"Ada apa lagi? Aku sudah menghubungi Edmund. Tim mereka sedang perjalanan menuju alamat pasien," ujar Andrew, menaikkan sebelah alis kepada wanita bertanda nama 'Melisa'.
"Tidak, bukan itu!" Melisa menggigit kuku.
"Lalu apa masalahnya?"
"Sepertinya kita diprank."
Akhir-akhir ini, memang banyak panggilan masuk. Beberapa di antaranya hanya orang iseng yang bahkan menelepon tidak sampai satu detik. Kebanyakan dari mereka memutuskan sambungan telepon saat Melisa baru melontarkan satu pertanyaan.
"Jangan khawatir! Kalau kita diprank, mereka langsung sadar. Pasti Edmund dan teman-temannya akan putar balik dan kembali ke sini," balas Andrew tenang.
Melisa mendesah. "Aku harap juga begitu, Andrew, tapi kurasa ini bukan prank biasa."
"Maksudnya?" Andrew mengernyit.
"Apa kamu tahu apa yang pria itu katakan saat meneleponku? Dia berkata, bahwa kita terlambat. Dan seseorang sudah mati."
"Itu membuatku merinding! Aku yakin, dia membuat lelucon tersebut agar tim medis segera ke sana." Andrew tertawa garing.
Melisa menggertakkan gigi. "Tidak bisakah kamu lebih masuk akal? Mana ada lelucon seperti membunuh orang lain! Bahkan sebelum panggilan tadi benar-benar dialihkan, aku sempat mendengar ia tertawa selayaknya penjahat. Kalau semisal dia itu pembunuh sungguhan, aku khawatir dengan tim yang kita kirim ke sana. Bagaimana kalau mereka dalam bahaya?"
Gadis berseragam biru itu meraih ponselnya. Ia mencoba menghubungi Edmund agar tidak jadi pergi ke sana. Melisa tampak cemas menekan tombol-tombol angka tersebut. Sayangnya, hanya terdengar balasan dari operator.
"Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang sibuk atau berada dalam panggilan lain. Harap meninggalkan pesan suara setelah ...."
"Ah, mereka sibuk!" ucapnya frustrasi.
"Sudahlah, tenang saja! Mereka sibuk karena panggilannya sudah teralihkan dengan penelepon sebelumnya."
"Justru itulah yang membuatku tidak tenang!" teriak Melisa. "Coba kamu bantu aku hubungi Edmund, atau tidak kamu hubungi juga teman-temannya yang ikut. Siapa tahu mereka bawa ponsel."
Itu tidak mungkin. Selain ponsel yang diperlukan, aturan bekerja telah melarang petugasnya mengoperasikan ponsel pribadi karena dapat menghambat sinyal. Maka daripada mengikuti instruksi Melisa, Andrew lebih memilih mengamati riwayat panggilan di layar komputer. Matanya tampak jeli menyaring deretan nomor yang pernah mencoba terhubung dengan rumah sakit. Ia menemukan beberapa panggilan masuk dengan nomor yang sama.
Di sebelahnya, Melisa masih berusaha menghubungi Edmund. Ia sibuk menekan tombol. Akan tetapi, tertera pemberitahuan di layar hitam yang menunjukkan bahwa baterainya habis. Tersisa satu kotak daya energi sehingga mustahil untuk melakukan panggilan.
"Astaga ...," keluhnya. "Bisa tolong kamu pinjami aku ponsel?"
Andrew lantas menoleh. "Untuk apa?"
"Tentu saja untuk menghubungi Edmund dan rekan-rekannya." Melisa menjulurkan tangan.
"Ah ...." Andrew spontan meraba saku celana samping, seolah mengamankan agar tidak diambil Melisa.
Wanita itu menelengkan kepala setelah menyadari ekspresi Andrew yang enggan. Di sisi lain, ia sangat tidak menyangka.
"Aku tahu setiap ponsel menyimpan hal privasi pemiliknya. Tapi di saat genting seperti ini, apa kamu tidak akan mau meminjamkan ponselmu? Ayolah, kita harus mengabari Edmund secepatnya!" Ia setengah membentak sebab tersulut emosi.
Tampilan Melisa garang, namun belum membuat Andrew tergerak untuk menyerahkan ponsel pribadinya. Masalahnya, ia menyimpan sebuah rahasia di ponsel tersebut dan tidak boleh seorang pun mengetahui rahasia ini.
"Andrew!"
Melisa yang tidak sabar lalu menyerang Andrew dan berupaya merebut ponsel tersebut dari saku celananya.
Andrew tampak kewalahan saat tangan Melisa berusaha menelusup. "Mel, tidak. Kumohon! Argh, ja-jangan pakai ponsel ini! Aku membawa ponselku yang lain di tas!"
Belum berhasil Melisa mendapatkannya, tiba-tiba, telepon di dekat Melisa kembali berdering. Itu adalah telepon rumah sakit yang hanya boleh digunakan untuk menerima panggilan darurat. Wanita tersebut menjauhi Andrew dan mulai menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sekilas.
Ia lalu mengangkat telepon dengan wajah berseri. "Halo! Terima kasih sudah menghubungi X hospital. Ada yang bisa kami bantu?" sapanya semanis mungkin.
Hal itu membuat Andrew memutar mata. 'Apa dia pegawai bank yang harus tersenyum setiap menjawab panggilan?' Batinnya jenuh. Dia kembali menyibukkan diri mencatat informasi yang Melisa tangkap. Pasti akan sulit mengatasi masalah Edmund kalau panggilan telepon terus-menerus berdatangan.
"Huft, kenapa tidak bilang kalau kamu bawa dua ponsel?" sembur Melisa begitu sambungan telepon darurat terputus.
"Otakku sedikit ngelag karena kamu menyerangku tiba-tiba!" sergah Andrew.
"Baiklah, baiklah."
Melisa meraih tas kecil di bawah kursi yang diduduki Andrew, kemudian menemukan ponsel yang terlihat asing di sana. Ia belum pernah melihat Andrew memainkannya. Tanpa pikir panjang dan membuang waktu percuma, ia pun lekas mencari nomor Edmund dan menunggu jawaban darinya. Seperti biasa, selalu operator yang menjawab.
"Ini tidak berguna," ujar Melisa kesal, ingin membanting ponsel Andrew berhubung pria itu lumayan kaya.
"Sejak awal, memanggil mereka memang sia-sia," timpal Andrew tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer.
"Kenapa kamu sangat tenang? Apa yang sedang kamu lakukan?" Melisa tertarik pada kesibukan yang Andrew geluti.
"Ssst! Aku harus konsentrasi. Aku sedang mencari riwayat panggilan yang terlihat janggal. Kamu lihatlah ini," ucap Andrew sambil menunjuk salah satu nomor di daftar riwayat panggilan.
"Aku melihatnya, memang kenapa?" tanya Melisa antusias.
"Nomor ini telah melakukan panggilan darurat lima kali. Tiga panggilan gagal dan dua panggilan tersambung. Aku menebak panggilan yang tidak tersambung karena gangguan sinyal. Sedangkan panggilan keempat dan kelima ... ini sangat aneh," gumam Andrew sambil membolak-balikkan catatan yang ia tulis.
"Aneh kenapa?" tanya Melisa lagi.
Ia mengikuti arah pandang Andrew pada buku catatan. Raut wajahnya tegang saat mencari di mana letak keanehan tersebut. Namun lagi-lagi, secara mengagetkan, telepon sialan itu kembali berdering.
"Ya Tuhan!" Bahu Melisa berjengkit dan ia menyebut nama tuhannya sambil mengelus dada. Jantungnya hampir saja copot.
"Jangan diangkat."
Andrew mencekal pergelangan tangan, namun Melisa melepas tangan Andrew dan berkata, "Yang benar saja!"
Hal itu membuat Andrew mendengus kasar. Dengan malas, ia membuka halaman baru pada buku catatan. Untungnya ia tidak membuat halaman baru itu robek. Melisa hanya terkekeh.
"Ayolah, ini bukan waktunya marah. Setelah ini, aku janji akan melewatkan beberapa panggilan dan membantumu mengeceknya, oke?" bujuk Melisa yang kemudian diangguki oleh Andrew.
Di sisi lain, Edmund menghentikan mobil ambulans ke tepi jalan. Ia membuka kaca mobil dan mendapati pepohonan ekaliptus yang jarang disentuh. Tidak tampak satu pun perumahan di segala penjuru.
"Mr. Willson," panggilnya. "Apa suara saya terdengar?"
"Ya," jawab pria di seberang panggilan.
"Syukurlah. Jaringan di sini sangat buruk. Sepertinya kami tersesat dan hanya berputar-putar, jadi kami membutuhkan waktu tambahan untuk kembali ke jalur yang awal. Apa Mr. Willson bisa menyebutkan ciri-ciri tempat Anda sekarang?" Edmund berbicara melalui penghubung suara di telinga.
Eric tersenyum miring. "Di mana posisi kalian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuma Revisi
RomancePenulisnya lagi sibuk mengurutkan bab cerita! Stop disturbing.