Warung di dekat kampus tampak lengang. Hanya satu - dua orang yang datang untuk membeli makanan. Xabiru duduk di salah satu bangku dengan tangan menumpu dagu. Sudah sejak setengah jam lalu Xabiru ada di sana tanpa ditemani oleh teman-temannya. Sengaja ia ingin sendiri demi menjernihkan pikirannya yang seolah seperti benang kusut.
Bang, gue yakin lo nggak bener-bener benci Kak Juan.
Embusan napas kasar keluar dari bibir cowok itu. Tangannya mengaduk random es teh manis yang telah ia pesan. Iya, memang benar dirinya tak benar-benar membenci si tengah. Hanya saja setiap melihat wajah Juan, cowok itu selalu terbawa emosi. Perlakuan sang papa pada Juan sejak kecil pun mempengaruhi pemikiran Xabiru.
Adiknya bodoh. Juan tak memiliki kecerdasan seperti yang lain. Si tengah selalu membuat ulah yang memalukan.
Begitulah pemikiran yang ada di benak Xabiru bertahun-tahun. Hatinya berusaha meraih tubuh yang kian rapuh itu. Namun logikanya selalu bertentangan. Hingga yang selalu keluar dari mulutnya hanya kalimat yang menyakitkan untuk Juan.
Berubahlah, Bang. Gue nggak mau lo nyesel seumur hidup.
Perkataan Jevan terngiang dalam pikirannya. Namun dengan cepat ia menggeleng demi mengenyahkan suara-suara Jevan yang menasehatinya.
"Nggak. Nggak. Tuh anak pasti sembuh. Paling pas udah sembuh dia ngulah lagi."
Xabiru menyesap es teh manis di depannya. Sesekali matanya terpejam. Pikirannya sangat rumit semenjak Juan divonis AML.
Hanya karena Kak Juan nggak sepintar kita, bukan berarti lo bisa benci dia, Bang. Lo nggak pantes jadi abang kita berdua.
Mata Xabiru berpendar ke segala arah. Hingga ia melihat figur sebuah keluarga yang tampak harmonis tengah melangkah bersamaan. Bahkan ketika salah satunya tertinggal di belakang, si kepala keluarga menarik pelan ke arahnya hingga bisa melangkah sejajar.
"Juan pasti sembuh. Udah ada Jevan sama Mama yang jagain. Itu udah cukup buat dia."
***
Suasana belajar mengajar di kelas Juan tampak seperti biasa, tenang walau kadang gaduh saat guru izin keluar. Pelajaran Bahasa Indonesia sudah hampir selesai. Juan sejak tadi duduk tenang di bangkunya dengan senyum yang masih terlukis. Sang guru baru saja memuji tugas yang ia kerjakan kemarin. Nilainya hampir sempurna.
"Permisi, Pak."
Mata Juan melirik ke arah pintu. Matanya terbelalak saat melihat ada beberapa polisi yang mendatangi kelasnya. Perasaan kaget pun juga dirasakan oleh teman-teman sekelasnya yang lain.
"Iya, Pak. Ada ... apa, ya?"
"Kami datang ke sini membawa surat penangkapan salah satu siswa di kelas ini."
Jantung Juan berpacu dua kali lipat. Matanya bergerak gelisah karena mengira dirinya yang akan ditangkap. Namun begitu sang polisi mengucapkan nama siswa yang akan diamankan, pikiran Juan seolah menjadi kosong.
"Kami ingin membawa saudara Brian Pamungkas karena dia terbukti melakukan tindak pidana kejahatan cyber bullying dan ancaman pembunuhan terhadap saudara Juan Nathanael."
Juan bahkan baru menyadari ada sosok Jevan di antara berdirinya beberapa polisi.
"P-Pak, tolong jangan tangkap saya."
Tubuh Brian gemetaran di bangkunya. Matanya melirik Juan yang diam dengan pandangan kosong.
"J-Juan, tolong bilang ke mereka, suruh jangan tangkap gue!"
"Silakan, Pak."
Jevan bertitah dengan suara yang datar. Seringai tipis terukir di bibir cowok ber-dimple itu. Merasa puas atas usahanya selama satu bulan ke belakang.

KAMU SEDANG MEMBACA
SERPIHAN LUKA [END]
Dla nastolatkówNyatanya kebahagiaan yang Juan genggam hanyalah semu. Topeng yang mereka pakai akhirnya terlepas hingga membuat Juan merasa dikhianati oleh dunia. Spin Off dari cerita MENDEKAP LARA [Bisa dibaca terpisah]