Dialog Eric kurang mulus, Sha.
Senyum Aisha memudar, tergantikan oleh raut wajah tanpa setetes darah. Mulutnya pun terbuka. "Ini salah paham!" teriaknya. "Saya tidak pernah—emmh!"
"Ssst!" Eric mencengkeram rahang wanita tersebut. Cengkeraman Eric begitu kuat sampai rasanya tulang rahang Aisha meremuk.
"Wanita sialan! Kau pikir kenapa aku bisik-bisik?" desis Eric sambil melotot. "Nonaku itu sedang tidur cantik. Jadi, dimohon kerja samanya, ya, hm?"
Pria berambut hitam itu melepas rahang si wanita, kemudian beralih mencapit dagunya. Ia memandangi bibir tebal yang gemetar sembari memikirkan warna benang yang cocok untuk Aisha.
"Apa kau suka pink?"
Aisha mengernyit. "Tidak. Saya membencinya."
"Bagus. Mulai sekarang kamu harus menyukai warna itu. Kau tahu? Aku baru saja membeli benang baru dengan bahan yang cukup elastis." Eric pun mengeluarkan benang yang dimaksud.
Ia menjatuhkan beberapa gulungan benang dari saku jaketnya. Setiap gulungan memiliki warna dan bahan yang berbeda. Mata Aisha langsung tertuju pada benang merah muda yang kini dipegang oleh Mr. Willson.
"Ini dia," ucap pria tersebut sambil menyeringai.
"Sir, itu bukan benang. Itu senar yang biasa anak-anak gunakan untuk membuat kerajinan manik-manik. Anda ingin membuat kerajinan?" sindir Aisha tanpa melupakan senyum formal.
Eric menatap senyum itu muak. "Ya, benar. Aku ingin membuat kerajinan, tapi kau yang jadi manik-maniknya."
"Haha, apa maksud ... Anda?" tanya Aisha dengan suara bergetar. Hidungnya berubah masam setelah Eric menunjukkan potret dari 'kerajinan' buatannya.
"Kau akan menjadi manik-manik cantik seperti ini," ucap Eric datar. Akhirnya, Aisha benar-benar kehilangan senyumnya.
Eric pun tersenyum puas. Tapi, ini bahkan lebih baik. Ia pikir wanita tersebut bereaksi lebih brutal misalnya menjerit atau semacamnya dan menimbulkan kekacauan.
"Apa Anda yang membuat mereka jadi seperti itu?" Aisha segera menetralkan ekspesi. Kini tubuhnya lebih stabil. Tidak lagi gemetar.
Tanpa sepengetahuan Eric, Dokter Miller berhasil mengurai simpul ikatan tali yang melilit pergelangan tangan Aisha.
"Ya. Mereka cantik, kan?" tanya Eric dengan bangga. "Berbeda denganmu, kau sangat jelek. Namun jangan khawatir, Dokter Aisha. Aku pasti akan membuatmu lebih cantik."
Aisha membulatkan mata mendengar hinaan tersebut. Mungkin penglihatan Mr. Willson bermasalah atau tipe kecantikannya abnormal.
"Sepertinya Anda perlu pemeriksaan dari Dokter Miller," balas Aisha.
"Kenapa? Mataku baik-baik saja."
"Di antara angkatan saya, saya yang paling sering mendapat pujian cantik dari dosen, rekan-rekan, dan para dokter pembimbing termasuk Dokter Miller," ujarnya tidak terima.
"Ah, sungguh? Dokter Miller, benarkah Anda memuji Dokter Aisha," tanya Eric sambil melirik pria tua itu.
Dokter Miller tertegun. Baginya, Aisha sudah seperti anak angkat perempuan yang memiliki semangat belajar cukup tinggi. Kesan tersebut dapat memberikan nilai lebih dari kacamata para dokter. Namun jika Dokter Miller berkata "ya", ia khawatir dengan adegan selanjutnya yang dilakukan Mr. Willson. Kemungkinan besar pria tersebut akan menghancurkan wajah orang lain.
"Ayo Dokter Miller, jangan diam saja! Saya ini cantik, kan?" sentak wanita berambut acak-acakan itu. Dia menyenggol lengan Dokter Miller dengan pundak, berharap harga diri atas kecantikan wajahnya terselamatkan.
Dokter Miller lalu menghela napas untuk menghadapi kepolosan yang hakiki. "Itu karena semua dokter koas yang masuk adalah laki-laki," jawabnya sabar.
"Apa?" ucap Aisha emosi.
Mendengar jawaban Dokter Miller, sontak Eric tertawa lepas. "Artinya kau itu memang jelek!"
Betapa memalukan ia hampir terpesona oleh garis wajah Eric yang tegas. "Oh? Ini serius. Pasti ada yang salah dengan penglihatanmu, Sir."
"Hah, lucu. Kau bahkan belum paham konteksnya. Dasar wanita bodoh," seringai Eric.
"Konteks apa?" tanya Aisha sambil menaikkan kedua alis. Dia harus mengulur waktu selagi mencoba menguraikan ikatan Dokter Miller. 'Ya Tuhan! Kenapa simpul ini sulit sekali dilepas?'
"Sudahlah. Aku malas menjawabmu," ujar Eric. Padahal, selama ini dia terus menjawabi semua perkataan yang orang lain lontarkan tanpa terkecuali. Entah kenapa berbicara dengan Aisha membuat energinya cepat habis.
"Anda pemalas, ya. Pantas saja semua kerajinan Anda tampak jelek," timpal Aisha memandang netra cokelat. "Omong-omong, Nona Pasien tidak kelihatan seperti kerajinan yang Anda buat di foto. Saya khawatir Anda juga menganggapnya jelek."
Eric beralih menarik rambut Aisha hingga wanita tersebut menjerit. "Coba ulangi lagi ucapanmu tadi."
Tidak hanya menghina hasil kreasi Mr. Willson, Aisha juga secara halus mengatai Zoey buruk rupa.
"Ahaha, telinga Anda juga bermasalah rupanya. Atau mau saya antar ke THT sekalian?" tawar Aisha yang langsung mendapat tatapan agresif.
"Kau—"
Pupil matanya menyusut dratis menjadi setitik kegelapan yang berkilat, seolah hendak meluapkan amarah yang menggelegak.
"Iya, saya kenapa?" tantangnya.
"Berisik!" Eric pun menarik kuat rambut Aisha ke samping. Terdengar dentuman keras antara tubuh wanita tersebut menghantam lantai.
Dokter Miller terbelalak. Masalahnya, hanya kursi Aisha yang jatuh karena ikatan sudah terlepas. Ditambah kepala wanita itu terbentur duluan, membuat lantai putih tiba-tiba berubah merah, semerah cairan yang bersumber dari pelipis Aisha.
"Anda benar-benar kasar, Mr. Willson."
Wanita itu mengaduh. Dia masih sanggup berdiri dengan menekan bagian kepala yang terasa sedikit pusing. Cairan tersebut merambah ke tangan Aisha, memberikan rasa hangat usai mengecup dinginnya lantai. Seluruh wajahnya berlumuran darah.
"Apa ini, kau tidak mati?" tanya Eric keheranan, namun juga lumayan kesal karena prediksinya meleset. Semula ia hendak membanting wajah Dokter Aisha agar setidaknya patah hidung dan kehilangan beberapa gigi seri.
"Aisha ...," panggil Dokter Miller dengan air muka cemas.
Aisha hanya menatap datar, lalu melihat tangannya yang terasa kental. Segala hal tampak kabur dan berputar. Sebenarnya, dia tengah menahan rasa sakit luar biasa di area kepala.
"Benturan seperti ini bukan apa-apa dibanding saat rambut saya dijambak. Ini tidak akan membuat saya mati."
"Haha, menarik. Tidak membuatmu mati, ya," gumam Eric. Lantas memerhatikan pergelangan tangan Aisha yang merah, bekas lilitan tali. "Kalau begitu, ayo buktikan besok apakah kau masih hidup atau tidak."
Kehausan yang sejak tadi Eric rasakan tiba-tiba meluap. Ia pun melangkah keluar dengan menginjak genangan merah yang tampak tenang di permukaan lantai. Sedangkan dari dagu Aisha, cairan hangat tersebut terus mengalir dan menetes.
Tak lama berselang, tubuh Aisha ambruk total. Dokter Miller lekas menghampiri raga wanita yang tergeletak lemah tersebut. Pendarahannya harus dihentikan atau tidak Dokter Miller akan menyesal karena kehilangan asisten yang selalu bersikap tangguh.
"Aisha ...."
"Saya baik-baik saja, Sir," sahutnya, lemas.
"Baik-baik apanya!" sembur Dokter Miller. "Sekarang kamu paham, kan, kenapa kita dilarang mencampuri urusan pribadi pasien selain menyangkut kesehatan? Itu bukan urusan kita."
Dokter Miller menyeka wajah Aisha, kemudian berusaha menekan area luka yang terbuka dengan kain baju lengannya.
"Tapi setelah saya pikir-pikir, menyelamatkan pasien juga termasuk urusan dan tanggung jawab dokter."
"Jangan gerak," ucap Dokter Miller saat Aisha mencoba menoleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuma Revisi
RomancePenulisnya lagi sibuk mengurutkan bab cerita! Stop disturbing.