Masa Dewasa 2.6 (Kunjungan Kedua)

3 0 0
                                    


Ceklek!

Zoey menoleh ke sumber suara. Dari arah pintu, Manajer Eric muncul dengan membawa sepiring salad.

'Cepat sekali,' batin Zoey. Gadis itu sampai tidak mendengar langkah kaki Manajer Eric karena terlalu fokus menghapal nomor telepon.

"Siapa?"

"Ini saya, Nona. Saladnya sudah datang. Saya akan meminta perawat untuk menyuapi Anda."

Dalam hati, Edmund menggeleng keras dan berharap Zoey menolak pernyataan Mr. Willson.

"Kenapa bukan Manajer Eric yang menyuapiku?"

"Anda ingin saya suapi?" Manajer Eric bertanya balik.

"Ya, jika Manajer tidak keberatan."

"Tentu." Kemudian ia menghampiri Zoey.

Edmund justru lega karena bisa menghindari perintah Mr. Willson. Oleh sebab itu, Mr. Willson melayangkan tatapan tajam ke arahnya, memperingatkan Edmund agar jangan senang dulu.

Beberapa menit lalu, padahal ia berusaha menambah momen terakhir Zoey bersama perawat dadakan tersebut. Namun menyadari mata khawatir gadis itu yang seolah takut kehilangan, membuat Manajer Eric semakin tidak sabar mengurus mayat Edmund di masa depan. Sepertinya kesabaran Manajer Eric juga bisa hilang.

'Kira-kira bagaimana ya ekspresi yang nanti Nona tunjukkan?' pikir Eric sembari mengaduk mayones.

"Wah, saladnya enak!" puji Zoey di sela-sela kegiatan mengunyahnya. Dia melontarkan pujian tanpa sadar.

Manajer Eric mengangkat kepala, menatap mata Zoey penuh bintang. Perlahan ia tersenyum. "Tomat di sini sedikit hambar."

"Benarkah? Tapi seperti biasa, ini sangat manis—" Zoey merasa kulit wajahnya seketika kaku.

Seperti biasa?

Manajer Eric lumayan sering membuat salad. Lalu, seperti biasa, salad buatan Manajer Eric memang enak.

"Syukurlah kalau Anda suka."

Laki-laki itu terus memasang senyum sambil menyodorkan suapan ke bibir Zoey. Mau tidak mau, Zoey melahap ujung garpu tersebut.

"Nona, saya lupa memberi tahu kalau hari ini Dokter Miller akan memeriksa kesehatan Anda."

"Apa dia dokter sungguhan?" tanya Zoey tanpa berpikir dua kali. Ia bahkan terkejut dengan pertanyaannya sendiri. Kepalanya masih memusingkan kenapa Manajer Eric mau repot-repot membuatkan salad sayur.

"Pertanyaan Anda lucu. Dokter Miller adalah dokter mata yang cukup terkenal di Kota Z. Mungkin Nona tidak ingat, tapi dia pernah mengunjungi Nona satu kali sebelum Anda benar-benar siuman."

Penjelasan Manajer Eric membuat Zoey menghentikan aksi mengunyahnya. Jika itu dokter mata, permainan 'petak-umpet' yang selama ini Zoey mainkan bersama Eric bisa berujung kalah.

"Aku tidak ingat," gumamnya.

"Akan lebih aneh kalau Anda mengingatnya."

"Ah, kapan dia tiba ke sini?"

Manajer Eric mengetatkan bibir. "Entah. Jarak Kota Z ke sini sangat jauh yaitu sekitar satu hingga dua jam perjalanan, tetapi Dokter Miller bisa tiba kapan saja tergantung sejak kapan dia berangkat dari sana."

Tiba-tiba, ponsel di saku celana Eric bergetar. Pria itu pun mengalihkan aktivitasnya dengan melihat notifikasi panggilan dari seseorang.

"Siapa ini? Dia panjang umur," seringai Manajer Eric begitu membaca nama yang tertera di layar ponsel. Sangat berbeda dari apa yang dia ucapkan, si pemanggil sudah ditandai sejak awal olehnya dengan nama samaran 'Target Ke-XXX'.

Manajer Eric memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Ia hanya melihat notifikasi tanpa berniat mengangkat panggilan tersebut.

"Memang siapa yang panjang umur?" tanya Zoey, penasaran.

"Dokter yang baru saja kita bicarakan. Dia sudah sampai," jawabnya.

"Maksudmu Dokter Miller?"

"Tepat sekali." Manajer Eric mengusap bibir Zoey, membersihkan setitik mayones yang mengotori wajahnya. Penampilan berantakan gadis itu ternyata tetap terlihat memikat di mata Eric. "... Nona, sebaiknya Anda berganti pakaian."

Refleks, gadis bermata abu itu menyentuh kancing baju paling atas yang ia kenakan. Wajahnya berubah masam.

Eric menghela napas. "Anda tidak mau? Kalau begitu, tolong pakai ini." Lalu, ia melepas jaket untuk disampirkan ke tubuh Zoey. Pria tersebut bermaksud menutupi sebelah bahu Zoey yang telanjang. Jika dilihat secara teliti, Eric bahkan mampu menangkap bayangan polos gadis di depannya ini di balik kain tipis yang dipakai.

Bulu kuduk Zoey sontak meremang.

Untuk sekian detik, Zoey perlu menahan napas agar tidak menghirup aroma jaket milik Manajer Eric. Kepalanya pusing mencium wangi jaket tersebut. Ia ingat betul bagaimana aroma parfum menguar saat perawat cabul melecehkannya. Musk, daun mint, cengkeh, dan kayu manis. Kombinasi wewangian yang sempurna sampai-sampai membuat Zoey ingin muntah

.

"Nona, kenapa? Wajah Anda pucat."

Zoey menurunkan kepala saat Manajer Eric hendak menyentuh rambutnya, lalu ia menggeleng lemah. Tindakannya seolah menghindari sentuhan Eric. Pria itu hanya mengertakkan gigi karena lagi-lagi nonanya menyembunyikan sesuatu.

"Kalau tidak ada apa-apa, saya izin keluar sebentar. Saya harus menemui Dokter Miller di depan. Anda tunggu di sini."

"Oke." 'Memangnya aku bisa menunggu di mana lagi, sialan?' batin gadis itu kesal. Ucapan Manajer Eric seolah menyindir kondisi tubuhnya.

Zoey menatap kepergian Manajer Eric melalui ekor mata. Kemudian, sosok Edmund ikut terekam. Pria jakung itu menautkan kedua alis tatkala Zoey menggerakkan tangan sebagai isyarat agar dia mendekat. Tercetak jelas raut wajah Zoey sedang semerawut.

"Kamu kenal Dokter Miller?" Ia bertanya.

Edmund menggeleng cepat. Bukan berarti tidak tahu, tetapi terlalu malas rasanya menjelaskan sesuatu pada situasi yang kurang mendukung.

Dokter Miller berasal dari rumah sakit Z di Kota Z. Kota ini sebenarnya terletak cukup jauh dari kota X, bahkan dekat sekali dengan garis batas negara. Edmund pernah sekilas membaca berita koran tentang kunjungan Dokter Miller ke beberapa daerah pelosok benua. Pria paruh baya tersebut rela berjalan kaki menjejali akar pohon demi pasien daripada berdiam diri di ruangan dan menunggu pasien datang. Namun, semua upayanya juga didukung oleh orang-orang besar di balik layar.

Ada dua tipe pasien yang akan Dokter Miller layani. Pertama, orang yang sangat kaya raya yang mana keberadaan memengaruhi kelangsungan hidup banyak orang. Kedua, orang yang ingin dia kasihi.

Tipe kedua bisa berasal dari kalangan mana saja. Seperti kejatuhan malaikat. Mau pasien orang kaya atau miskin, jika Dokter Miller merasa kasihan, bisa dikatakan bahwa pasien tersebut sangat amatlah beruntung.

"Ini buruk," gumam Zoey sambil menggigit ujung kuku. "Sial, benar-benar sial!"

Apabila terkuak dari mulut Dokter Miller bahwa Zoey sudah bisa melihat, entah apa yang akan manajer gila itu lakukan?

"Selamat datang ...." Eric tiba di garis pintu, menyambut Target Ke-XXX dengan senyuman terlebar. Detik berikutnya, kedua alis pria itu terangkat. "Ah? Rupanya Dokter Miller tidak datang sendirian."

Eric segera menutup pintu, seakan enggan membiarkan orang lain melihat isi di dalamnya. Di samping pria paruh baya tersebut berdiri seorang wanita muda yang memiliki senyum formal.

Dokter Miller mengabaikan sambutan Eric dan mulai memperkenalkan, "Aisha, kenalkan ini Mr. Willson. Dia adalah wali dari pasien yang akan kamu tangani."

Wanita berbehel itu sedikit menunduk seraya menempatkan telapak tangan ke dada. "Halo, Sir! Saya Aisha, dokter koas dari Rumah Sakit Z. Apakah pasiennya sudah siap diperiksa?"

Aisha tersenyum kikuk karena Mr. Willson tak kunjung merespons. Suasananya berubah canggung, terlebih tatapan Eric pada Dokter Miller begitu menyeramkan.

Cuma RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang