Nyatanya kebahagiaan yang Juan genggam hanyalah semu. Topeng yang mereka pakai akhirnya terlepas hingga membuat Juan merasa dikhianati oleh dunia.
Spin Off dari cerita MENDEKAP LARA [Bisa dibaca terpisah]
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kedua cowok itu masih dalam posisi yang sama. Juan masih menetralkan detak jantungnya dan menenangkan pikiran. Apa yang ia lakukan tadi masih terbayang di otaknya.
"Bunuh diri bukan penyelesaian yang tepat. Justru itu tindakan bodoh. Tuhan emang lagi nguji lo."
Cowok yang telah menyelamatkannya dari tindakan nekatnya terlihat memegangi leher berbalut Cervical Collar. Sepertinya ia tengah menahan nyeri di sana.
"Jaz, ini kenapa?"
Seorang cowok lainnya yang berbalut jas hitam menghampiri keduanya dengan napas yang terengah karena langsung berlari.
"Bentar, Bang," si penyelamat duduk di samping Juan, "kenapa lo bisa senekat ini?"
Ditanya hal sensitif itu membuat tangan Juan sontak gemetaran. Tanpa sadar air mata kembali meluruh. Dan gerak-geriknya tertangkap di mata kedua cowok yang kini terfokus menunggunya membuka suara.
"Mama gue, salah satu penyemangat gue buat sembuh pergi kemarin. Gue sakit," ia menunjukkan lengannya yang terdapat banyak lebam, "gue penyakitan!"
Ucapan lirih Juan membuat si penyelamat tertegun. Sebenarnya ia sempat melihat kejadian saat Juan menangis di hadapan seorang wanita yang ia yakini ibu dari Juan.
"Jaz ...,"
Cowok berjas mengusap bahunya, seolah tengah menenangkan.
"Bukannya kita sama? Kenapa nggak coba jadikan gue alasan baru lo buat hidup? Oh iya, kenalin. Nama gue Jazel. Nama lo siapa?"
Juan menatap uluran tangan yang tampak gemetaran di hadapannya. Kebimbangan sedang mengungkung hatinya. Bukannya cowok itu tak mau berteman. Tapi ia sedikit merasa trauma menjalin pertemanan. Namun ketika melihat pancaran mata cowok yang mengaku namanya Jazel itu, entah kenapa ada ketulusan di sana.
"N-Nama gue Juan." Juan mengulurkan tangannya demi menjabat tangan Jazel yang terasa dingin dan berkeringat dalam genggamannya.
Keduanya diam sejenak. Mencoba mencairkan suasana yang canggung. Biar bagaimana pun mereka baru berkenalan. Juan belum tahu kehidupan Jazel, begitupun sebaliknya.
"Jadi waktu itu hari terakhir lo bareng mama lo?" tanya Jazel. "Coba ceritain."
Juan mengangguk kaku. Terekam dalam otaknya saat sang mama memilih pergi meninggalkannya saat dunia tak berpihak padanya. Luka itu masih menganga di hatinya. Di saat semua anggota keluarganya lebih memilih fokus pada kesibukannya masing-masing, mama Juan tetap berada di sampingnya untuk menuntunnya meski dengan tertatih.
"Cuman Mama yang selalu ada buat gue," suara Juan bergetar, "bahkan saat penyakit sialan ini ada di tubuh gue, Mama nggak pernah capek buat semangatin gue."
Jazel mengusap punggung yang kini bergetar itu. Telinganya merekam jelas setiap kata yang keluar dari bibir Juan. Padahal keduanya baru bertemu dua kali, namun rasanya melegakan saat Juan mengalirkan kisah hidupnya pada Jazel. Mungkin karena keduanya hampir memiliki nasib yang sama.