Sosoknya terdiam sembari menatap senja yang sebentar lagi akan sirna, tergantikan oleh rembulan yang siap menemani malam. Bibir pucatnya melengkung ke bawah. Sesekali embusan napas kasar keluar. Sudah dua hari ia mendekam di tempat beraroma khas obat-obatan ini semenjak ia bangun dari koma. Juan dilanda kebosanan karena aktifitasnya hanya tidur - bermain ponsel - makan bubur - minum obat - melamun - diulang-ulang.
"Andai ini kayak tempelan kayak di sinetron TV, udah gue lepas dengan gampang, terus kabur dari sini."
Juan memandang malas tangannya yang terbalut jarum infus. Tangannya sangat kebas. Bahkan sedikit membengkak. Demi apa pun, ia ingin menghirup udara bebas di luar. Namun tubuhnya masih terlampau lemas walau hanya untuk mengangkat tangannya. Cowok itu hanya bisa mengandalkan keluarganya jika ingin melakukan sesuatu, misalkan ingin minum.
"Kak, lo mau jalan-jalan ke taman, nggak?"
Juan sempat terkejut dengan suara tiba-tiba yang menyapa gendang telinganya. Hampir saja ia mengumpat jika saja tak tergiur dengan penawaran sang adik. Dengan cepat, cowok itu mengangguk menyetujui ajakan Jevan.
"Gue barusan izin sama Dokter Aldo. Katanya boleh, asal nggak lama-lama."
Jevan tentu tahu kakaknya diserang kebosanan. Cowok itu diam-diam mengamati Juan dalam diam. Sekali lagi, cowok itu memang memiliki sikap peka terhadap apa pun di sekitarnya. Merasa tak tega, Jevan pun meminta izin pada Dokter Aldo untuk membawa kakaknya ke taman yang ada di dekat ruang rawat kakaknya. Beruntung dokter muda itu memberi izin.
"Hati-hati," tutur Jevan sembari membantu sang kakak untuk berpindah ke kursi roda.
Selepasnya Jevan mendorong kursi roda yang telah diduduki Juan untuk menuju taman rumah sakit. Mumpung masih jam 3 sore, cuaca tak terlalu panas ataupun dingin.
Saat keduanya sampai di taman rumah sakit, ada beberapa orang yang juga di sana. Mereka memakai baju rumah sakit, sama seperti Juan.
"Kalau Kakak bosen, bilang sama gue. Gue bakal bawa Kakak jalan-jalan di sekitar kamar rawat Kakak."
Juan hanya membalasnya dengan anggukan karena cowok itu telah fokus pada dunianya. Melihat sepasang anak kecil yang bermain tak jauh darinya, berlari kecil saling mengejar.
Dulu, gue nggak pernah main sama Jevan dan Bang Biru. Juan membatin.
Cowok itu sejak kecil lebih banyak bermain sendiri karena kedua saudaranya seakan menjaga jarak. Bahkan ia pernah mendapat bentakan dari Xabiru karena dulu ia memaksa sang kakak untuk ikut bermain. Beranjak remaja, Juan tahu penyebab mereka menjauh. Ia terlahir dengan kapasitas otak yang tak secerdas Jevan dan Xabiru. Ditambah lagi sang papa selalu melemparkan kata-kata menyakitkan tentang dirinya yang tak sepintar kedua saudaranya.
"Kakak? Ada yang sakit?"
Melihat sang kakak yang melamun, Jevan bertanya sambil mengusap helaian rambut sang kakak. Sedikit merasa sesak saat mengingat rambut hitam legam sang kakak suatu saat akan habis karena efek kemoterapi. Sebelumnya, Dokter Aldo memang telah memberitahu efek yang akan dirasakan oleh Juan.
"Nggak apa-apa. Cuman suka aja lihatin mereka main."
Juan tersenyum sendu sembari menunjuk ke arah dua bocah yang masih asyik berkejaran. Tanpa sadar perkataan Juan membuat si bungsu merasa seolah hatinya tercabik. Penyesalan yang setiap bergelayut di hatinya kian terasa saat tak ada kenangan manis satu pun bersama Juan semasa kecil. Hanya kenangan buruk yang justru mendominasi. Cowok itu mengingat bagaimana wajah memohon kakaknya yang ingin bermain dengannya, namun ia hanya bersikap cuek.
"Maaf ya, Kak. Gue emang bodoh. Maaf udah cuekin Kakak bertahun-tahun."
Mendengar ucapan Jevan yang terdengar penuh penyesalan membuat Juan tak tega. Sejujurnya ia tak bermaksud mengungkit luka masa lalu. Cowok itu mengulurkan tangannya, lantas mengusap cairan bening yang meluruh dari kedua mata sang adik.

KAMU SEDANG MEMBACA
SERPIHAN LUKA [END]
Novela JuvenilNyatanya kebahagiaan yang Juan genggam hanyalah semu. Topeng yang mereka pakai akhirnya terlepas hingga membuat Juan merasa dikhianati oleh dunia. Spin Off dari cerita MENDEKAP LARA [Bisa dibaca terpisah]