PART 41
Moni kembali menjadi gadis pemurung yang makan siang sendirian di meja paling pojok di kantin sekolah. Area tersebut paling panas karena terkena sinar matahari, jarang murid-murid mau duduk di sana. Namun bagi Moni area itu adalah yang paling gelap di antara semuanya saat ini. Inilah dunianya yang lama, yang ia pikir telah ia tinggalkan sejak pertama kali berjumpa seorang Khalil, dimana hatinya tak lagi sepi. Namun seperti juga yang pernah ia takutkan sebelumnya, tak ada teori baru dari yang namanya perasaan terluka akan harapan... Ini hanyalah rumus-rumus usang yang harusnya telah ia kuasai selama bertahun-tahun. Harusnya ia menyimak benar-benar kata-kata si jenius itu kemarin, "kenapa gak lo buang aja itu harapan?" Semua kode telah disebar oleh Khalil, namun mengapa orang-orang bodoh seperti dirinya masih terus berharap? Pada akhirnya semua adalah palsu...? Moni tak ingin menyalahkan pemuda itu. Tidak ada yang namanya pengkhianatan di sini. Yang ada hanya si jenius dan si bodoh. Seharusnya dirinya mendapat medali emas untuk kebodohan kali ini.
Moni mengeluarkan tempat makan dan botol minum dari tas kecilnya, memandangnya sejenak. Lalu mengeluarkan sekantung kecil coklat bulat, sekantung amunisi yang biasa ia gunakan untuk bertahan melalui hari-hari sepinya, hampir ia pikir tak akan membutuhkannya lagi...? Betapa naifnya? Moni pun memasukan kembali tempat makannya, dan hanya menyantap coklat bulat itu sebagai makan siangnya, satu per satu...
PART 42
Bel pertama menjelang akhir istirahat telah berbunyi, bel yang menandakan agar seluruh siswa bersiap untuk kembali ke kelas sebelum bel kedua yang menyatakan pelajaran akan dimulai. Para siswa pun mulai beranjak dari kantin berbondong-bondong. Moni masih belum bergerak dari tempatnya. Ini lebih berat dari yang pernah ia alami sebelum-sebelumnya di sekolah. Untuk pertama kalinya Moni tak ingin kembali ke kelas. Dan sekantong coklat bulat itu sudah habis separuh, ketika Khalil dan rombongannya yang gaduh itu melewati kantin dari arah lapangan basket... Moni terkejut, tak sempat bersembunyi, segera menutupi wajahnya dengan botol minum di hadapannya yang mana tak menyembunyikan apapun. Tak sengaja Khalil melihat ke arahnya, pemuda itu menghentikan langkahnya, nyengir, dan menyuruh kawan-kawannya untuk kembali ke kelas duluan. Duk! Moni langsung menjatuhkan wajahnya ke meja agar benar-benar tak terlihat. Namun terlambat, Khalil berjalan mendekatinya dengan wajah sumringah.
"Mon! Lo ngapain? Tidur...?"
Moni bertanya-tanya, permainan apa ini? Sesaat melupakannya, sesaat kemudian bersikap seolah tak terjadi apapun?
Pemuda itu mengguncang-guncangkan tubuh Moni dengan bersemangat. Moni terus bertahan menutupi wajahnya dengan menghadap ke meja.
"Eng... gue bukan Moni..."
Khalil tertawa. Tak habis pikir melihat tingkah teman barunya itu. Namun tawanya berhenti ketika ia melihat sekantong coklat bulat itu. Mengernyitkan alisnya. Khalil pun segera tersadar apa yang tengah dialami sang kawan.
"Mon... Lo lagi sedih...?"
"Gue bukan Moni... Lo pergi aja..."
"Lo kenapa?"
"Gue gak kenapa-kenapa... Udah balik ke kelas sana..."
"Gue gak akan pergi sebelum lo cerita. Terserah. Kalo lo gak mau ikut kelas, di sini aja juga gapapa. Gue temenin."
Khalil duduk di atas meja itu, menyomot coklat bulat Moni, mengangguk-angguk, ternyata memang enak, tak heran gadis itu menyukainya. Pelan-pelan Moni merapikan tas bekalnya di kursi, dan tanpa mengangkat kepalanya ia bangkit berusaha untuk menyelinap pergi. Namun Khalil mencekal pundaknya dari belakang, mendudukannya kembali, bahkan tanpa menoleh dan terus mencomot coklat bulat itu. Akhirnya Khalil menyadari kalau gadis itu habis menangis. Apalagi kali ini...?
"Lo nangis lagi...? Itu hobi atau apa?"
"Engga... tadi abis... bersihin belek... terus kecolok."
Wajah Moni memerah, segera mengusap-usap mata & wajahnya. Khalil menatapnya datar.
"Kalo mau bokis yang professional dikit..."
"Yang bo'ong itu elo... Dan iya... lo profesional..."
"Hah??"
"Sori. Gapapa. Gue cuma mau balikin ini..."
Moni segera mengambil kantong bunga-bunga yang berisi discman milik Khalil, dan menyodorkannya pada pemuda itu. Khalil mengambil kantong itu dan melihat isinya.
"Hmm... Jangan bilang lo nangis gara-gara ini...?"
"Gue udah bilang mata gue kecolok... Mungkin gara-gara... gue gendut... dan Cina... dan lo malu sama temen-temen lo... kalo lo kenal gue... Oh, sori. Ini masalah gue."
Khalil terbengong-bengong sebentar.
"Lo ngomong apa sih? Gue gak pernah malu punya temen gendut, atau Cina, atau belekan, atau tukang bokis amatiran, atau yang lainnya..."
Lalu mereka sama-sama diam. Khalil merenung sejenak, mencoba mengurut-urut, apa kira-kira penyebab Moni seperti itu...
"Apa jangan-jangan... lo berpikir... kalo tadi pagi, gue..."
Moni segera memotong kalimat Khalil. Ia tak ingin dipermalukan lebih jauh. Orang bodoh sekalipun punya harga diri.
"Cukup, Khalil. Gue gapapa. Gue udah paham, sepaham-pahamnya. Dan iya, gue udah janji, harus baik-baik aja..."
"Bisa gak lo stop mikir sendiri, dan jangan potong orang lain ngomong?"
Ucapan Khalil kali ini terdengar kalem saja namun penekanannya begitu tegas. Pemuda itu menatap lekat Moni, tampak seperti hampir habis kesabarannya. Moni terkejut... Dan lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba dari belakang Khalil seorang gadis cantik datang menghampiri mereka...
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Secret Romance - 1998
Humor...Ada gemuruh juga keheningan, ada selintir nyeri juga hangat yang berpendaran... Mereka yang saling membaca, walau dalam diam. Senyum itu mulai tersungging, yang termanis yang pernah dilihat Khalil, yang tertulus yang pernah dirasakan Moni. Walau...