16 - Spill the Tea

2.1K 132 0
                                    

WELCOME BACK!

enjoy the story 💖


-o0o-

Raya melemaskan bahunya begitu nada Ardan tampak lebih bersahabat. Katanya, bungsu Sastrawa ini memang ber-aura tajam, namun dibalik itu sifatnya tengil dan menyenangkan. Semoga saja Raya dapat menemukan sikap itu sesegera mungkin, atau hanya akan berakhir mati mematung.

"Bisa mampir ke mana, gitu? Mau ngobrolin sesuatu soal mas Tama yang lo harus tau. Karena mas Tama nggak bisa, jadi gue aja yang ngasih tau," pinta Ardan. "But... keep this all secretly."

---

CHAPTER 16 – Spill the Tea

Playlist: Niki - Take a Chance With Me

---

Souries | 09.55

Meski sedikit di luar rencana, tapi di sinilah Raya berada. Di Souries—kafe tempatnya dan Tama bertemu pertama kali. Yang berbeda kali ini ia datang bersama Ardan setelah sedikit drama.

"Lo pasti bingung sama sikap mas Tama," buka Ardan ketika pesanan mereka tiba.

Raya tanpa ragu mengangguk.

"Yah, first of all gue minta maaf karena sikap kakak gue yang kayak gitu. Dia... memang agak di luar kendali kalau lagi emosi," ungkap Ardan.

"Kenapa bisa gitu?" tanya Raya.

Ardan mengedikkan bahu, "Mas Tama zaman dulu itu perfeksionis. Parah. Kalau dia marah, artinya ada sesuatu yang nggak bisa dikendalikan—dan dia pasti nggak suka. Kamu tau, Mbak? Dulu, perfeksionis yang separah itu. Bukan OCD, tapi memang mirip."

Raya meringis mendengarnya. Ia paham sedikit titik masalah Tama kali ini.

"Itu masa sebelum dia buka Tam's. Waktu masih sepuluh tahunan, kata mama. Mas Tama belajar sama mama soal desain baju. He's genius indeedall about design, tapi nggak semuanya bisa dituang dalam sekali latihan. Banyak ide di otak dan nggak bisa dia gambarin itu yang bikin dia marah. Padahal memang semua butuh proses sampai bisa jadi kayak sekarang. Tapi mas Tama sepuluh tahun nggak paham soal itu," jelas Ardan.

"Kalau separah itu... sekarang dia mendingan, ya?" tanggap Raya.

Ardan mengangguk sambil menyuap nasi ayam bakarnya. Kemudian berkata, "Mendingan banget. Mama yang ngajarin dan didik dengan baik. Gue nggak begitu paham juga, tapi mama cuman maksa kalau mas Tama harus selalu salah. Emm... nggak yang harus salah terus, gitu. Ngerti, nggak?"

"Buat orang perfeksionis kayak dia yang bahkan kesalahan sedikit aja bisa sampai ngamuk-ngamuk, salah berulang kali itu perlu. Gitu, kan? Maksudnya biar dia terbiasa kalau semuanya nggak bisa 100% dalam kendali," tanggap Raya.

Ardan terkekeh singkat dan mengangguk, "Gitu pokoknya."

"Dia tumbuh jadi lebih baik, makanya mama kalian bisa lepas buat bikin Tam's di usia 18," sambung Raya. Ia mengangguk-angguk paham. "Ya tapi gue nggak terima dia yang mukul malah dia yang ngehindar!"

"Itu juga masalah, sih," ringis Ardan. "Setiap dia habis mukulin sesuatu atau mecahin barang, dia pasti menyesal. Nyesal yang berlarut-larut, Mbak. Diungkit setiap ada kesempatan dan mama takut malah berakhir depresi ke dia."

"Tama ini over-expression gitu, ya?"

"Mungkin. Ehm, nggak juga. Yang penting mama ngajarin leave them first. Misalnya barang bakal lebih enak, tapi kalau orang? Kayak mbak Raya, misalnya. Dia bakal bareng sama mbak tapi masih feeling guilty apa enak? Nggak, kan?" tambah Ardan.

Stable - UnstableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang