PART 78
Hari mulai gelap. Pada sebuah ruang tunggu di rumah sakit, tampak sekelompok pemuda duduk dengan lesu, setelah baru saja mendengar keterangan dari dokter yang berjaga mengenai kondisi terakhir kawan mereka yang siang tadi dilarikan ke IGD karena kepalanya bocor terkena benda keras saat tawuran. Sang dokter menyisir wajah-wajah di ruang tunggu itu, nampak belum ada orang tua yang muncul.
"Di sini ada keluarga dari saudara Rizal?"
"Saya sepupunya Rizal.
"Apa orangtua sodara Rizal sudah dihubungi?"
"Kita masih usahakan mengabari ibunya, dok. Masih kerja di pabrik, mungkin lembur."
"Oke, saya mau beritahu kalau saudara Rizal kondisinya saat ini masih kritis, dia belum sadarkan diri. Harus secepatnya kami pindahkan ke unit ICU untuk mendapat perawatan lebih intensif. Karena luka bagian kepala ini cukup parah, dari hasil CT Scan ada pendarahan di otak, ini harus segera dioperasi. Tolong kabari kalo keluarga setuju, silahkan segera ke bagian administrasi. Ada yang perlu ditanda-tangani."
Soleh dan kawan-kawannya tersentak. Kian lemas sejadinya. Tak pernah terpikirkan di kepala anak-anak itu, bahwa resiko mengalami luka, cacat, bahkan kematian telah membayangi mereka semenjak batu pertama dilemparkan. Kenyataan menohok ini sungguh membuka mata, dan penyesalan berkepanjangan mengular. Pun ada yang sok optimis.
"Biar gimana pun kita menang. Cuma Rizal doang korban dari pihak kita yang parah... Lebih banyak korban dari sekolah sebelah..."
Seorang kawan lain langsung menghardiknya.
"Lo masih bego aja sih?? Anak-anak sebelah itu emang lebih banyak korbannya, tapi ada yang separah si Rizal gak??"
"Udaah... Sekarang gimana caranya kasi tau ibunya Rizal nih? Mana bapaknya gak ada. Masuk ICU biayanya berapa?? Berapa hari...? Belum kalo nanti gegar otak, harus operasi, dll. Masa depannya gimana...?"
"Suruh sepupunya dong ngomong..."
Soleh diam, dan semua pun ikut diam. Suasana sedikit tegang.
"Besok kita urunan duit sama anak-anak satu sekolah, adik-adik kelas kalo perlu kita paksa. Pokoknya sampe nutup semua biaya rumah sakit, apapun caranya."
Mereka kembali diam.
"Duh, nyesel gue... Kenapa tadi kita gak dengerin si Darlang dulu ya? Sebenernya alasan kita untuk menyerang itu..."
Soleh langsung memotong.
"Temen kita dikeroyok! Lo mau harga diri lo diinjek-injek karena dipikir lo lemah?! Gak ada yang mau si Rizal jadi korban, tapi serangan ini buat kasi pelajaran sekolah-sekolah lain, jangan ada yang berani-berani sama kita!"
Anak-anak itu pun bungkam, walau di saat seperti ini masing-masing telah memiliki pendapatnya sendiri, namun tak ada yang berani membantah Soleh, tak ada gunanya pula setelah korban tergolek lemah di RS. Tiba-tiba ada seorang anak berkacamata yang nampak pilun menghampiri mereka, tak ada yang memperhatikan kehadirannya di sana, anak tersebut langsung mendekati Soleh dan membisikinya sesuatu, yang membuat darah pemuda itu kian mendidih... Anak itu segera pergi, sebelum yang lain menyadari. Soleh menghembuskan nafasnya dengan kasar.
"Denger ya... mulai sekarang, jangan ada yang berani-berani nyebut nama banci yang gak punya titit itu di depan gue! Penghianat! Kita kasi pelajaran dia besok...!"
Sontak sekelompok pemuda itu terkejut. Siapa gerangan yang dimaksud Soleh?
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Secret Romance - 1998
Humor...Ada gemuruh juga keheningan, ada selintir nyeri juga hangat yang berpendaran... Mereka yang saling membaca, walau dalam diam. Senyum itu mulai tersungging, yang termanis yang pernah dilihat Khalil, yang tertulus yang pernah dirasakan Moni. Walau...