Note: my dear reader yang dari umat Kristiani boleh koreksi kalau aku ada salah dalam mendeskripsikan tata cara pemakaman ya ^^
Kepergiannya begitu cepat. Membuat semua yang mengenal Juan ikut dirundung kedukaan. Termasuk bagi teman-teman sekolah Juan. Bahkan banyak di antara mereka yang masih memiliki perasaan bersalah karena dulu sempat ikut menjauh hanya karena Juan sakit.
Kini Juan telah damai dalam peluk Tuhan. Cowok itu tampak tampan dengan balutan jas putih dan riasan tipisnya. Sebuah sarung tangan yang senada pun melekat sempurna. Kino tak ada raut pucat yang biasanya menghiasi wajah itu.
"Dek, kalau emang nggak kuat ikut ibadah penghiburan, Adek ke kamar aja dulu. Nanti pas mau berangkat ke makam, Papa panggil."
Jevan menjadi sosok yang berbeda dari pembawaan biasanya. Cowok itu jarang menangis. Namun kini Jevan tak berhenti meluruhkan air matanya. Ia berdiri di samping peti mati sang kakak.
"Aku mau nemenin Kak Juan."
Arlan hanya mampu menghela napas pelan. Semua tak lagi sama sejak kepergian Liana, dan kini Juan pun harus ikut pulang. Entah bagaimana kehidupannya di masa depan. Namun satu hal yang pasti. Arlan akan mempertahankan kedua putranya yang masih bertahan.
"Biru?"
Kini perhatiannya terfokus pada Xabiru yang juga berdiri di samping terbaringnya si tengah. Berbeda dengan Jevan yang menangis tanpa henti, Xabiru bersikap sebaliknya. Cowok bertabur freckles di wajahnya itu hanya diam sembari menatap kosong ke arah Juan. Sesekali ia akan mengusap kening sang adik. Dalam hati, ada perjuangan untuk meraih kata ikhlas. Nyatanya begitu sulit ia genggap.
"Kalau mau nangis nggak apa-apa, Biru."
Xabiru mengabaikan semua ucapan Arlan. Pandangannya hanya tertuju pada si tengah yang tampak seperti manusia yang terlelap. Namun sayangnya mata itu tak akan pernah terbuka lagi. Cowok itu bahkan tak memedulikan para pelayat dan saudara seiman yang mulai melakukan ibadah penghiburan. Mereka terus memuji Tuhan dan juga memberi penghiburan pada Arlan, Xabiru, dan Jevan. Hingga saat seorang pendeta memberikan khotbahnya, Xabiru tetap diam.
'Lo tuh bisa nggak sih kayak gue dan Jevan? Kita berdua pinter, lo bego.'
Kedua tangan Xabiru mengepal erat seiring dengan rasa sesak yang menghujam. Kenangan kelam di masa lalu membuatnya kembali jatuh terperosok ke dalam lubang penyesalan. Dadanya naik turun karena perasaannya yang semakin hancur.
'Bang, sabar. Juan yang penyakitan dan bego ini bentar lagi mati kok.'
Tubuh Xabiru kian melemah. Hampir saja ia limbung jika saja Arlan tak menahannya.
"Biru, nggak usah ikut ke makam ya, ini udah mau ibadah penutupan peti. Lihat adek kamu dulu untuk yang terakhir kali."
Terlalu larut dalam kubangan penyesalan, ia sampai tak menyadari ibadah penghiburan telah selesai. Di sisi kanannya telah ada sang pendeta yang akan ikut ke pemakaman untuk memberi khotbah ibadah penguburan.
"Biru tetep mau ikut, Pa."
Baik Jevan dan Arlan hanya bisa pasrah. Keadaan Xabiru jauh lebih rapuh semenjak kepergian Juan. Cowok itu bahkan belum mengisi perutnya. Wajah tampannya tersamarkan oleh rona pucat.
"Juan," Biru menggenggam tangan dingin berbalut sarung tangan itu dengab lembut, "selamat berbahagia. Maafin abangmu yang bodoh ini."
Suara Xabiru sangat lirih hingga hanya dirinya sendiri yang mendengarnya. Tangannya sekali lagi mengusap kening itu dengan lembut sebelum akhirnya bergeser untuk memberi ruang untuk adik dan papanya melihat Juan.
"Kak Juan, dunia yang Kakak tinggali sekarang pasti lebih nyaman dan bikin Kakak bahagia ya? Be happy, Kak. Gue sayang lo."
Jevan terkekeh hambar. Merasa dunia yang ia pijaki seolah tengah runtuh. Padahal Jevan baru memulai untuk membayar jutaan rasa sakit yang ia torehkan. Namun nyatanya ia harus memulai hidup dengan berteman penyesalan.
Kini giliran sang kepala keluarga. Arlan adalah sosok tegar. Sekeras apa pun badai yang menerpa, ia harus terus mempertahankan kekokohannya demi menjadi pondasi untuk kedua putranya yang masih bertahan.
"Selamat jalan, Juan Nathanael. Kamu udah menang. Papa yakin kamu udah nggak sakit lagi. Papa yakin kamu udah ketemu sama Mama kamu. Maafin Papa selama ini ya?"
Setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Namun pria itu buru-buru menyekanya. Arlan harus tetap menjadi tangguh. Ada Jevan dan Xabiru yang harus ia perjuangkan kebahagiaannya.
Selama beberapa saat, mereka akhirnya hampir menyelesaikan semua prosesi pemakaman. Arlan membiarkan beberapa pelayat menutup peti mati Juan. Kedua tangannya memeluk bahu Xabiru dan Jevan. Dalam hati terus melantunkan doa pada Tuhan.
Tuhan, jaga Liana dan Juan untuk kami.
***
Arlan dan kedua putranya duduk di samping rumah abadi Juan. Papan nisan berbentuk salib bertuliskan nama sang terkasih seolah bagaikan belati tak kasatmata. Membacanya membuat hati mereka perih.
Semua pelayat dan saudara seiman mereka telah pulang lebih dulu. Meninggalkan mereka yang masih belum enggan meninggalkan Juan.
"Pa, Juan sekarang bahagia, kan?"
Suara lirih Xabiru membuat atensi Arlan terpecah. Pria itu meraih tubuh si sulung, mengusap bahu ringkih itu lembut.
"Iya, Juan bahagia. Dia nggak perlu lagi disuntik sana sini. Juan nggak akan kesakitan lagi."
Xabiru memejamkan matanya. Masih berusaha menghalau sesak yang belum juga sirna. Penyesalan itu semakin kuat memeluk hatinya hingga Xabiru rasanya ingin menyerah.
"Bang, ayo pulang. Kak Juan pasti sedih lihat kita berlarut dalam kedukaan."
Jevan yang sejak tadi sering menangis kini jauh lebih kuat. Ada lega yang terselip di antara rasa sesal.
"Kita akan sering jenguk Juan, Bang."
Xabiru menatap rumah abadi Juan sejenak. Pandangannya kosong hingga semakin lama berubah jadi bayangan samar. Sakit kepala yang sejak tadi ia tahan kini semakin kuat menderanya. Baru saja ia akan berdiri, cowok itu telah jatuh tersungkur dengan kesadaran yang tak mampu ia pertahankan. Dan sebelum kegelapan itu menjemput, selain suara Jevan dan Arlan yang memanggil namanya. Ada suara lain yang membuatnya semakin merindu.
'Selamat tinggal, Bang. Lanjutin hidup lo. Jangan khawatir. Gue nggak pernah dendam sama lo.'
-1
END
KAMU SEDANG MEMBACA
SERPIHAN LUKA [END]
Teen FictionNyatanya kebahagiaan yang Juan genggam hanyalah semu. Topeng yang mereka pakai akhirnya terlepas hingga membuat Juan merasa dikhianati oleh dunia. Spin Off dari cerita MENDEKAP LARA [Bisa dibaca terpisah]