Pulang

71 14 2
                                    

Malam hari ini begitu dingin. Rasanya seperti ditusuk ribuan jarum yang menjalar hingga ke sumsum tulang. Aku mengarahkan hoverboard ku untuk singgah di salah satu minimarket terdekat di dekat toko.

Aku membeli beberapa makanan ringan juga susu. Setelah membayar di kasir, aku kemudian duduk di depan minimarket. Ugh, dinginnya luar biasa. Jadi aku memilih untuk mengeratkan jaket yang ku gunakan.

Aku melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. Toko kue ku baru saja tutup beberapa menit yang lalu. Seluruh toko atau warung sudah tutup semua termasuk toko kue ku. 

Malam ini begitu melelahkan.

Tapi sepertinya rasa dingin yang menjalar itu ada sebabnya. Kala aku melihat sebuah siluet seseorang mengenakan pakaian serba hitam. Wajahnya begitu datar. Auranya terlihat dingin. Itu Ais. Tapi aku tidak memikirkan anak itu karena tubuh ku begitu menggigil kedinginan

Ais sepertinya tidak melihat ku dari kejauhan. Sampai akhirnya ia sampai di minimarket. Wajah datar dan aura dinginnya seketika hilang begitu saja saat melihat ku. Aku tersenyum sembari melambaikan tangan padanya.

"Kau tidak pulang, Fan?" tanyanya. Aku mengangguk pelan. "Mau pulang. Tapi masih duduk dulu." Ais mengangguk lantas meninggalkan ku ke dalam minimarket.

Ais, anak itu pendiam. Jarang berbicara atau irit bicara. Aku tidak mempermasalahkannya. Dari saat mereka berumur 7 tahun, aku mulai hafal peringai mereka masing-masing. Ais yang lebih memilih langsung bertindak dibandingkan basa-basi. Ini seru. Dia bisa menjadi target jahil ku. Tapi sayangnya malam ini aku sedang kedinginan.

Aku dapat merasakan pipi ku yang menghangat. Ada tangan Ais yang menyentuh pipi ku. "Dingin," gumamnya. Anak itu duduk di sebelah ku. Membuka makanan ringan dan melahapnya.

"Malam ini begitu dingin, lalu kau tidak pulang." Ais mengunyah makanannya dengan hening. Aku terkekeh kecil mendengar Ais yang tampak bersimpati dengan ku. "Kalau di sini dingin, perjalanan ke rumah ku jauh lebih dingin," jawab ku santai membuat Ais mengendikkan bahunya.

"Kau memang keras kepala."

Tapi sifat pendiam anak itu seakan hilang saat bersama saudaranya, atau orang yang dia sayangi. Seperti adiknya, Blaze, aku, Gempa. Halilintar pengecualian.

"Kenapa kau keluar rumah? Ini sudah malam." Aku memakan makanan ringan yang ku beli. Blaze, Ais, dan adik-adiknya, mereka sudah dewasa. Aku merasa seperti ibu membesarkan anaknya. Melihat mereka seperti masih melihat mereka saat masih kecil. Lugu dan penakut. Tapi sekarang tidak lagi.

Kalau dulu mereka masih ku bantu untuk bertahan hidup dengan memberi pakaian, makanan, dan bahkan ku bantu untuk tantrum pada Bunda agar mereka di sekolahkan juga, sekarang mereka sudah mandiri. Punya penghasilan sendiri. Karena itu aku merasa seperti membesarkan anak sendiri.

"Blaze cerewet. Dia terus membahas masalah boybandnya yang akan rilis album baru. Bahkan dia sudah ancang-ancang untuk PO albumnya." Aku tertawa singkat mendengarnya. "Sabar, ya, kembarannya Blaze." Wajah Ais merah padam karena kesal sepertinya, membuat ku terkekeh senang.

"Anak itu aneh akhir-akhir ini. Karena itu aku malas tinggal dengannya. Apalagi sekarang aku sekamar dengannya. Bayangkan aja kamar kami isinya penuh dengan album dan ya perintilan boybandnya itu." Ais mengoceh karena kesal. Sudah ku katakan, sifat pendiamnya seakan hilang saat bertemu dengan keluarganya.

Aku sendiri mengerut bingung mendengarnya. "Bagaimana dia bisa beli album-album mereka? Bukannya penghasilannya cuma 3 juta?" Ais diam. Ia menggeleng. "Tidak tau."

"Bukannya kau paling dekat dengannya akhir-akhir ini?" Ais menggeleng. "Tidak setelah ia banyak mengoceh tentang biasnya. Aku bosan mendengarnya." Aku kembali tertawa. Ais memang tsundare.

"Kelakuannya aneh belakangan ini. Dia seakan ingin mengatakan sesuatu tapi seperti tertahan. Itu sudah dari berbulan-bulan sebelum kalian lulus kuliah." Aku diam. Apa lagi yang Blaze sembunyikan?

Aku menatap Ais yang menatap lurus ke depan. Ais itu misterius. Tidak mudah ditebak. Contohnya seperti sekarang.

"Setelah atau sebelum aku marah padanya?" Ais mengendikkan bahu. "Aku tidak tau pastinya."

Diam lagi. Aku berpikir mengenai ini. Kalau diingat-ingat, Blaze memang agak berbeda. Dari cerita Gempa, Ais, juga saat aku melihatnya sendiri.

"Kau yakin Blaze tidak akan salah jalan kalau dibiarkan, Ais?" tanya ku. Ais mengangguk. "Dia tau hukum karma, Fan. Kau yang membantu menghidupinya. Sekali ia keluar dari radar yang tidak kau sukai, dia akan menyesal sendiri. Seperti hari itu."

Itu memang benar. Entah bagaimana aku bisa menarasikan ini. Kami bertiga seperti terikat. Alam menerapkan hukum timbal balik, seperti yang dikatakan Om Rimba. Selain membantu Blaze dan Ais, Duri dan Solar yang saat itu juga masih berumur 3 tahun, aku bantu menjaganya. Om Nova dan Tante Santriantar bodoh sekali karena menelantarkan anaknya begitu saja.

"Lalu, kau kerja apa sekarang?" Aku menatap Ais yang melirik ku. "Manager?" katanya ragu. "Ha? Manager? Di mana?" Ais mengatupkan bibirnya lalu kembali berkata, "Di salah satu perusahaan yang bekerja sama dengan salah satu perusahaan yang dikelola Halilintar." Aku mengangguk memilih percaya.

Manager itu penghasilannya lumayan. Tidak heran jika itu mampu menghidupi mereka berempat. Tapi bagaimana dengan biaya kuliah mereka? Terakhir aku ingin membantu mereka membayar uang kuliah mereka. Tapi sayangnya saat itu sebagian besar uang ku, ku gunakan sebagai modal. Tidak tersisa sedikit pun.

Aku diam sejenak sebelum akhirnya aku berdiri. Berpamitan dengan Ais lalu meluncurkan hoverboard ku sampai ke pusat kota.

Kota pada malam hari begitu ramai. Tapi tidak ada orang berjualan malam ini. Seluruh toko tutup semua.

Aku terus melajukan hoverboard ku sampai menjauh dari hiruk pikuk kota. Dapat kurasakan dinginnya malam begitu menusuk dada ku. Karena begitu serius untuk terus melajukan hoverboard ku hingga sampai di perbatasan kota dan hutan, aku tidak sadar jika beberapa batu sudah menghujam punggungku. Sampai akhirnya aku kehilangan kesadaran ku saat kali ini batu yang menghujam punggungku berukuran besar.

Aku jatuh. Tubuh ku berdenyut nyeri. Sakit. Sebelum seluruh kesadaran ku seperti direnggut paksa, dapat aku lihat sebuah sepatu pantofel hitam mengkilat menapak di depan wajah ku.

>\+v+/<

Gelap. Aku tidak merasakan apa pun selain guncangan seseorang yang berusaha membangunkan ku. Kesadaran ku seperti ditarik keluar begitu saja. Aku mengerjapkan mata ku beberapa kali. Bingung. Ini masih malam.

Hal pertama yang aku lihat adalah Ais dengan raut muka khawatirnya. Aku berusaha berdiri. Tapi sayang tubuh ku begitu nyeri untuk berdiri. Aku menggeleng. Aku tidak kuat bangun.

"Sakit, Ais. Punggung ku." Aku berucap lirih. Ais diam. Ia langsung membantu ku untuk bangun. Lantas ia menggendong ku di belakang punggungnya. Aku baru pertama kali digendong oleh Ais. Was-was takut Ais tidak akan kuat menahan berat badan ku.

"Aku bisa berjalan sendiri. Kalau tidak kau kuat," lirih ku di telinga Ais. Malam ini Ais seperti tuli. Menghiraukan ke khawatiran ku sebelum akhirnya aku merasakan rasa kantuk yang begitu berat.

"Tidur, Fan. Malam ini jangan memaksakan diri."

...

Nyesel ga kalau si main villainnya ternyata ada di sekitar perjalanan cerita ini? Atau elemental kesayangan kalian?

TAUFAN?! : New Adventure [Tamat] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang