Tidak enak. Semua makanan yang masuk ke mulut Geornia rasanya tidak enak. Keras, dia hampir tidak bisa menelannya. Ini bukan karena dua gigi susu yang patah kemarin. Entahlah. Padahal tadi itu terasa enak, tapi kenapa sekarang ....
"Apa kamu mau daging, Zoey?" Sosok pria dewasa bersuara dan menggarpu potongan ayam dadu. Ia mengarahkan garpu tersebut ke seorang gadis kecil.
Gadis di pangkuannya mengangguk semangat. "Ya!" Kemudian membuka mulut untuk mempersilakan potongan daging yang akan masuk. "Emm, enak!"
Pipinya menggembung seperti tupai. Itu terlihat menggemaskan dan memecahkan tawa semua orang. Semua orang, kecuali Geornia.
Bagaimana bisa dia tertawa setelah mendiang ibunya baru saja dikremasi? Semua orang tertawa karena hanya Geornia yang merasa kehilangan.
Ayah jahat!
Ia menggenggam pisau dengan erat hingga buku jari-jari memutih sembari mendengar tawa yang seakan mengejeknya.
"Kak, daging milikmu masih utuh. Apa kamu tidak suka? Aku bisa memakannya untukmu!"
Sekarang Zoey tersenyum, menawarkan diri merebut hidangan makan malam dengan dalih membantu Geornia, jadi apa Geornia akan kenyang setelah melihatnya melahap makanan yang seharusnya ia santap? Sejak kapan seseorang bisa mewakili rasa kenyang orang lain?
'Haa aku benci ini.' Geornia membatin dengan kepala serasa terbakar. Gigi gerahamnya bergemeletuk sebab saling bergesekan. Ini menandakan amarah yang memuncak, persis apa yang pernah dilakukan Madam Floyen. Mereka memang ibu dan anak.
Zoey yang mendengar bunyi gigi sang kakak, langsung menciutkan diri ke pelukan Tuan Hashe. "Ka-kakak?"
'Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Aku benci ... aku benci!'
"Geornia!" bentak pria itu sambil menatap putri sulung tajam. Gadis di pelukannya terperanjat dan menunduk takut, sedangkan Geornia terhenyak seraya mengangkat kepala.
Apa, kenapa? Akhir-akhir ini, Tuan Hashe semakin sering membentak Geornia. Malangnya anak itu baru menyadari bahwa sejak awal kedatangan Zoey, Tuan Hashe tidak pernah berubah, tetapi memang seperti itulah sikapnya.
Geornia tertegun usai mendengar bunyi gebrakan meja yang ternyata ulahnya sendiri. Ia menatap telapak tangannya dengan mata tak percaya. Tangan Geornia seakan bergerak tanpa perintah, membuat teh di cangkir melompat keluar.
Meja makan menjadi kacau dan Tuan Hashe menyuruh pembantu untuk mengeringkan tumpahan. Bukan hanya itu, pembantu juga membereskan piring Geornia.
Bibi Melisa menatap diam dari jarak kurang dari tiga meter. Ia melirik pada wanita lebih muda, seorang wanita pengasuh yang sama sepertinya, tentu saja pengasuh Zoey itu tersenyum tatkala menonton kericuhan tersebut. Dia suka membuat kekacauan di tengah keluarga yang hampir menyerupai kapal pecah. Tidak ada hari damai semenjak pengasuh baru itu direkrut.
"Karena kamu sudah selesai makan, kembalilah ke kamar! Dan jangan pernah keluar sebelum Ayah panggil."
Perintah renungan diri lagi. Sebenarnya kapan Tuan Hashe mau memperbarui jenis hukuman? Geornia muak. Tanpa menjawab, ia langsung melangkah menaiki tangga. Hatinya sakit. Jauh lebih sakit melebihi rasa sakit pada telapak tangannya yang terkena air panas.
"Ayah ...," panggil Zoey bernada rendah.
"Iya, Zoey Sayang? Kamu mau daging lagi?" Tuan Hashe melembutkan suara, berusaha membuat Zoey kembali rileks.
Geornia memejamkan mata. Meresapi dalam-dalam apa yang mereka sebut dengan suara manis. Tuan Hashe tidak sering menggunakan suara selembut itu. Sungguh bentuk kasih sayang antara ayah dan anak perempuan yang amat menyentuh.
'Kenapa semua orang menyukai Zoey?'
Geornia tak mengerti. Pertanyaan itu terbesit begitu saja di benaknya. Mereka, para penghuni Kediaman Stone menjadi tidak waras saat menyambut kedatangan nona baru.
'Kenapa hanya aku yang tidak bisa?'
Dadanya bergemuruh kesal. Langkahnya terhenti di pembatas besi, lalu tatapan berapi-api ditujukan pada Zoey. Bisa-bisanya dia tersenyum tanpa beban seperti itu di pangkuan Tuan Hashe!
'Ayah ....' Bibir Geornia gemetar. Biasanya, ia akan berteriak senang memanggil ayahnya dari atas sini. Kemudian, Tuan Hashe terlonjak kaget dan mendongak ke atas. Sayangnya kebiasaan lama tersebut tidak lagi berlaku semenjak Zoey datang ke rumah ini.
Lagi-lagi karena Zoey.
Geornia sendiri juga pernah menyukainya, setidaknya sebelum Madam Floyen berada di surga, tetapi sekarang berbeda. Semua yang dia lakukan terlalu menyebalkan meski dalam waktu bersamaan menghibur banyak orang. Sangat menyebalkan!
Merasa diperhatikan, Zoey pun menggerakkan bola mata ke atas. Tatapannya bertemu dengan Geornia. Mata biru itu tengah berkaca-kaca. Dia menangis tanpa suara serta mencebikkan bibir. Marah, kesal, dan bingung tentang apa yang harus dilakukan agar ayahnya kembali. Geornia ingin Tuan Hashe kembali mencintainya lagi.
Zoey tersenyum miring. Garis yang samar dan tidak simetris terukir di wajahnya, membuat Geornia mengedipkan mata beberapa kali. Ekspresi aneh yang baru kali ini ditunjukkan Zoey sedikit aneh. Dalam sekedip mata, Zoey tertawa riang bersama Tuan Hashe.
'Apa itu tadi?' batin Geornia sambil mengucek matanya, perih.
"Nona Besar." Panggilan khas yang terkesan sopan membuat Geornia berbalik.
Di matanya menangkap bayangan wanita memasuki usia awal tiga puluhan, sedikit lebih tua dari Madam Floyen.
"Bibi Melisa," sebut Geornia.
Wanita itu mendekat, kemudian meraih kedua tangan anak asuhnya penuh kehati-hatian. Seolah apa yang disentuhnya ini terbuat dari serpihan kaca yang tipis.
"Merah," ucap Bibi Melisa setelah membuka genggaman tangan Geornia. "Inilah kenapa Madam menyuruh saya memotong rutin kuku tangan Nona."
Geornia menunduk, mengikuti arah pandang Bibi Melisa. Wanita itu sedang mengelus setiap tanda merah dan menimbulkan sensasi dingin. "S-sakit, apa yang Bibi kasih?"
"Krim obat," jawab Bibi Melisa singkat.
Nyaris tanpa ekspresi, tetapi bukan berarti wanita bersanggul sederhana itu tidak peduli.
"Anda harus pintar menahan emosi."
Geornia membiarkan wanita itu mengurusnya, bahkan ia mengeluarkan sebuah plester kecil untuk membalut jari-jari yang lecet terkena ujung kuku. Sudah seminggu lebih kuku tangan Geornia tidak dipotong sehingga membuatnya tambah panjang.
"Ayah tidak menyayangiku," ujar Geornia menatap lurus manik hijau tersebut.
Sebuah asumsi yang keluar dari mulut kecilnya, membuat Bibi Melisa menggeleng pelan. "Ssst! Nona dilarang berkata seperti itu. Tuan Hashe selalu menyayangi Nona Besar. Dari dulu sampai sekarang, Tuan Hashe tetap seorang Ayah yang selalu menyayangi Nona dan tidak akan berubah di masa depan."
"Bibi Melisa bohong!" Geornia melengkungkan bibir ke bawah. Suaranya agak bergetar. Sebentar lagi dia pasti menangis. "Nyatanya, Ayah lebih banyak menghabiskan waktu untuk Zoey? Saat aku dihukum pun, dia tidak pernah main ke kamarku. Terakhir kali Ayah berkunjung ke kamar Nia adalah hari ketika Zoey dipindahkan ke lantai satu."
Bibi Melisa menangkup wajah Geornia. "Saya tidak bohong. Tuan Hashe sangat menyayangi Nona Besar dan Nona Kecil. Kasih sayang Tuan Hashe terbagi rata. Namun karena Nona Kecil telah mengalami banyak hal sulit di luar sana, jadi Tuan Hashe berusaha mengganti masa-masa sulit tersebut dengan kenangan indah di rumah ini. Nona Besar tidak perlu khawatir bahwa kasih sayang Tuan Hashe berkurang. Itu sama sekali tidak benar," jelasnya panjang lebar.
Apa yang bibi pengasuhnya katakan sama sekali tidak dapat masuk di kepala seorang anak berusia sepuluh tahun itu. Mau dipaksa bagaimana lagi, Geornia tetap tidak mengerti kenapa Bibi Melisa menganggap bahwa kasih sayang Tuan Hashe sama rata. Jelas-jelas perbedaannya sangat nyata terlihat. Ia hanya mendengar penjelasan Bibi Melisa tanpa berniat merespon. Ia pun diam saja saat Bibi Melisa merangkulnya atas dasar prihatin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuma Revisi
RomancePenulisnya lagi sibuk mengurutkan bab cerita! Stop disturbing.