"Apa Anda punya pasien?"
Semula Eric mengeraskan rahang, membayangkan tangan kotor milik Edmund menyentuh kulit Zoey. Namun saat melihat seragam biru Edmund yang bukan dokter, ia langsung memikirkan alasan agar bisa menghabisi pria tersebut.
"Kau mau apa kalau aku punya pasien?" tanya Eric tak senang.
"Saya mungkin bisa membantu Anda merawat pasien tersebut," jawab Edmund cepat.
Sungguh, ia tidak berharap banyak apakah di rumah ini memang terdapat seseorang selain Mr. Willson dan mayat. Ternyata pria penjahat ini masih memiliki sesuatu untuk dilindungi. Apakah semua penjahat mempunyai sedikit sisi manusiawi?
Eric tampak berpikir. Kemudian menyuruh Edmund supaya mengikutinya ke kamar Zoey. Pria itu pun mengikuti Eric tanpa ragu. Jalannya pincang sembari menahan nyeri di kaki. Sembari berjalan, Edmund sempat melihat-lihat seluruh isi kamar,saat itulah tengkuknya merinding, terutama bagian dinding yang memamerkan foto-foto orang dengan bentuk tak lazim. Kebanyakan dari mereka wajahnya tidak berbentuk sehingga sulit dikenali.
"Ini ...," gumamnya tak percaya. Langkah Edmund terhenti pada papan foto yang masih hangat alias terbaru. Serangkaian potret dua wanita berseragam biru terjebak dalam kebakaran mobil.
Eric menyadari Edmund tidak lagi mengikutinya. Dia lalu menoleh ke belakang, mendapati pria di sana tak mampu berkedip karena memandangi sebuah karya seni.
"Sudut pandangnya bagus, kan?" tanya Eric dengan menunjuk salah satu foto.
Eric memotretnya dari luar jendela depan bagian samping. Kala itu mata Helena sangat fokus pada kamera. Tatapan yang seolah bukan hanya mengharap pertolongan, tetapi juga kehilangan harapan. Sebagian wajahnya penuh darah karena mengalami benturan dahsyat di kepala.
Edmund mengepalkan tangan. Ia hampir saja punya keinginan meninju Eric. "Mr. Willson, apa hanya ini foto-foto yang Anda ambil?"
Eric tersenyum. "Aku punya lebih banyak foto di kartu penyimpanan. Kenapa? Kamu mau mencuri untuk bukti? Sayang sekali, karena percuma saja jika kau menyerahkan bukti pada polisi."
"Tidak, saya hanya ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Wanita ini adalah tunanganku. Sebenarnya minggu depan kami hendak melangsungkan pernikahan."
Hati Edmund ngilu saat menjawab perkataan Eric. Kalau Bridie mengetahui dirinya tertangkap oleh Mr. Willson, dia pasti menyumpahi Edmund karena meragukan insting seorang wanita. Eric menguap bosan mendengar drama kehidupan Edmund dan tunangannya yang sudah mati. Mengenang foto tunangan yang tengah sekarat? Betapa lawaknya. Bahkan wajah kedua wanita di dalam foto sudah tidak bisa dikenali.
"Jangan coba-coba menghambat jalan," ucap Eric, datar.
Edmund tercekat. Ternyata dia lebih waspada daripada yang Edmund kira. Kalau begitu, tidak ada cara lain kecuali seperti ucapan Mr. Willson. Mencuri barang bukti. Tanpa sepengetahuan Eric, Edmund diam-diam mengopek sebuah foto dan memasukkannya ke celana dalam.
Eric membawa Edmund ke hadapan Zoey. Gadis itu masih damai dalam tidur. Sesekali mengigau menyebut kakaknya dengan nada gelisah.
"Astaga ...," gumam Edmund. Mata pria itu tak mampu berkedip saat memandangi wajah Zoey.
Eric yang melihat itu, seketika melayangkan tinjuan keras ke wajah Edmund. "Beraninya!"
Edmund tersungkur ke lantai. Otaknya masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Ditatapnya Mr. Willson yang tengah mencuramkan kedua alis. Oh, tidak! Dia sedang kesal.
Tapi, kenapa? Edmund dibuat bertanya-tanya atas tindakan Mr. Willson.
Eric berusaha menjernihkan pikiran. Ia segera merapikan selimut guna menutupi lekuk tubuh Zoey. Detik berikutnya, Edmund mengerti. Ah, ternyata pakaian wanita itu basah kuyup karena keringat.
'Ya Tuhan, apakah mataku masih terpasang di kepala setelah melihat ini semua?' batin Edmund nelangsa.
Di antara ratusan potret yang menghiasi dinding kamar Zoey sekarang, seluruh papannya dikhususkan untuk subjek cacat. Hal paling mencolok menurutnya selain penjahitan mulut adalah manusia tanpa mata. Edmund sulit menelan saliva tatkala membayangkan potret miliknya tertempel di suatu tempat.
"Kenapa kau memegang matamu seperti itu?" tanya Eric penasaran.
Edmund membuyarkan lamunan. "Maaf, Mr. Willson."
"Nasibmu sangat baik karena aku sedang malas menyiksa orang. Jika kau melihat nonaku sekali lagi, aku tidak akan segan membuat matamu seperti di dalam potret"
"Saya mengerti." Edmund pun bernapas lega. Matanya baik-baik saja ... untuk sekarang.
Eric berencana mengambil dua belah mata Edmund sejak awal, tetapi selalu ia tahan karena disibukkan dengan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan Zoey. Kali ini ia harus mengundurkan rencana tersebut sampai kondisi Zoey pulih. Setidaknya, Zoey harus pulih dari demam tinggi.
"Berapa suhunya?" tanya Edmund memulai pemeriksaan.
"Terakhir aku mengeceknya empat puluh derajat," ungkap Eric.
Edmund mengangguk. "Apa Anda sudah menghubungi Kakak pasien? Daritadi dia terus ...." Pernyataan Edmund terpenggal oleh tatapan membunuh dari Eric. "Ah, kalau begitu, kita perlu cek ulang suhunya agar lebih akurat."
Karena termometernya sudah dibuang, Eric memilih menggeledah tas besar yang ia rampas dari mobil ambulans. Ia harap dapat menemukan sesuatu seperti alat pengecek suhu badan. Ketemu!
Lalu Eric mengarahkan alat itu ke kening Zoey. Bunyi 'tit' dari alat tersebut membuat Zoey tersadar beberapa detik. Dalam pandangan yang samar-samar, gadis itu menangkap bayangan buram seorang pria.
"M, manajer Eric?" gumam Zoey, pelan. Sangat pelan.
"Nona, saya hanya mengecek suhu Anda," jawab Eric sembari mengangkat alat pengecek suhu.
Zoey mengernyit sekilas, berusaha memperjelas visual Eric dengan menyipitkan mata. Gadis itu langsung memejamkan mata usai mendapat gambaran jelas dari wajah sang manajer.
"Mr. Willson, suhunya berapa?" tanya Edmund heran.
"Empat satu koma enam," jawab Eric.
Di kepala Edmund kini muncul pertanyaan-pertanyaan. Entah telinga dan otaknya yang tidak sinkron ataukah memang dia salah dengar, tetapi pasien memanggil Mr. Willson dengan nama lain. Mr. Willson memanggilnya 'nona', tetapi nona itu memanggilnya 'manajer'.
Sebenarnya siapa identitas pria ini?
Mengapa dia membunuh orang dan melakukan hal-hal tidak manusiawi?
Ke mana Mr. Willson yang asli?
Sayangnya, ia harus mengubur semua pertanyaan agar selamat. Edmund cukup terkejut dengan suhu tubuh Zoey yang melebihi batas normal dari demam biasa. Demam berdarah pun tidak mungkin sampai setinggi ini.
"Apa pasien mengalami diare?" tanya Edmund, memulai diagnosa.
Eric menggeleng. "Tidak."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuma Revisi
RomancePenulisnya lagi sibuk mengurutkan bab cerita! Stop disturbing.