Masa Dewasa 3.2 (Hilangnya si Ed)

2 0 0
                                    


Tak jauh dari tempat mereka, Eric yang hendak keluar pun membuka pintu berkisi. Mata pria tersebut terpaku kepada sosok gadis di depan. Dia muncul tanpa peringatan, mengintip apa yang terjadi di balik kaki Manajer Eric. Bayangan dua manusia itu ditimpa cahaya remang, tetapi memantulkan kilau kemerahan yang cukup kontras dengan kegelapan.

Zoey tidak mampu berkedip.

Manajer Eric mengambil langkah maju, melewati garis pintu yang memisahkan warna hitam dan putih pada ruang yang berbeda. Seolah ia baru saja keluar dari dunia penuh gulita.

"Nona, adakah sesuatu yang membuat Anda terbangun?"

Zoey meneguk saliva pahit. Ia lekas mengalihkan pandangan ke sembarang arah. "Tenggorokanku kering ... d-dan haus. Aku sudah memanggil perawat berkali-kali agar dia membawakanku segelas air, tapi tidak ada seorang pun yang menjawab."

Suara Zoey terbata-bata. Manajer Eric menyadari rasa takut yang terpancar dari sepasang netra abu milik gadis di depannya, tetapi ia tetap menghampiri Zoey dan merangkul kedua bahu yang gemetaran itu.

Setelah mengembalikan Zoey ke kasur, Manajer Eric meraih gelas kosong di atas nakas samping tempat tidur. Ia mengisinya dengan air dari dalam teko. Lagi-lagi, membuat gadis yang kini duduk di tepian ranjang merutuki perkataannya. Manajer Eric selalu menyediakan satu set alat minum di situ.

Zoe berterima kasih saat Manajer Eric menyerahkan gelas yang sudah diisi air dingin. Bahkan, tangannya menjadi lebih dingin. Gelasnya berembun. Pria itu membiarkan Zoey minum dalam sekali seteguk. Setidaknya sampai detak jantung dan deru napas gadis itu kembali normal.

"Berbahaya jika Nona pergi sendirian," ucap Manajer Eric sambil menerima gelas dari tangan Zoey.

"Aku haus. Biasanya seseorang mengambilkanku minum, jadi tanpa pikir panjang aku ...," ujar Zoey merasa tercekik. Ia kehilangan suara untuk menyelesaikan kalimat. Dengan pandangan kabur, matanya berkaca-kaca.

"Saya mengerti. Anda pasti sangat kehausan sampai-sampai menitikkan air mata seperti ini. Maafkan saya, Nona." Manajer Eric mengusap aliran sungai di pipi Zoey. "Bisa-bisanya saya tidak meninggalkan perawat untuk menjaga Nona. Saya bersalah. Terlebih, penglihatan Anda belum pulih."

Mendengar ucapan itu, Zoey hanya tersentak. Kalimat terakhir pria tersebut seakan memberi petunjuk tentang bagaimana Zoey harus bersikap. Bermain peran mungkin terlihat menyenangkan bagi Manajer Eric. Namun, Zoey tidak bisa melakukan ini lagi.

Dia menepis tangan Manajer Eric dari wajahnya. "Di mana Edmund?"

Zoey telah mencari jejak Edmund ke setiap sudut ruang. Hasilnya nihil. Seluruh jejak Edmund menghilang, termasuk pakaian medis dan alas kaki. Hanya menyisakan kotak pengobatan yang Manajer Eric curi darinya.

Zoey temenung, mengingat kondisi Edmund baru-baru ini. Wajah yang membengkak parah akibat pukulan Manajer Eric ternyata bukan alasan dirinya terlihat cemas. Gadis itu lebih mencemaskan apakah nyawa Edmund bisa berumur panjang. Keberadaannya masih menjadi tanda tanya sejak tadi malam.

Manajer Eric tersenyum. Jarang sekali Zoey dapat mengingat nama seseorang. Dia bahkan sering dihujat karena terlalu mudah melupakan nama penggemar.

"Rupanya hubungan kalian berdua cukup dekat, tapi sayang sekali ... perawat yang Anda maksud sudah dipecat."

"Apa?" tanya Zoey semari meremat ujung roknya. Jika perkataan Manajer Eric benar, ini adalah pakaian pertama dan terakhir yang Edmund siapkan untuk dia kenakan.

"Perawat—ah, maksud saya, Edmund. Dia sudah dipecat. Nona ingat, kan, kasus pelecehan yang sempat Anda mengeluh? Saya melaporkan hal itu kepada pihak rumah sakit. Bukan hanya Edmund, tetapi semua perawat yang sebelumnya bertindak kurang etis terhadap Nona juga saya laporkan. Untung saja, pihak rumah sakit mau mengambil tindakan cepat. Mereka langsung dipecat," jelas Manajer Eric panjang lebar.

"Kamu bilang ... mereka dipecat?"

Manajer Eric melihat keputusan asaan di mata Zoey.

"Kenapa bisa dipecat?"

Gadis itu tidak terima. Nada bicaranya melemah.

"Manajer Eric, memang kejahatan apa yang sudah mereka lakukan sampai harus dipecat?"

Zoey awalnya ingin melaporkan para perawat yang Manajer Eric sebutkan. Akan tetapi, ayolah! Ini bukan rumah sakit. Semua tindakan atas tuduhan itu juga bukan kelakuan mereka, melainkan Manajer Eric sendiri.

"Kenapa mereka dipecat?" tanya Zoey lagi, sedikit berteriak. Tenggorokannya mendadak kering. Kali ini benar-benar sakit.

Manajer Eric mengernyitkan dahi tidak suka. Melihat sang nona terbatuk-batuk, ia lantas mengisi ulang air dari teko.

"Bukankah mereka bertindak kurang sopan terhadap Nona? Mereka memang pantas dipecat." Manajer Eric bertanya sembari menyodorkan gelas berisi air.

Zoey menatap Manajer Eric dengan tajam. Kurang sopan, katanya? Lalu, apakah seorang manajer yang bernafsu terhadap artisnya disebut tindakan yang lebih sopan? Pikir Zoey, geram.

Zoey tanpa sadar menampik gelas yang dipegang Manajer Eric, sehingga terdengar bunyi pecahan menggema di ruang kamar.

Gadis itu pun menahan napas. Spontan, ia mendongak pada Manajer Eric, melihat ekspresi pria di depannya dengan jantung yang hampir lepas. Tangan Zoey sungguh tergelincir saat hendak meraih gelasnya, tetapi sepertinya percuma menjelaskan di situasi sekarang yang begitu rumit.

Manajer Eric terdiam beberapa saat untuk menatap ke bawah. Tetesan warna merah tampak memercik di lantai. Serpihan-serpihan kecil bersebaran, sebagian melukai jari kaki Zoey karena tidak memakai alas kaki. Rahangnya refleks mengeras, membuat gadis di hadapannya melebarkan mata takut.

Lalu, Manajer Eric berjongkok untuk membersihkan pecahan gelas menggunakan tangan kosong. Zoey menggigit bibir bawah. Ini di luar dugaan. Ternyata Manajer Eric tidak berniat mengatakan apa-apa.

Zoey menunduk dalam, menatap telapak tangan Manajer Eric yang meneteskan cairan merah segar. Zoey berusaha mengabaikan ketika seseorang dengan sengaja melukai diri sendiri. Akan tetapi, luka di tangan Manajer Eric terus mengingatkannya pada kejadian kemarin.

Saat menyajikan teh guradji kemarin, telapak tangan Manajer Eric juga terluka. Darahnya masih merembes meskipun dibalut dengan kain kasa. Karena balutannya terlihat kasar, jadi memungkiri beberapa tetes darah tercampur ke air teh.

"Manajer Eric," panggil Zoey. "Tanganmu terluka."

Dia mendongak pelan. "Saya baik-baik saja."

"Jangan salah paham. Aku bukannya mengkhawatirkanmu," kilahnya.

"Saya tahu, tapi tetap saja. Saya baik-baik saja." Manajer Eric tersenyum. Ia cukup puas karena Zoey berhenti memfokuskan pikirannya kepada pria bernama Edmund.

Hanya menyaksikan Manajer Eric menarik kedua sudut bibir, entah kenapa tengkuk Zoey langsung merinding. Tiba-tiba, tenggorokannya gatal.

Zoey terbatuk lagi. Ia menutup mulut sambil menatap Manajer Eric yang dengan gesit menuangkan air putih ke gelas baru.

Sejenak, Zoey paham mengapa Aisha sempat tidak percaya bahwa Manajer Eric akan melakukan hal-hal menjijikkan. Dia mempunyai rambut cokelat ikal, alis tebal, dan iris mata dengan warna senada. Kombinasi sempurna. Siapa saja yang melihat pasti mengira dia seorang pria yang hangat.

"Silakan, Nona." Pria ini bahkan menawarkan sesuatu berbau anyir untuk diminum tanpa melunturkan senyuman sedikit pun.

Hal tersebut membuat Zoey menggeleng heran. "Tidak mau," tolaknya. "Aku ingin air putih biasa, bukan sirup."

Cuma RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang