Sertifikat

69 9 5
                                    

Baru saja pulang jalan-jalan keliling kota, mereka semua mengerumuni ku karena panik.

"Kalian dari mana saja?" Itu Gempa yang marah pada ku. Aku tersenyum cerah. "Dari jalan-jalan keliling kota! Kalian tau? Aku ketemu adik ku! Uh, aku kangen mereka berat!" seru ku heboh. Halilintar wajahnya sudah kesat karena lelah menemani ku.

Sore ini aku banyak bercerita pada mereka sampai-sampai merembet kepada berita pembunuhan berantai itu. "Kita sudah tau Bunda diculik sama psikopat malah tenang-tenang aja di sini," cibir Blaze. Itu memang benar. Aku merasa kami begitu padahal sudah tau Bunda diculik oleh psikopat gila.

"Sebenarnya apa motif dari pembunuhan berantai itu? Kalau kita tidak tau, kita tidak akan pernah bisa menemukannya." Duri berkata demikian membuat kami semua berpikir keras.

"Kalau berdasarkan dari berita, sebagian korbannya adalah anak orang kaya," sahut Halilintar membuat yang lain terdiam. "Artinya, orang ini pasti punya dendam kesumat dengan orang yang berkuasa!" seru Solar membuat mereka setuju.

"Kalau begitu, orang itu tidak takut dihukum mati. Kemungkinan besar, psikopat itu orang yang setara sama kalian." Ais menunjuk Aku, Halilintar dan Ayah Gempa.

"Ayah kita juga kali, Ais." Ais mengangguk membenarkan.

"Ya, tapi kita tidak punya bukti yang kuat. Hanya surat dan tanda mengunakan huruf konsonan hangeul tidak ada gunanya." Ayah Gempa menatap kami bertujuh. Memang benar apa yang dikatakannya kami tidak memiliki bukti tentang siapa pelakunya.

"Oh, mungkin aja orang ini orang asli Thailand, tapi tinggal di Korea?" Blaze melebarkan matanya saat menyadari isi pikirannya. "Apa hubungannya sama Korea?"

"Gini, tiga korban pertamanya itu ada di Korea. Juga huruf (ㅍ) yang dia sematkan di tubuh korban itu, bisa jadi orang itu tinggal di Korea," jelas Blaze.

"Kau benar juga, Blaze. Karena itu aku sudah memutuskan untuk pergi ke TKP pertama di Korea. Untuk mencari bukti sedetail mungkin," kata Hali yang tanpa sadar membenarkan perkataan Blaze. "Kapan?" tanya mereka.

"Senin?"

"KAMI IKUT!" Seru Blaze, Duri dan Solar bersamaan. Aku menatap tajam Duri dan Solar. Mereka harus kuliah!

"Tidak bisa Duri, Solar! Kalian harus kuliah. Ingat! Kalian calon Pak Dokter." Duri dan Solar mencebikkan bibirnya kesal. Kelihatan sekali wajah mereka yang sayu karena tidak boleh ikut. Gempa sendiri mengatupkan bibirnya kecewa.

"Mau ikut juga," lirihnya. Lihat kan! Mereka ke kanak-kanakan. Ayah Gempa merasa iba melihat anak-anaknya yang ingin ikut. Karena itu ia menyarankan ide kepada Halilintar.

"Kenapa tidak besok atau hari minggu?" tanya Ayah Gempa. Halilintar menggeleng. "Tugas ku masih banyak untuk dua hari ke depan. Ayah mengancam ku kalau perjalanan ku akan terhambat jika tidak di selesaikan dalam waktu dekat."

"Voltra jahat kali!" seru ku membuat Hali langsung menyenggol tubuh ku dengan disenggol kasar oleh lengan Hali.

"Mungkin kau harus mencari tau identitas lengkap para korbannya lebih dulu, Li. Setelah itu kau bisa pergi Jum'at sore bersama mereka. Lihat wajah melas mereka." Ayah Gempa berusaha memberi pengertian.

"Tapi aku tidak bisa terus berdiam diri menunggu kabar dari anak buah ku, Yah. Bunda ada di tangan psikopat," sanggah Halilintar.

"Aku mengerti. Aku juga sama khawatirnya dengan kalian. Kuputeri istri ku. Tapi kau bisa mempertimbangkan ini." Halilintar mengangguk.

"Baiklah. Kita pergi ke Korea Jum'at sore." Keputusan Halilintar itu sudah mutlak. Mereka semua bersorak senang. Duri dan Solar bahkan langsung berlari ke kamarnya untuk berkemas.

TAUFAN?! : New Adventure [Tamat] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang