Gentar

71 15 22
                                    

Sehabis dari rumah Ayah ku, sekarang kami pulang ke rumah. Mobil yang dikendarai oleh Gempa ramai dengan suara lagu yang terputar di dasboard mobilnya. Itu lagu dari MAGE5TY rekomendasi langsung dari Blaze yang sekarang mencak-mencak di kursi belakang kaya orang kesurupan, maksud ku menari tiada henti.

I'm luxurious, i'm glamour, but i-i-i-i-i'm a psyco.
I have all you want to bring you at home.
'Cause you are my next target.
Oh-oh, 'cause i-i-i-i-i'm a psyco.

Aku merinding mendengarnya. Agak menggelikan di telinga ku. Lagu berjudul "I'm a Psyco" mengalun diiringi dengan tarian Blaze di belakang.

Aku memilih mengabaikannya. Lama-lama aku bisa gila kalau ketemu Blaze mode stres. "Kau baru melihatnya aja sudah lelah, Kak. Apa lagi aku yang melihatnya setiap hari di rumah," celetuk Gempa membuat ku terkekeh. "Kayanya dia benar-benar harus dirukiyah, Gem. Kau kenal dukun terdekat?"

"Oh, aku tidak mengenal dukun. Mungkin Encik Amato bisa?"

"Uh, Gem! Encik Amato itu justru yang harus dirukiyah!" Gempa terkekeh mendengarnya. "Encik Amato sama anaknya itu agak lain," celetuknya membuat ku mengangguk setuju.

Kukkuruyuk! Kukkuruyuk!

Aku menatap ke belakang. Blaze yang tadinya menari sekarang sudah duduk dengan tangannya mengangkat telefon masuk. "Ya Ais?"

"KAU DI MANA BODOH?!" Teriakan dari seberang telefon itu membuat ku menutup telinga. Itu karena Blaze menghidupkan loudspeakernya. "Aku dari rumah Taufan. Ada apa?"

"Ayah menunggu mu sedari tadi! Kenapa kau tidak mengabari ku dulu?" Blaze mengedipkan matanya mendengar ucapan Ais. "Di sana tidak ada sinyal. Sekarang kami sudah di tengah jalan mau pulang ke rumah."

"Cepat! Ayah sudah memaksa ku dari tadi!"

"Iyaa!"

Tut! Tut!

Blaze mematikan telefonnya secara sepihak. Aku menatapnya dengan alis terangkat. Blaze mengendikkan bahunya tidak peduli.

"Ngebut, Gem! Blaze dalam bahaya! Mau dikasih bom katanya," seru ku membuat Blaze mendengus kesal. Selalu saja dilebih-lebihkan.

Kami sudah sampai di kota. Perkarangan rumah sudah terlihat dari jauh. Blaze sendiri masih heboh dengan tariannya. "Eh, Kak Upan! Lihat tu! Ada Encik Amato nyapu rumah." Gempa menunjuk salah satu rumah yang di depannya terdapat Encik Amato yang menyapu halaman rumah.

"Behenti di sini, Gem. Aku mau beraksi." Aku tersenyum sumringah lantas turun dari mobil sembari berlari kecil. Meninggalkan Blaze yang ingin ikut beraksi. "Diam di situ Blaze! Jangan keluar!" kata Gempa. Gempa parkir di seberang jalan, membuat ku harus menyebrang.

"DADDY AMATO!" Aku berseru senang saat Encik Amato melambaikan tangannya pada. "Ululululu, sudah berapa lama Ufan tidak berkunjung, hm." Aku tersenyum mendengarnya. "Daddy juga tidak berkunjung ke rumah." Aku menyalimi tangan Encik Amato dengan sepenuh hati.

"Oh iya, Kak Mecha mana?"

Daddy-eh, maksud ku Encik Amato ini adalah seorang duda beranak satu. Tinggal bertiga dengan Atok Aba yang sekarang sudah tua. Saat aku kecil dulu, aku dan yang lain (Gempa, Blaze dan adik-adiknya) sering berkunjung ke sini bahkan hanya sekadar numpang makan.

"Dia kan masih belum selesai S2, Taufan. Jadi belum pulang." Aku mengangguk mengerti. Benar. Kak Mecha sudah kuliah S2 di luar negeri. "Kalau Atok?" tanya ku membuat Encik Amato menggeleng lelah.

"Kemarin habis kemoterapi, sama dokter sudah diberi peringatan tidak boleh minum kopi, eh, sekarang lagi ngopi di belakang." Aku membolakan mata ku tidak percaya. "Cari mati banget tu Atok. Kaya hopeless gitu. Nanti kalau ketemu Ufan tu, kopinya aku kasih ke ayamnya Blaze." Aku mengoceh gemas membuat Encik Amato terkekeh. Atok Aba itu emang agak lain. Kaya santai banget nikmatin hidup yang hanya sejentik kuku.

TAUFAN?! : New Adventure [Tamat] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang