Kegelisahan Xabiru

1.7K 149 27
                                    

Komen dong, my dear. Aku lagi ngebut buat selesaiin cerita ini nih 😼

Beberapa pasang kaki berlarian sembari mendorong Emergency Bed yang kini membawa seseorang yang kembali harus berjuang antara hidup dan mati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Beberapa pasang kaki berlarian sembari mendorong Emergency Bed yang kini membawa seseorang yang kembali harus berjuang antara hidup dan mati. Suasana teramat tegang di sepanjang koridor rumah sakit.

Juan telah sepenuhnya tenggelam dalam kegelapan karena tak mampu lagi menahan rasa sakit yang menghujam seluruh tubuhnya. Bekas darah yang masih belum mengering masih menghiasi area bawah hidung Juan. Jevan tak mampu menahan isakannya saat melihat dengan mata kepalanya sendiri sang kakak kesakitan.

"Dok, tolongin kakak saya."

Jevan mengatupkan kedua tangannya, memohon pertolongan pada para tenaga medis.

"Kami akan berusaha, Mas. Tolong tunggu di luar."

Jevan meluruhkan tubuhnya saat Emergency Bed yang membawa Juan masuk ke ruang IGD. Perasaan takut itu menggelayuti hatinya. Sampai kapanpun, ia tak akan pernah ikhlas kehilangan Juan.

"Tuhan, tolong jangan suruh Kak Juan pulang dulu. Aku janji bakal lebih rajin ke gereja."

Jevan memejamkan mata sembari mengatupkan kedua tangannya. Batinnya tak berhenti melantunkan doa untuk Sang Pencipta. Merayu Tuhan agar tak membawa pergi kakaknya.

Beberapa menit berlalu, kegelisahan itu tak kunjung hilang. Para petugas medis belum keluar. Cowok itu bahkan tak memedulikan seragamnya yang masih penuh dengan darah milik Juan.

"Jevan!"

Kepala Jevan mendongak. Xabiru berlari ke arahnya dengan raut wajah yang kentara khawatir. Cowok itu baru saja akan berangkat ke kampus, namun pesan yang dikirim oleh Jevan membuat hati Xabiru kalut.

"Gimana bisa?"

Jevan hanya menggeleng. Belum sanggup untuk menjelaskan di saat perasaan takut lebih mendominasi. Cowok itu kembali melanjutkan kegiatannya merayu Tuhan. Matanya terpejam dengan tangan yang saling mengatup.

Kedua cowok itu akhirnya hanya bisa diam, sampai akhirnya suara pintu IGD yang terbuka menginterupsi keduanya. Yang pertama kali memberondong sang dokter dengan pertanyaan tentu saja Jevan.

"Dok gimana Kak Juan? Dia baik-baik aja, kan? Dok, tolong selamatkan kakak saya."

Dokter ber-nametag Shintia itu memaklumi tindakan Jevan. Wajar jika seorang adik panik melihat kakaknya sakit.

"Saudara Juan kritis. Kami baru melakukan pemeriksaan, dan kami memgetahui ada sel kanker yang ada di tubuhnya. Maka dari itu, kami akan melakukan pemeriksaan lebih lagi. Sebaiknya, keluarga menghubungi dokter yang menangani Saudara Juan, karena beliau pasti memiliki laporan keadaan pasiennya. Pasien sementara belum bisa dipindahkan ke ruang rawat biasa sampai keadaannya stabil."

Berat bagi seorang dokter menyampaikan keadaan pasiennya yang dalam keadaan kritis. Namun ia harus bersikap profesional.

"Kami permisi, dulu."

Para petugas medis pun melangkah menjauh, meninggalkan sepasang kakak beradik yang hatinya hancur.

"B-Bang, apa lo masih mau denial?"

Pertanyaan Jevan membuat Xabiru semakin bungkam. Berat rasanya ketika hatinya tengah diterpa kebimbangan. Sejujurnya rasa benci itu tak ada. Hanya saja Xabiru tak mampu untuk memulai hubungan yang baik dengan adik yang sudah sejak lama terasa asing baginya.

"Penyesalan itu nyata, Bang. Gue, gue yang udah merubah sikap ke Kak Juan aja masih nggak bisa ilangin penyesalan gue."

***

Siapa pun manusia berstatus sebagai seorang ibu pasti akan ikut terluka saat mendapati buah hatinya sakit. Perasaan yang sama pun dirasakan Liana. Wanita paruh baya itu baru saja dikabari Jevan pagi ini kalau Juan masuk rumah sakit.

Liana tak berhenti melantunkan doa agar Sang Pencipta berkenan memberikannya kesempatan untuk merawat Juan dengan lebih baik. Mobil yang membawanya pulang terasa hening. Arlan mengendarai mobilnya dengan cukup cepat namun tetap mengedepankan keselamatan.

Begitu mendengar kabar itu, sepasang suami istri itu langsung izin pada temannya untuk pulang lebih awal demi Juan. Butuh waktu beberapa jam bagi keduanya untuk sampai di rumah sakit, mengingat keduanya ada di luar kota.

"Tenang, Sayang. Juan pasti baik-baik aja."

Tangan Arlan menggenggam lembut jemari sang istri seraya memberikan usapan lembut. Meski dirinya sendiri pun juga tengah dikungkung oleh kepanikan, namun sebagai seorang suami, Arlan harus terlihat kuat untuk menjadi penopang Liana.

"Anak aku pasti kesakitan, Mas."

Liana memejamkan mata ketika bayangan sang putra yang kesakitan kembali menyambangi pikirannya. Ia ingat di setiap rintihan lirih dang putra di hampir setiap malam, ia ingat Juan yang selalu tetap berusaha baik-baik saja padahal sang putra tengah menahan sakit.

"Anak ki ... ta pasti kuat, percaya sama aku."

Arlan sedikit canggung saat menyebut Juan dengan sebutan anak kita karena bertahun-tahun lamanya ia telah menjauh dari anaknya sendiri. Perasaan sesak itu baru disadarinya saat ini, di saat Juan sekarat.

"Kalau aja aku bisa meminta, Mas. Biar aku aja yang menanggung sakitnya Juan. Bahkan nyawa pun rela aku korbankan demi anak aku."

***

"Kak, katanya mau ujian? Katanya mau lulus, kan?"

Jevan menggenggam jemari Juan yang terbebas dari jarum infus. Status koma kembali Juan dapatkan untuk saat ini. Cowok itu sekarang sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Netra itu terpejam damai, tak ada raut kesakitan di sana. Namun Jevan sangat benci pejaman mata itu.

"Makanya bangun. Delapan hari lagi kelas 12 mau UN."

Jika sampai Juan masih belum membuka mata, kemungkinan cowok itu terpaksa mengikuti ujian susulan. Sementara hingga detik ini saja Juan masih tenggelam dalam tidur panjang. Padahal sudah lewat dari 24 jam.

"Kak, Molly nyariin. Dia kangen Kakak muji good girl. Molly kangen main sama Kakak."

Jevan mengusap kening kakaknya. Matanya terasa pedih. Air matanya tak mau berhenti mengalir. Bahkan untuk sekolah pun Jevan tak mau. Percuma saja ia belajar namun pikirannya melayang memikirkan Juan.

"Kak, Kakak harus tahu, Bang Biru khawatir loh sama Kakak. Papa juga khawatir. Itu artinya mereka sayang Kakak."

Jevan teringat si sulung yang diam-diam meneteskan air mata saat tadi masuk ke ruang rawat Juan. Sang kakak masih bersikap tsundere. Masih diselimuti oleh rasa gengsi.

Berbeda dengan Xabiru, Jevan melihat papanya tetap bersikap biasa saja. Namun ia mampu menangkap tatapan itu. Tatapan seorang ayah yang takut kehilangan anaknya.

"Penantian Kakak bakal terwujud. Mereka bakal sayang lagi sama Kakak," Jevan menundukkan kepalanya sejenak, "nggak apa-apa tidur dulu. Tapi jangan lupa bangun ya, Kak."

Tbc

Jangan spoiler ya kalau ada di antara kalian yang baca book Jazel. 😼

SERPIHAN LUKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang