15 - Duplikat Tama

2.2K 129 0
                                    

WELCOME BACK YUHUUU!

Double update! 💖

happy reading!


-o0o-

"I have to go," lirih Tama dengan tangan mengepal.

Mengabaikan seluruh pekerjaannya, sekali lagi Tama Sastrawa memilih kabur. Ia merasa butuh keluarga—orangtuanya.

---

CHAPTER 15 – Duplikat Tama

Playlist: Bruno Mars - Talking To the Moon

---

Rumah Utama Sastrawa | 13.55

Perjalanan yang menyebalkan. Macet parah di mana-mana entah karena kecelakaan atau memang sedang padat. Tama yang menyetir sendiri hanya bisa memaki berulang kali. Menyadari nasib tidak selalu berpihak baik.

Sampai akhirnya ia tiba di rumah utama Sastrawa. Masih dengan kemeja dan rambut yang acak-acakan ia melangkah cepat. Hatinya berantakan. Sambil melirik tajam ke seluruh sudut rumah, tujuannya hanya satu. Mama.

"Mom," lirih Tama yang akhirnya menemukan Ninda Sastrawa sedang menjahit kain di ruang tengah.

Kejadian ini sangat familier. Tama langsung menghambur ke pelukan mama yang sigap menyingkirkan jarum dan kainnya, dan langsung sesegukan di sana. Meski sedikit kaget, mama tersenyum lembut dan mencium kening Tama sayang.

Dalam diam Tama masih memeluk mamanya erat—kelewat erat.

Bagi sebagian orang mungkin Tama kekanakan sekarang. Tapi apapun masalah yang tidak bisa ia atasi sendiri, mama akan selalu menjadi pelarian terakhir. Sebagai anak sulung dengan fakta disusui paling lama, Tama menjadi anak yang paling dekat dengan mama.

"I'm afraid... losing her... no...," lirih Tama tak jelas masih dengan pelukan dan isakannya.

"Nggak hilang, Nak. Enggak," hibur mama lembut. "Ayo, duduk yang bener. Cerita sama mama."

Tama bangkit dari pelukan dan duduk dengan benar. Matanya sembab meski tak bengkak. Rambutnya tambah berantakan, wajahnya kuyu tanpa semangat. Rupanya sebesar itu pengaruh Raya untuk Tama Sastrawa yang bisa mengendalikan diri biasanya.

Kecuali ketika sedang marah.

"I... almost hit her—no. I've hurt her. Dia baru aja kecelakaan kayak ayah dan aku remes tangannya yang patah. She didn't tell me, Ma! Aku salah... ya?" bahu Tama merosot mengingat kejadian itu lagi.

"She mad at you?" tanya mama.

Tama menggeleng. Tatapannya jauh lebih putus asa, "Why she didn't mad at me?"

Tangan mama terulur memegang pundak Tama dan mengelusnya lembut di sana, "Ngobrol, Nak. Talk to her, jangan kabur. Dia nggak marah, kan?"

"I can't... it hurts when I just hear her name. I feel guilty... kenapa gini, Ma?" tandas Tama gelisah.

Mama tampak menghela napas. Tentu saja dia tau mengapa Tama memiliki pengendalian emosi yang buruk saat marah. Semua dilepas kendali—termasuk lepas dari kendali orangtuanya.

Bukan hanya mama dan ayah, harusnya Tama juga paham sejak awal.

"Kurangi lagi, Mas. Nggak semua bisa ada dalam kendali kamu. Termasuk sekarang," tutur mama memberi pengertian. "Mama nggak mau mutus harapan kamu. Sekarang mungkin semuanya bisa di luar kendali, tapi besok—asalkan kamu berusaha—kendali bakal selalu kembali. Sabar."

Stable - UnstableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang