Sakit

102 16 6
                                    

Aku membuka mata ku. Langit-langit berwarna biru langit. Itu atap kamar ku. Dengan hiasan bulan dan bintang yang merupakan ciri khas kamar ku.

Aku melenguh sedikit saat merasakan suhu tubuh ku yang begitu panas seakan-akan dibakar di atas bara api. Mata ku yang juga ikut terasa panas. Kepala ku berdenyut nyaring seperti akan meledak saat itu juga. Juga tubuh ku yang remuk seakan dihantam ribuan batu besar.

Sakit. Sangat. Itu yang aku rasakan saat ini. Nyawaku serasa akan ditarik jika aku tidak menyadari bahwa kaki ku sudah diikat menggunakan rantai besi.

Aku menggerakkan kepala ku ke kanan dan ke kiri. Melihat kaki ku yang dirantai. Juga Penghuni rumah yang lain, Halilintar, Gempa, Blaze dan adik-adiknya, Ayah Gempa, juga ada ... Ayah ku?

Ayah ku duduk di sebelah ranjang ku. Tangannya memegang tangan ku membuat panas di tangan ku semakin bertambah dengan suhu tangannya. Ia menatap khawatir pada ku. Orang yang pertama kali menanyakan keadaan ku saat ini.

"Taufan? Kau sudah sadar? Kau tidak apa-apa? Apa yang kau rasakan?" Rentetan pertanyaan itu membuat kepala ku semakin berdenyut. Aku melepaskan tangan ku yang digenggam erat oleh Ayah. Aku mengibaskannya berusaha memberi tau kalau aku tidak apa-apa.

Aku memejamkan mata ku saat denyut di kepala ku kembali mendera. Aku sampai tidak bisa menggapai benda apa pun termasuk gelas di atas meja di sebelah kasur ku.

"Pusing?" Itu suara Halilintar yang berada di sebelah Ayah. "Hn." Aku berdehem singkat untuk menjawabnya. Di satu sisi, ada Solar si calon Dokter Muda tiba-tiba ada di sisi ku. Meletakkan stetoskopnya di dada ku seperti sedang memeriksa pasien. Berawal dari dada turun ke perut. Eh, ini beneran diperiksa atau hanya main-main?

"Kata Dokter, kau hanya demam biasa, Fan." Halilintar menghalau tangan Solar yang sepertinya memang hanya bermain-main.

Demam biasa? Tapi rasanya seperti akan menemui ajal. Aku diam tidak memperdulikan apa kata mereka. Yang aku pikirkan justru, Ini jam berapa? Hari apa? Juga tentang ... Sepatu siapa malam itu?

Aku memegang kepala ku yang berdenyut. Tidak sadar ternyata aku sudah menggunakan Bye Bye Fever di dahi. Aku mengeluh dalam hati. Kenapa mereka semua memperlakukan ku seperti anak bayi?

"Taufan, minum obat dulu, ya? Biar pusing sama demamnya sembuh," ucap Ayah yang di tangannya sudah siap dengan dua macam obat. Aku diam pura-pura tidak mendengarkan. Di sisi lain Ayah Gempa menyuruh Hali untuk menyiapkan borgolnya.

Aku mulai meringis dalam hati. Kenapa harus menggunakan borgol seperti akan menganastesi para tahanan. "Hali, sudah siap borgolnya?" tanya Ayah Gempa yang dihadiahi anggukan oleh Hali.

Solar mundur saat Gempa memegang bahunya menyuruhnya untuk menyingkir. Gempa sudah berancang-ancang untuk mengambil tangan ku. Aku menahan tangan ku sekuat tenaga. Aku melirik kecil melihat Gempa yang tersenyum penuh arti.

"Kak Taufan sadar, Yah. Siap-siap." Aku hafal kode yang Gempa kata kan. Mereka akan mengunci segala akses pintu keluar lantas memborgol ku dan mencekoki ku dengan obat. Ini tidak manusiawi!

Ayah ku melihat mereka dengan pandangan cengo. Awalnya ia tidak enak hati saat melihat kaki ku yang diikat menggunakan rantai besi. Sekarang kerut keningnya semakin kentara saat melihat borgol di tangan Halilintar dan kode penuh arti dari Gempa. Ia tidak terima melihat anaknya diperlakukan seperti tahanan.

"Kenapa pakai borgol? Kakinya dirantai pula." Ayah Gempa terkekeh sembari menepuk punggung Ayah ku pelan. "Dari jaman masih bayi sampai sekarang, dia paling susah diminumin obat. Segala macam drama ia lakukan agar tak minum obat. Beberapa bulan lalu ia kabur dari rumah sakit karena disuruh minum obat. Waktu SMP dia tantrum. Waktu SMA dia pura-pura pingsan. Waktu masih Maba bolak balik waktu sakit, dia sembunyi di setiap sudut rumah sampai kami frustasi nyarinya. Dan sekarang kami sudah absen setiap inci rumah dari semalam biar Taufan tidak kabur."

TAUFAN?! : New Adventure [Tamat] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang