Rencana 2

59 10 0
                                    

Pagi-pagi sekali aku sudah bergegas. Menyiapkan koper mengisinya dengan beberapa pakaian serta kebutuhan sehari-hari. Matahari menjelang tinggi. Daun-daun berguguran akibat angin sejuk menghujam membuat ku tersenyum. Udara pagi memang yang terbaik.

Aku menyeret koper ku saat sudah sampai di jalan aspal. Aku menaiki hoverboard ku sampai ke halte bus terdekat. Pagi-pagi sekali banyak taxi berkeliaran. Aku memanggil taxi untuk pergi ke rumah Bunda. Ya, aku serius untuk ikut pergi ke Thailand.

"Selamat pagi penghuni rumah! I'm home!" Aku berseru senang melihat rumah yang begitu bersih. Berbeda dengan seisi penghuni rumah yang terdengar grasak grusuk seperti sedang dikejar rentenir.

"Solar! Duri! Bangun!"

"Jangan pakai air cuci piring, Om! Wajah ku bisa ternodai!"

"Bangun makanya! Ais juga! Sebentar lagi kau harus kerja."

"Gempa! Baju gambar ayam ku mana?"

"Di jemuran baju!"

"Gem! Baju jas ku kemarin sudah kau cucikan?"

"Sudah!"

Ya, begitu lah susahnya menjadi laki-laki yang 'Ibuable' untuk keluarganya. Aku terkekeh senang melihat Gempa yang menggerutu sembari membalik ayam goreng yang hampir gosong. "Sibuk banget nih kayanya, ya, Bu?" Aku puas sekali melihat wajah Gempa yang tampak pias.

"Kau diam, Kak! Atau aku goreng kau kaya ayam ini!" Gempa mendekatkan sutil panas yang ia pegang ke dekat ku. "Haha! Tidak boleh durhaka jadi adik, ya!" Aku mengelus kepala anak itu sembari kembali terkekeh.

"Duduk lah atau aku—"

"Baiklah, tidak perlu mengancam ku lagi, oke! Aku duduk sekarang." Aku meletakkan koper ku di sebelah meja makan. Memperhatikan bagaimana para manusia dengan perangai yang berbeda di pagi hari. Aku dulu seperti itu. Paling malas bangun saat sudah nemplok di kasur ku yang empuk, siap dengan garam di tangan Gempa yang siap membuat ku keasinan di pagi hari. Atau gedoran pintu dari Bunda yang membuat ku seperti ditarik paksa dari alam mimpi.

Tak lama Gempa selesai memasak. Gempa melepas Apron yang menempel di tubuhnya. Piring-piring ditata di atas meja. Sesekali aku membantunya menata meja makan.

"Sudah jadi. Kau bisa panggilkan yang lain, Kak?" Aku mengangguk, tapi baru saja aku akan berdiri dari duduk ku, yang lain pada berdatangan. Mereka sendiri sudah siap. Blaze dan Hali dengan kopernya. Duri dan Solar dengan tasnya bersiap untuk kuliah. Ayah Gempa dan Ais yang sudah rapi siap untuk bekerja.

"Pemandangan indah bisa melihat kalian serapi ini," ujar ku sembari tersenyum. "Ya, tidak seperti mu saat masih sekolah, tidak pernah ada kata rapi dan lengkap di dalam kamus mu," sarkas Hali membuat ku menatapnya sinis.

"Terserah mu saja, Li. Masa lalu itu tidak baik diungkit-ungkit!" julid ku yang membuat semua orang tertawa renyah.

"Apa rencana mu berikutnya, Li?" tanya Ayah Gempa memotong percakapan yang menurutnya kurang bermutu.

"Aku akan mencarinya sendiri ke Thailand."

Ayah Gempa mengangguk mengerti. "Hanya itu?" Halilintar mengangguk. "Apa lagi?"

"Kau yakin Bunda mu ada di Thailand saat tidak ada petunjuk apa pun mengenai keberadaan Bunda mu? Ku pikir kau bisa memikirkan ini lebih lanjut." Suara dentingan piring terdengar merdu mengiringi percakapan pagi ini. Halilintar terdiam membisu. Pikirannya hanya terpaku kepada petunjuk tidak berdasar itu.

"Lalu, apa kau sudah memperluas pencarian mu sampai ke seluruh dunia?" Halilintar menggeleng. "Tidak, hanya di seluruh Asia aja. Ada banyak pengeluaran yang keluar berangsur-angsur akhir-akhir ini, aku sedang menghitung beberapa kenjanggalan ditemukan. Karena itu, aku masih belum melakukan pencarian tingkat lanjut." Halilintar mengetuk-ngetuk piringnya tampak kehilangan selera makan.

"Kau hanya pusing. Tidurlah selama di pesawat nanti." Aku tersenyum berusaha tenang. Bagaimana cara menemukan Bunda?

"Lalu bagaimana dengan Ayah? Kau punya rencana yang lebih baik, Yah?" tanya Gempa. Yang lain diam hanya menyimak. Mereka mengerti bahwa akhir-akhir ini masalah yang tidak sepeleh ini tidak bisa diganggu atau dibuat bercandaan, karena hidup mereka terdapat unsur enjoylife. Tapi tidak juga, mereka sebenarnya ingin sekali ikut serta dalam pencarian Bunda. Tapi sayang, tuntutan kehidupan mengharuskan mereka untuk tetap diam di rumah menunggu waktu yang pas untuk bertempur.

"Tentu saja ada." Ayah Gempa tersenyum cerah manatap anak-anak yang sudah ia anggap anak kandung sendiri. "Kalian semua akan mempunyai peran masing-masing."

"Apa itu, Om?" Tampaknya Solar begitu penasaran membuat Ayah Gempa tersenyum. "Jadi gini ...."

>\+v+/<

Aku melambaikan tangan mengucapkan selamat tinggal kepada yang lain. "Babay semuanya!"

"Jangan lupa oleh-olehnya!" Duri berseru sembari tersenyum lucu. "Hati-hati di sana!" Ayah ku melambaikan tangan menyuruh ku berhati-hati. Iya Ayah ku! Lengkap dengan Om Rimba yang ikut menemani. "Hati-hati Taufan!" Aku mengangguk dari jauh. "Siap!" Aku mengedipkan sebelah mata ku.

Sebentar lagi pesawat akan lepas landas. Dengan riang menarik tangan Blaze untuk masuk ke dalam pesawat. Halilintar curang karena meninggalkan ku berdua dengan Blaze di luar.

"First class! Gila!" Blaze dengan senang mengayunkan kakinya menuju tempat duduk yang telah disediakan. Aku duduk di samping jendela menghiraukan Blaze yang berceloteh banyak hal.

"Lihat! Ada awan!" Dengan riang aku menunjuk ke arah kumpulan awan. Aku dan Blaze menatap binar ke arah jendela. Tidak lupa aku memfotonya. Aku juga foto bersama dengan Blaze. Ini kenang-kenangan pertama menaiki pesawat!

Hei, aku tidak lupa untuk menghidupkan mode pesawat, kok. Tenang aja!

"Hei Fan! Kau tau, MAGE5TY sekarang sudah merilis trailer album barunya! Katanya, albumnya bakal di rilis di awal bulan september nanti!" Blaze membuka topik pembicaraan. Itu benar, album yang berjudul "Scandalous" itu akan di rilis dalam waktu dekat nanti.

"Kenapa kau terus menerus membicarakan MAGE5TY?" Aku mendengus kesal. Blaze selalu saja membicarakan tentang boybandnya itu.

Blaze terkekeh senang. "Magesty itu terinspirasi dari kata magic! Yang artinya keajaiban. Sesuai namanya, mereka begitu ajaib, misterius, terutama si leadernya. Tau-tau ternyata punya fakta unik yang hampir tidak diketahui orang lain." Blaze terkekeh kecil melihat ku yang menggerutu. Semua orang punya keajaibannya sendiri!

"Baiklah kalau kau tidak percaya," katanya sembari mengedipkan mata. Aku menggerlingkan mata kesal. "Aku tidak peduli! Tau-tau ternyata Frostfire psikopat bagaimana?"

"Heh, mana boleh gitu! Ucapan itu do'a tau. Jangan berucap yang aneh-aneh!" Blaze mendelik kesal ke arah ku membuat ku tertawa geli. "Lagian nih, ya! Jangan mengagumi seseorang sampai segitunya! Di akhirat, seluruh manusia akan mengikuti orang yang ia idolakan sepanjang hidup di dunia. Bayangkan aja nih, orang yang kau idolakan di dunia ternyata berenang di neraka. Kau mau ikutan berenang di lautan api juga?" nasihat ku panjang lebar. Blaze mengendikkan bahu tidak peduli.

"I know, Fan."

...

Gezh, maaf kan aku yg telat update haha. Rencananya aku mau sok-sokan ngambek karena votenya sedikit. But okay, mungkin karena masih awal kali, ya?

Aku mau tanya, memangnya cerita ini masih membosankan kah buat kalian? Selama 5 bulan setelah S1-nya tamat, aku mikir keras buat menentukan bakal buat ending yg S2-nya kaya gimana.

TAUFAN?! : New Adventure [Tamat] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang