Teka-Teki

53 15 4
                                    

Setelah banyak bergerak hari ini, akhirnya kami sudah sampai kembali di villa. Aku merebahkan tubuh ku lelah di atas kasur. Ada dua kamar di villa ini. Jelas kami harus berbagi kamar.

Aku, Ais dan Blaze satu kamar. Dan yang lain sekamar di kamar satunya.

Pembagian ini tidak adil menurut ku. Awalnya Ais menolak sekamar dengan Blaze. Eh, di sisi lain, duo tuyul fotosintesis langsung menolak untuk sekamar dengan Blaze. Aku cuma bisa senyum. Dan berakhir mengajak Gempa yang ikutan menggeleng menolak.

Halilintar? Dia biasa saja. Tidak peduli sekamar dengan siapa, justru itu menguntungkan. Tapi tatapan Halilintar dan Blaze yang sering beradu pandang dengan sengit itu membuat ku gila! Apa lagi tugas ku adalah memanas-manasi bukan memadamkan api.

Dan akhirnya Ais mengalah. Sebagai kembaran yang sudah bersama dari rahim yang sama, mau tidak mau akhirnya mengangguk memilih sekamar dengan Blaze. Dan aku menjadi penengah yang mengalah.

Kenapa mereka tidak ingin sekamar dengan Blaze? Entahlah. Aku tidak mengerti. Jangan tanyakan itu pada ku!

Aku terlelap sejenak. Yang lain tengah bersiap untuk tidur. Blaze sedang mandi karena ku usir akibat bau keringat.

Ais? Entah ada apa dengannya. Aku berdiri dari posisi baring ku. Melihat Ais yang menatap jendela kamar yang mengarah langsung ke arah balkon.

"Kau tidak tidur, Ais?" tanya ku. Ais menggeleng. "Angin malam ini begitu sejuk." Aku diam melihat tingkah Ais yang jauh berbeda dibanding Blaze. Aku berdiri lalu duduk di sebelahnya. Menutup mata ku merasakan angin sejuk dari balkon. "Kau benar." Aku tersenyum lembut. Merasakan tenangnya malam.

"Aku kadang berpikir, Ais. Kau dan Blaze berbanding terbalik," ucap ku menjeda kata-kata di akhir. "Hm, aku memang berbeda dengannya. Beda bentuk didikan dari bayi juga." Ais menyela ucapan ku lebih dulu. "Apa yang membuatnya berbeda?" Aku menoleh menatap Ais yang masih memasang tampang datar.

"Blaze dituntut untuk menjadi lebih dewasa. Sedang aku dituntut untuk lebih berani berbicara. Karena tuntutan itu, kami jadi membenci hal itu. Blaze jadi sering bertindak bodoh dan aku justru malas berbicara." Ais menghela napas setelahnya.

"BAA!"

Aku dan Ais terlonjak kaget mendengar kejutan Blaze dari arah belakang kami. Aku mendelik padanya. Rambutnya masih basah, dan airnya terciprat ke muka ku! Blaze terkekeh lantas duduk di sebelah ku.

"Bicara apa nih? Deeptalk, ya? Ikut boleh?" Aku dan Ais saling pandang lalu mengangguk. "Memangnya bicarain apa sih?" tanyanya.

Tapi baru saja aku akan menjawabnya, Ais sudah memotong lebih dulu. "Bicarakan diri mu yang selalu bertindak bodoh!" sahutnya. Blaze hanya beroh-ria. Ia menatap ke arah jendela. Pemandangan di luar sana penuh dengan pemandangan kota. Gedung tinggi di mana-mana.

"Bertindak bodoh bukan berarti benar-benar bodoh," celetuknya. "Tapi bisa jadi, ada hal yang mungkin tidak bisa ia jelaskan secara gamblang kepada orang lain mengenai tindakan atau pikiran kita," lanjutnya.

Aku dan Ais menatapnya dalam. Aneh. Seakan Blaze menyembunyikan sesuatu.

"Seperti kau yang memberikan Duri dan Solar ke Ayah untuk di jual?" Pertanyaan Ais membuat Blaze terkekeh. Semakin hari tindakan Blaze semakin aneh. Itu yang aku tangkap di pikiran ku.

"Itu bukan dijual."

Aku menegakkan punggung ku bingung. Ais justru sudah menatap lamat ke arah saudaranya itu.

"Kalau bukan dijual, apa lagi?" tanya Ais yang mulai sedikit geram. Aku ingat sekali saat Ais emosi dan memukul Blaze telak karena masalah ini. Pertama kalinya juga ia memukul Blaze. Aku juga mendiamkannya selama sekitar seminggu lebih? Aku lupa pastinya.

TAUFAN?! : New Adventure [Tamat] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang