Tubuh dengan balutan jas hitam itu terbujur kaku di dalam sebuah peti mati. Mata yang biasanya berbinar itu kini terpejam. Bibir itu terkatup rapat. Mengabaikan tangisan sang ibu yang setia duduk di sampingnya. Ada si bungsu yang sejak mendengar Juan menyerah tak sedikit pun membuka suara. Bahkan air mata seolah tertahan. Jevan merasakan pasokan oksigen seolah menipis. Rasanya sangat sesak. Ada pula Arlan yang sejak tadi menatap kosong pada tubuh kurus Juan. Di sisi lain, Xabiru memilih mengurung diri di kamar Juan. Cowok itu masih belum siap untuk melihat wajah damai si tengah.
"Kak, Mama jadi apa tanpa kamu?"
Tak ada yang lebih menyakitkan dibanding dengan kehilangan seorang anak. Jika anak yang kehilangan orang tua, mereka punya sebutan yatim piatu. Namun bagi para orang tua yang kehilangan anak, tak ada sebutan apa pun karena itu adalah kehancuran.
Semua yang hadir di rumah duka tak ada yang menyangka bahwa sosok itu telah tiada. Seluruh teman sekelas Juan, bahkan dari sekolah lain datang untuk memberi penghormatan terakhir pada sosok yang selama ini mereka abaikan.
"Ju, sorry. Gue udah jahat banget sama lo."
Mantan sahabat Juan pun turut hadir. Brian, cowok itu tak menyangka akan kehilangan sosok yang sejak dulu ia benci. Begitu pun dengan anggota geng lain yang juga merasakan hal yang sama.
"Dek, panggil Bang Biru. Kakak kamu harus segera dimakamkan."
Arlan mengusap bahu si bungsu. Suara pria itu terdengar lirih, seolah tenaganya semakin terkikis. Arlan telah memikul penyesalan yang akan ia rasakan seumur hidupnya. Sesal itu hadir seiring dengan kilasan masa lalu hadir mengungkung otaknya. Sama seperti Xabiru, pria itu juga tak memiliki satu pun kenangan mampu disimpan. Arlan lebih sering menggores luka di hati si tengah, alih-alih melukis berbagai kisah manis.
"Kak, kamu jahat. Kenapa kamu pergi secepat ini?"
Arlan segera menenangkan sang istri yang kembali meracau. Pria itu tahu Liana tengah berada pada posisi terendah. Dunia yang selama ini ia jaga sepenuh hati runtuh. Dan semua itu karena ulahnya sendiri sebagai papa kandung.
"Sayang, jangan gini--"
"Minggir. Gara-gara kamu anak aku menderita!"
Liana mendorong kasar tubuh sang suami. Di saat duka menyelimuti seperti ini, emosi wanita itu memang tak stabil. Arlan memaklumi karena memang ia merasa pantas untuk dibenci.
"Jangan tutup! Nanti anak aku nggak bisa napas!"
Saat Xabiru telah tiba prosesi pemakaman mulai segera dilaksanakan. Xabiru diam saja saat menatap sang adik yang terpejam damai. Namun siapa pun akan tahu sehancur apa cowok itu. Matanya membengkak disertai air mata yang terus meluruh. Bibirnya bergetar seiring dengan rasa sesak yang mengoyak batinnya.
"Jangan tutup! Juanku nggak bisa napas!"
Liana terus memberontak, berusaha memghalangi beberapa orang yang mulai menutup peti mati itu. Hati seorang ibu sedang terkoyak perih. Apalagi saat tubuh sang putra telah sepenuhnya tertutup. Tubuh wanita itu sontak melemas. Bibirnya tak berhenti menyerukan nama si tengah. Jevan yang ada di samping mamanya pun tak mampu berbuat apa pun karena ia pun tengah bergelut dengan lara yang membelit hati.
"JUAN, JANGAN TINGGALIN MAMA!!"
***
"JUAN!"
Liana sontak membuka matanya. Napasnya memburu dengan degup jantung yang kencang. Bahkan keringat dingin telah membanjiri wajah wanita itu. Teriakan Liana pun telah membuat Arlan yang sebelumnya terlelap damai kini ikut terbangun. Pria itu langsung duduk sembari mencoba menenangkan Liana.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERPIHAN LUKA [END]
Ficção AdolescenteNyatanya kebahagiaan yang Juan genggam hanyalah semu. Topeng yang mereka pakai akhirnya terlepas hingga membuat Juan merasa dikhianati oleh dunia. Spin Off dari cerita MENDEKAP LARA [Bisa dibaca terpisah]