Dongeng

80 15 10
                                    

"Kau mau ku beri tau satu fakta?" tanya Halilintar tiba-tiba saat kami sudah sampai di parkiran. Aku mengangguk penasaran. "Blaze dan adik-adiknya berkewarganegaraan ganda."

"Huh?" Aku loading sejenak. Maksudnya apa?

"Kemarin aku cek seluruh identitas mereka. Ternyata Om Nova milih kewarganegaraan Thailand saat sudah umur 18 tahun." Perkataan Halilintar membuat ku mulai berpikir. "Bagaimana bisa berkewarganegaraan ganda?" tanya ku yang masih bingung.

"Dianggap berkewarganegaraan Thailand, karena mereka terlahir dari orang yang berkewarganegaraan sana. Misal Kakeknya Blaze yang asli Thailand. Jadi, Om Nova otomatis mendapat kewarganegaraan Thailand. Tapi karena dia dan Om Blizzard lahir di Indonesia, alhasil mereka jadi berkewarganegaraan Indonesia juga," jelas Halilintar dengan sejelas mungkin. Aku akhirnya mengangguk mengerti.

"Dan saat umur 18 tahun, mereka disuruh untuk memilih ingin berkewarganegaraan pastinya apa," lanjut Hali.

"Jadi, karena Om Nova lebih milih Ayahnya, jadi dia lebih memilih kewarganegaraan Thailand?" Hali mengangguk membenarkan.

"Kalau begitu, otomatis Blaze sama adik-adiknya berkewarganegaraan ganda juga?" Halilintar mengangguk lagi. "Bagus. Otak mu tidak begitu kolot ternyata." Aku melotot. Tangan ku refleks mencubit pinggangnya membuatnya melenguh nyeri.

"Ini kalau divisum bisa masuk dalam pasal panganiayaan, Taufan!" hardik Halilintar membuat ku menggerlingkan mata tidak peduli.

"Biarin! Lagi pula hukum sekarang lagi tidak baik-baik aja," cibir ku membuat Hali menarik bibir ku dengan tangannya. "Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan! Hukum tetaplah hukum!" ucapnya dengan penuh penekanan.

"Siap mengerti Tuan Verniante yang terhormat!" Aku tersenyum tertahan dengan mata yang melebar menahan emosi agar tidak mencubit anak itu lagi. Menyebalkan! Mana pakai acara menarik bibir ku, bisa-bisa bibir ku jadi dower dalam semalam.

Halilintar naik ke atas motornya menyuruh ku naik. "Mau ke mana lagi?" Aku mengetuk dagu berpikir. Mau ke mana lagi, ya?

"Ada rekomendasi?" tanya ku lantas naik ke atas motor. Halilintar menggeleng. "Aku hampir tidak pernah jalan-jalan," ucapnya membuat ku berpikir.

Beberapa menit duduk di atas motor sembari berpikir, aku tiba-tiba terpikirkan sesuatu. "Eh, adik tujuh kepala mu ada di mana sekarang."

"Tinggal bersama Ayah ku di Amerika." Mendengarnya membuat ku menepuk punggung Halilintar dengan kuat membuatnya mengaduh. "Yang benar aja! Gimana aku bisa ketemu mereka nanti?" Aku menatap wajah Halilintar yang tersenyum miring. Ia tidak menjawab apa pun dan hanya menyuruh ku untuk berpegangan kuat.

"Kalau kau terbang karena tidak pegangan, jangan salahkan aku." Aku menurut karena Halilintar bisa nekat kalau ancamannya dianggap remahan kacang. Motor ku yang Hali kendarai kembali bergerak membelah jalanan yang mulai disinari oleh terik panas matahari.

Lama berkendara, akhirnya kami sampai di salah satu apartement. Aku mengerutkan dahi ku saat melihatnya. "Kenapa kita ke sini?" tanya ku saat sudah turun dari sepeda motor.

"If you want meet them, they are here! (Jika kau ingin bertemu mereka, mereka di sini!)" Halilintar menarik lengan ku karena malas menunggu ku berjalan. Dalam hati aku meringis merasakan perih menjalar di punggung ku saat Halilintar menarik ku. Saat sudah sampai di lift, aku melepaskan tangannya paksa.

"Tangan ku sakit ditarik gitu!"

"Lagian jalan kaya siput!"

"Ya Tuhan! Kau menyebalkan, Li!"

Perdebatan kecil kami berakhir saat lift sudah berhenti di lantai yang kami tuju. Aku menyundulkan kepala ku malu-malu. Apartement ini bagus sekali. Halilintar kini tidak menarik lengan ku lagi, tapi merangkul pundak ku memaksa ku untuk berjalan lebih cepat.

TAUFAN?! : New Adventure [Tamat] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang