Fakta

99 10 0
                                    

"Kalau begitu, telfon ayah mu sekarang!" Halilintar menatap ku tajam seakan ingin melahap ku hidup-hidup. Aku dengan api panas baran di sekitar ku lantas dengan berani menelepon ayah ku.

"Sudah ku bilang, bukan ayah ku. Jelas petunjuknya tidak mengarah pada Beliung! Justru itu lebih mengarah ke Voltra, ayah mu sendiri!" Sembari menunggu jawaban aku mengambil napas berat. Berusaha menahan emosi yang bergejolak.

Semenjak tadi siang, perdebatan tidak berakhir justru membuat saling tuduh menuduh. Dari menuduh ku dan Gempa yang mereka pikir berusaha bermain-main. Menuduh Voltra karena memiliki inisial nama yang mendekati benar dengan petunjuk yang orang itu berikan. Sekarang, Hali menuduh ayah ku. Mengira bahwa ayah ku adalah sumber dari segala masalah ini.

Jelas Voltra lebih meyakinkan. Orang itu juga memiliki kekecewaan yang besar dengan Bunda dan dari cara mengancamnya ... Persis sekali.

"Ayah!" sapa ku saat panggilan sudah tersambung. "Ada apa, Nak? Kau belum pulang? Ayah sebentar lagi pulang lebih awal," ucap Ayah ku dengan pertanyaan bertubi-tubi.

"Eh, anu, Yah," gugup. Aku tidak pernah segugup ini. "Bisa Ayah mampir ke rumah Bunda?" tanya ku. Hening. Tidak ada jawaban. Aku menggigit bibir. Bukannya aku takut Ayah akan marah padaku, tapi aku lebih takut dirinya tersinggung.

"Yah ...."

"Ada apa memangnya?" Suaranya tampak biasa saja tidak ada kekesalan atau pun kekecewaan. Namun, rasanya begitu mengganjal.

"Ada hal penting, Yah. Aku menunggu Ayah di rumah Bunda. Ada yang perlu diluruskan," ucap ku. Aku mengatupkan bibir ku ragu.

"Baiklah. Ayah akan segera ke sana." Sekiranya itu menjadi sebuah bentuk persetujuan baginya. Sontak panggilan diputuskan secara sepihak. Aku menatap Halilintar penuh dengan rasa jijik. Jika saja aku tidak mengingat perkataan Bapak Kyai yang berkhotbah setiap salat Jum'at, mungkin aku akan terus membenci si geledek merah menyebalkan itu.

Benci tanda mengkotornya hati~

"Dengarkan sendiri jawabannya nanti." Aku beranjak dari sofa. Pergi ke dapur meninggalkan mereka yang sedari tadi hanya bungkam. Bukan apa, mereka tidak kebingungan. Ini permasalahan antara aku dan Halilintar. Masalah personal yang dilandasi oleh kesalahpahaman serta rasa sakit hati.

"Sudah selesai debatnya?" tanya Gempa sembari memberikan sepiring nasi goreng. Tau saja dia kalau aku sudah lapar. "Entah lah. Dia sepertinya begitu benci dengan Ayah ku. Aku anaknya. Jelas lebih tau dari dia." Aku menatap kosong sembari tangan ku terus menyuapkan nasi goreng ke dalam mulut ku.

"Tapi Kak Hali benar juga. Dia tinggal bersama Ayah mu selama 10 bulan. Berbeda dengan mu yang baru tinggal 5 bulan." Gempa menyilangkan tangannya di atas meja melihat ku yang terus menerus melamun sembari terus menyendokkan nasi goreng. Biasanya aku tidak akan menyentuh makanan ku kalau sudah melamun atau banyak pikiran, tapi karena ini nasi goreng, makanan kesukaan ku, jadi aku terus memakannya.

"Itu berbeda, Gem. Hali tinggal dengan Ayah ku saat dia berumur setahun. Ingat, setahun! Tapi aku tinggal dengannya saat umur 23 tahun. Saat di mana aku bisa memperhatikan lebih jelas hal sebenarnya!" Aku menyendokkan nasi goreng yang ku makan dengan kalap. Ini kebiasaan buruk ku saat sedang kesal.

Di sini masih ramai. Ada Blaze, Ais, Duri, Solar, Gempa juga ayahnya, Sori sudah pulang lebih dulu dengan alasan banyak tugas. Tapi mereka tidak berani menegur. Mereka tau ini masalah personal. Mereka tau bagaimana tabiat Voltra. Tau bagaimana tabiat Beliung. Karena itu, mereka tidak bisa membela salah satu atau menyalahkan keduanya. Karena sejatinya anak, tidak ingin orang tuanya disalahkan.

Aku tau itu. Aku yang menyalakan sumbu api pertama kali. Sayangnya aku mengingat jelas bagaimana congkaknya Voltra saat berbicara pada ku. Tatapannya remeh, bicara dengan santai namun penuh dengan tekanan. Aku tidak akan melupakan saat itu. Malam itu. Dia mengejek ayah ku, seakan ayah ku yang merenggut segala kehidupannya.

TAUFAN?! : New Adventure [Tamat] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang