Epilog

2.5K 97 6
                                        

Waktu berputar begitu cepat. Tujuh tahun berlalu sejak kepergiannya. Banyak hal yang dilalui dengan perjuangan yang berat. Tak mudah bagi mereka untuk bangkit. Apalagi sosoknya pulang dengan meninggalkan jutaan penyesalan yang membelenggu.

"Ju, apa kabar?"

Mereka datang untuk ke sekian kalinya. Namun kali ini dengan hati yang telah lapang. Xabiru menabur bunga di atas makam adik tercintanya yang telah berpulang tujuh tahun lalu. Di samping kanan dan kirinya ada Jevan dan Arlan.

"Abang yakin lo juga udah bahagia," Xabiru tersenyum hangat, "lo nggak perlu khawatir. Gue, Jevan, dan Papa udah ikhlas."

"Abang bener, Kak. Tenang. Kita udah bisa ngelanjutin hidup. Bener kan, Pa?"

Arlan hanya mengangguk. Dalam hati membenarkan bahwa ikhlas itu telah mereka genggam. Butuh waktu yang cukup lama hingga kini mereka bisa datang berkunjung ke rumah abadi Juan dengan hati yang lapang. Kala itu saat Xabiru pingsan, semua menjadi semakin rumit. Sulungnya didiagnosis Prolonged Grief Disorder oleh psikolog yang mereka datangi dan harus dirujuk ke psikiater untuk mendapatkan penanganan serius dan pemberian obat.

"Abang udah ikhlas. Kamu seneng kan di sana?"

Butuh waktu dua tahun baginya untuk bangkit dari keterpurukan atas kehilangan yang mendalam. Bahkan kala itu, beberapa kali Xabiru berusaha menghilangkan nyawanya sendiri. Beruntung adik dan papanya selalu sigap menahannya.

"Abang udah kerja. Jadi manager. Baru diterima 3 bulan lalu sih."

Bahagia itu telah ia jemput. Begitu pun dengan Jevan. Cowok itu hampir menyelesaikan study-nya. Jevan hanya tinggal menunggu sidang skripsi S1 Managemen Bisnisnya. Setelah ini pun ia akan melanjut S2-nya di Australia, negara kelahiran sang terkasih yang telah berpulang. Bukan untuk tenggelam dalam rindu. Namun inilah cita-citanya jauh sebelum Juan menanggung rasa sakit. Jevan sendiri harus gap year setahun demi memulihkan kondisinya sendiri. Begitu pun Arlan yang tetap harus berdiri dengan kokoh.

"Kak, doain kita dari atas sana, ya. Mama juga doain kita," Jevan mengusap makam milik Liana yang ada di sebelah kanannya, "kalian harus bahagia."

Petang hampir menjemput. Rupanya mereka telah satu jam lamanya berada di makam. Ketiganya pun memilih untuk segera beranjak meninggalkan makam.

"Kita pulang dulu, ya. Juan, Papa sayang kamu," Arlan mengusap nisan bertuliskan nama si tengah, "Papa juga sayang kamu, Sayang. Tunggu kita di atas sana, ya?"

Langkah mereka meninggalkan makam terasa lebih ringan. Dulu setiap kali menjenguk Juan, mereka begitu berat setiap kali langkah demi langkah yang mereka lalui. Tuhan telah menunjukkan jalan-Nya yang terbaik. Dan kini mereka hanya perlu untuk menjalani takdir-Nya.

***

Tak lama setelah mereka pergi, seseorang datang dengan membawa sebuah map berwarna biru dan sepucuk bunga menuju rumah abadi Juan. Ketika sampai di sana, ia langsung menaruh bunga itu di atas makam.

"Juan, lo apa kabar?"

Ia mengusap makam berkeramik itu pelan sembari matanya terus menelisik ke segala arah. Suasananya cukup sepi karena waktu telah menunjukkan pukul 5 sore.

"Ju, gue udah nepatin janji gue. Lihat ini deh."

Cowok itu menunjukkan sebuah map yang berisi ijasah SMA-nya. Jazel, sosok yang kini telah menang hidup dengan kebahagiaan yang menyertai. Jazel mengingat dengan jelas bagaimana lomba yang cukup unik namun menyesakkan itu tercipta disertai sebuah janji.

"Jaz, gue punya ide."

Keduanya tengah ada di kamar Juan. Jazel baru sempat menjenguk sahabatnya yang sempat menginap di rumah sakit selama 3 hari. Mata Jazel kini terfokus pada Juan yang tengah berusaha untuk bangun, dan Jazel pun sigap membantu sang sahabat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 04, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SERPIHAN LUKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang