Rencana

77 11 0
                                    

"Kuputeri hilang? Bagaimana bisa?" Itu Voltra. Setelah tadi datang dengan aura permusuhan, sekarang orang itu tampak terkejut. Raut wajahnya masih begitu datar meskipun terkejut.

Aku menggerlingkan mata melihat reaksi orang itu. "Bagaimana bisa aman kalau Bunda tidak ada yang jaga di rumah sakit sama sekali?" Ya, itu tujuannya untuk menyindir yang lain.

"Lalu kau bagaimana? Kenapa kau tidak menjaganya juga?" Nova menyahut mencoba menyudutkan ku. Om Nova datang bersama dengan Om Blizzard. Entah apa kepentingan orang itu untuk ikut datang kemari.

"Bagaimana aku tau Bunda tidak ada yang menjaganya? Ku pikir, selama mereka ada, aku rasa tidak perlu datang. Tapi sayang, bahkan tidak ada yang memberitahu ku sedikit pun kalau Bunda lepas penjagaan!" jawab ku galak. Ya, aku salah, tapi mereka lebih salah!

"Cih, kau juga sama tidak bertanggung jawabnya seperti yang lain." Om Nova menatap ku remeh membuat ku ingin sekali mencingcang tubuhnya jika tidak ingat dia adalah adik Bunda, orang tua dari sepupu sekaligus teman ku.

"Kalian sudah melakukan pencarian?" tanya Om Blizzard berusaha memotong perdebatan ku dengan Om Nova. Aku menatap Hali yang mengangguk mantap.

"Sudah, tapi tidak ada hasil sampai sekarang."

"Heh, bagaimana bisa mencari tapi tidak langsung terjun sendiri?" sindir Voltra. Orang itu membuat ku tambah kesal.

"Begini, ya, kau dipanggil kemari bukan untuk memberi solusi atau kritikan,"

"Lalu?"

"Lalu, untuk kami interogasi kau dan Nova!" sentak ku kesal. Mereka itu tidak mengerti! Blaze yang berdiri di belakang ku menyentil dahi ku. "Dia Ayah ku," katanya. Di sisi satunya, ada Om Blizzard dan Ayah Gempa yang menatap ku tajam. "Tidak sopan!"

Haih, kenapa mereka semua menyebalkan. Aku duduk di sofa tidak memperdulikan aksi protes dari tiga orang itu. "Begini, ada sebuah petunjuk yang menuliskan huruf P dalam bahasa Korea. Dimana, huruf P tersebut dapat digunakan untuk pengganti huruf V dan F." Aku menatap Voltra dan Nova yang kompak menaikkan satu alisnya.

"Jadi kau menuduh ku yang menculiknya?" tanya mereka kompak bersamaan. Tepat sasaran. "Yah, sepertinya kalian mengerti. Jadi, bagaimana?" Aku menatap Hali yang sedari tadi diam tidak berbicara sedikit pun dengan penuh siratan berarti.

"Heh, kalau kau lupa, nama mu terdapat huruf F." Aku memincingkan mata ku menatap Voltra. "Jadi kau menuduh ku?"

"Tentu saja! Apa lagi? Siapa tau anaknya sendiri yang melakukannya? Anak ingusan seperti mu," jawab Voltra.

"Huh, sepertinya aku lupa bilang kalau di surat itu ada bahasa Thailand. Ku pikir, bagaimana aku bisa menulis bahasa Thailand kalau aku tidak pernah belajar bahasa Thailand?" ucap ku kelewat santai. Surat itu, masih ku pegang sampai sekarang.

"Oh ya? Coba sini ku lihat." Aku menyerahkan surat yang selalu ku bawa ke mana-mana. Ada di saku jaket ku. "Oh, sepertinya aku tau. Ayah Nova orang asli Thailand, kan?" Voltra tersenyum miring. Aku beralih menatap Nova yang terdiam.

"Heh, aku? Sekalipun orang tua ku asli Thailand, bukan berarti aku bisa bahasa Thailand. Coba pikir lagi. Aku sedari kecil tinggal dengan Kuputeri di Indonesia, bukan di Thailand!" sanggah Nova. Benar juga. Tapi siapa tau?

"Kalau begitu, siapa tau aja kau bisa bahasa Thailand, kan?" tanya ku padanya. Nova menggeleng. "Alasan ku ke mana-mana bersama Blizzard karena aku tidak bisa bahasa Thailand!" Nova menatap Blizzard yang menatap tajam ke arahnya.

"Kau pikir aku translator dadakan untuk mu? Baiklah, ternyata kau busuk juga." Aku tertawa melihatnya. Persis seperti melihat Blaze dan Ais.

"Lihat! Ayah sama busuknya seperti mu," bisik Ais yang duduk di samping Blaze. "Enak aja!"

"Jadi? Bagaimana menurut mu?" Voltra menyilangkan tangannya di depan dadanya dengan tatapan mengejek.

"Yah, mungkin bukan kau atau Om Nova. Tapi aku yakin, orang terdekat adalah pelakunya." Aku kembali menatap Hali yang menatap malas interaksi di sekitarnya. "Dan aku yakin ada orang yang memiliki niat buruk di sini. Siapa pun itu, bahkan orang itu bisa saja diri mu." Cukup! Kedua orang ini, Voltra dan Nova, memang menyebalkan.

Kalau bukan mereka, lantas siapa?

"Kalau tidak ada hasil dari orang suruhan ku sampai nanti malam, aku akan langsung terbang ke Thailand buat cari tau sendiri. Kalian semua diam di sini dan jangan buat keributan." Halilintar berdiri menghilang dari balik kumpulan orang. Aku berdiri berniat mengejarnya sampai mendengar suara Voltra menggerutu kesal.

"Hanya untuk hal yang tidak penting Hali sampai memaksa ku untuk segera pulang dari Amerika." Hanya itu yang ku dengar sampai tubuh ku sudah menjauh, melihat Halilintar yang terduduk di kamarnya sembari memijat pelipis matanya.

"Aku ikut ke Thailand." Halilintar menoleh saat mendengar suara ku. Dia menatap ku tidak setuju. "Tidak perlu. Kau hanya akan mengganggu ku mencari Bunda."

"Bunda masih Ibu ku kalau kau lupa. Lagi pula aku khawatir kau yang menculik Bunda agar kasih sayang Bunda hanya kau yang mendapatkannya." Halilintar memejamkan matanya manahan emosi.

"Dan sekarang kau mulai menuduh ku. Maksud mu apa?" Protes Hali yang enggan menatap ku. "Itu sebab kau menuduh ku di awal kalau kau lupa. Dan sekarang impas. Kita saling menuduh satu sama lain." Aku duduk di kasur kamar Hali. Sudah 5 bulan lamanya aku tidak merasakan empuknya kasur ini.

"Huh, sebaiknya kau keluar dari kamar ku sekarang."

"Tidak sebelum kau setuju aku ikut pergi mencari Bunda." Aku memeluk bantal Hali. Bahkan aku bisa terlelap lebih cepat jika tidur di sini. Hening. Tidak ada jawaban sama sekali. Sampai-sampai diri ku hampir terlelap kalau Hali tidak membangunkan ku.

"Bangun. Keluar lah," usirnya. Aku menggeleng. Masih dengan posisi memeluk bantal. "Ya, baiklah. Kau boleh ikut," katanya membuat ku langsung berdiri tegap.

"Gitu dong, Li! Cihuy! Besok aku jalan-jalan ke Thailand!" seru ku sembari berjalan untuk keluar dari kamar Hali.

"Misi mencari Bunda, bukan jalan-jalan!" ralat Hali membuat ku mendengus kesal.

"Ya, aku tau." Baru selangkah aku akan keluar dari kamar Hali, tiba-tiba terdengar suara nyaring memekakkan telinga ku.

"AKU IKUT JUGA!" Itu Blaze.

"KELUAR DARI KAMAR KU!" teriak Hali saat mendengar suara teriakan Blaze di ambang pintu membuat anak itu terkekeh. Aku tertawa puas melihatnya.

"Ayo keluar Blaze. Jangan di sini. Si Hali lagi kesurupan. Nanti bisa-bisa kita tidak boleh ikut lagi." Aku menyeret Blaze yang akan berteriak lagi sembari tertawa lebar.

"Hish, orang itu sukanya kesurupan terus. Dikit-dikit esmosi, dikit-dikit esmosi. Kesel aku lihatnya," oceh Blaze. Aku terkekeh nyaring. Blaze seperti lupa kalau dirinya juga mudah terpancing emosi. Dikit-dikit emosi, dikit-dikit emosi, haha.

TAUFAN?! : New Adventure [Tamat] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang