Keliling Kota

87 13 5
                                    

Ini sudah hari kedua semenjak aku sakit demam. Sudah berkali-kali pula mereka mencekoki ku obat. Duri dan Solar dipindahkan ke kamar lain sampai aku sembuh nanti. Ayah Gempa juga berhasil membuat negosiasi dengan Ayah bahwa aku akan menginap di rumah ini sampai aku sembuh.

Berkali-kali Halilintar memaksa ku untuk rawat inap di rumah sakit tapi aku menolaknya. Aku lelah dan bosan hanya menatap langit-langit kamar ku. Walaupun jujur, aku merindukan rumah ini.

Aku melihat Halilintar yang mengecek suhu tubuh ku. Duri dan Solar? Mereka ada mata kuliah.

Aku sempat bingung bagaimana mereka bisa punya jadwal yang sama? Tapi setelahnya aku ingat, mereka satu kampus, satu kelas, satu semester, juga mereka bisa bebas memilih mata kuliah mereka sendiri. Dan jelas mereka berdua memilih mata kuliah yang sama di hari dan jam yang sama pula.

Gempa juga sama. Dia ada dua mata kuliah hari ini. Jelas kuliah Gempa hari ini lebih lama dari Solar dan Duri yang katanya sekarang hanya ada praktikum. Ais pergi kerja dan Blaze yang entah kemana.

Tangan dingin Halilintar menyentuh dahi ku untuk mengecek suhu tubuh ku. Berawal dari dahi, leher, tangan dan kaki. Itu untuk memastikan tidak ada perbedaan suhu yang membuat ku rentan mendapat bahaya. Normal. Setelahnya ia mengambil termometer di mulut ku.

37,6°C

Aku sudah sembuh.

"Istirahatlah sejenak. Ini masih pagi. Jangan terlalu banyak gerak. Makan sarapan mu kalau kau tidak ingin ku cekoki obat lagi!" Aku mengangguk malas. Menatap makanan di atas nampan itu yang tidak membangkitkan selera makan ku.

"Atau mau ku suapi?" kata Hali membuat ku mendelik tidak terima. Halilintar yang sudah ancang-ancang mengambil piring di atas nampan, tangannya ku tepis. Aku meletakkan nampan itu di atas pangkuan ku lalu memakannya selahap mungkin. Jangan sampai disuapi Hali lagi!

Bayangkan saja, selama aku sakit, mereka semua bergiliran ingin menyuapi ku. Aku yang kehilangan tenaga untuk menyentuh berbagai macam benda saat itu hanya bisa pasrah.

Halilintar menyeringai kecil lantas pergi keluar saat melihat ponselnya bergetar di meja. Yah, Halilintar begitu sibuk belakangan ini. Dan kali ini giliran Halilintar yang menjaga ku. Ayah Gempa juga ada urusan dengan beberapa pekerjaannya di luar yang sudah tertunda beberapa hari.

Selesai menyantap makanan ku, aku meletakkan nampan yang makanannya sudah raib itu di atas meja kecil kembali. Aku menurunkan kaki ku ke lantai berniat untuk ke kamar mandi.

"Mau ke mana?" Halilintar bertanya saat melihat ku berdiri. "Kamar mandi." Aku sedikit meringis dalam hati. Punggung ku masih terasa sakit.

"Mau ku temani?" Aku mendelik kesal padanya. "Kamar mandi hanya berjarak 2 meter begitu ingin kau temani? Gila!" hardik ku yang lalu meninggalkannya enggan berdebat. Dapat ku dengar suara kekehan kecil yang lolos dari bibirnya.

Aku menghiraukannya. Setelah menutup pintu kamar mandi, aku menyalakan kran air agar seakan-akan aku tengah buang air besar.

Aku menatap kaca di depan wastafel. Bibir ku sudah kembali normal. Tidak seputih salju lagi. Perlahan aku membuka baju ku. Dapat terpampang jelas luka gores panjang melintang di punggung dekat leher ku. Memar biru yang tidak kunjung menghilang dan justru semakin menggelap. Aku meringis melihatnya. Bagaimana ini?

Aku mengambil obat salep yang ku ambil dari P3K diam-diam. Ku sembunyikan di ventilasi kamar mandi sehingga tidak ada yang mengetahuinya. Aku dengan susah payah mengoleskannya hingga rata menyapu seluruh luka dan memar.

Selama ini tidak ada yang membahas mengenai luka di punggung ku. Yang mereka tau, aku hanya demam.

"Kau tidak tidur kan, Fan?" Ketukan pintu yang dilayangkan oleh Halilintar terdengar. Aku berdehem kecil menjawabnya. Setelah mengoleskan salep hingga rata menutupi luka dan memar, aku memakai baju ku kembali. Mencuci tangan dan kaki seakan benar sudah buang air. Tidak lupa aku mematikan kran air lalu keluar dari kamar.

TAUFAN?! : New Adventure [Tamat] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang