Zoey tidak bisa melihat. "Haruskah kita pindah?"

Ia langsung menoleh ke sumber suara. "Aku ingin kembali ke Jerman."

Seketika senyum Eric luntur. "Apa Nona merindukannya?"

"Bohong kalau aku tidak merindukannya, tapi aku ingin kembali ke sana bukan karena itu Aku hanya lebih akrab dengan suasana di sana. Di sini membuatku sangat tidak nyaman."

Zoey tidak bisa mengatakan, bahwa Australia adalah tempat di mana villain terakhir muncul dan mengakhiri hidup Geornia. Ia memiliki firasat buruk tentang menyinggahi negara ini. Seolah-olah, dirinya dikirim ke sini untuk menggantikan takdir tragis kakaknya.

"Mungkin Anda tidak nyaman karena baru pertama kali ke sini. Lambat laun, Anda mungkin terbiasa dan menyukainya," ucap Manajer Eric.

"Itu benar, tapi ...," kalimat Zoey terputus. "Apa kakakku yang melarangmu?"

"Melarang apa?"

"Melarang agar aku tidak menginjakkan kakiku lagi ke Jerman. Jika iya, kamu bisa membawaku ke mana pun itu, asal bukan di di sini. Kamu bisa membawaku ke Amerika. Kalau terkendala uang, kamu bisa mengirimku ke Indonesia. Bukankah negara itu cukup dekat dari sini?"

"Apa Nona sangat tidak suka berada di sini?"

"Bukan seperti itu ...." Zoey menutup mulut.

Manajer Eric pernah bercerita sedikit tentang masa kecilnya. Pria itu lahir di tempat ini dan kemudian menjadi tawanan perang yang dibawa ke Jerman. Mengingat hal itu, membuat Zoey menelan ludah.

"Begini saja," ujar Manajer Eric. "Untuk sementara, saya akan berusaha mencari penginapan di dekat perbatasan. Kita bisa pergi ke negara lain dengan mudah. Sembari menunggu, Nona juga bisa memikirkan untuk pergi ke mana setelah kita mengumpulkan banyak uang."

Zoey menghela napas. "Baiklah."

Eric tersenyum kemenangan. "Sekarang waktunya minum obat. Bisa tolong ulurkan tangan Anda?"

Gadis itu mengangguk.

Cuma RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang