Bandara

72 18 12
                                    

Om Nova melihat saudaranya yang begitu berantakan. Tidak seanggun dan gagah saat sebelum aku bertemu dengannya. Dia benar-benar berbeda. Jauh berbeda.

Om Blizzard saat ini ditahan sementara oleh keluarga Verniante sampai sidang dilakukan. Walaupun begitu, hukuman mati tetap akan berlaku katanya.

"I know that you're not psyco, right? (Aku tau kalau kau bukan psikopat, benar?) Dendam? Kau tidak perlu berdendam, Nong. I know he's your world. But remember this; people come and go. (Aku tau dia dunia mu. Tapi ingat ini; orang datang dan pergi.) Kau jangan terpaku dengan kematian Ayah. Kau ada aku. Aku ada kau. Maybe kau baru tau kalau kita saudara kembar. Tapi setelah kita sudah tau, kita bisa membentuk hubungan persaudaraan yang lebih baik lagi." Om Nova memegang tangan Om Blizzard lembut. Berusaha memberi kekutan padanya.

Om Nova yang aku lihat saat ini benar-benar berbeda. Aura mengerikannya berubah seketika. Dia menjadi begitu lembut pada kembarannya. Ini begitu menyayat hati melihatnya.

"Aku sudah berusaha semaksimal mungkin buat mempertahankan ini. Tapi kalau kau mau rehabilitasi, aku bisa meminta pertimbangan kepada Voltra. Aku kesampingkan ego kalau itu buat kau kembali bahagia seperti saat kau kecil. Voltra pasti ngerti. Dia paling berperasaan, beda dengan Thundres. Mau ya? Dari pada dihukum mati, Nong." Om Nova menundukkan kepalanya sedih. Dia sudah berkali-kali menahan diri untuk tidak menahan nangis saat mengingat Adiknya tapi tidak bisa.

"Dia jahat, Phi. Jahat. Bagaimana dia membunuh Ayah di depan mata ku. Bagian tubuhnya ditendang ke liang lahat tanpa belas kasih. Dia jahat." Mata Om Blizzard sudah banjir dengan air mata. Tatapan matanya begitu kosong.

"Mereka semaunya sendiri seakan mereka tuhan." Om Blizzard terkekeh sembari mengusap air matanya. "Dan dengan baiknya Tuhan memberikan kematian yang indah kepada orang itu," lanjutnya. Om Nova menggeleng. Dia tidak suka melihat Adiknya seperti ini.

"Tapi, Nong," sahut Om Nova. Om Blizzard menggeleng pelan. "Aku cuma menembak kedua anak Kul'dar itu. Supra dan Gentar. Yang lain bukan aku yang melakukannya," lirih Om Blizzard. Aku yang mendengarkan dari jauh terdiam. Bukan Blizzard? Lalu siapa?

"I just tell you to be carefull. (Aku hanya bilang pada mu untuk hati-hati.)" Om Blizzard menatap ku yang duduk sedikit jauh di sebelahnya. Aku terdiam membeku mendengarnya.

"Nong? Mau, ya, rehabilitasi? Biar traumanya hilang," tanya Om Nova lagi. Om Blizzard mengangguk. Dia setuju untuk melakukan rehabilitasi. Senyuman ku mengambang sempurna melihatnya. "Berhenti dari dunia bawah, ya?" tanya ku pada mereka. Mereka saling pandang sejenak. Lucu. Kalau sudah kembar selalu saja kompak.

"Kalau sudah masuk ke sana, mana bisa keluar? Yang benar aja!" tolak Om Nova membuat ku melotot padanya. "Sama aja kau yang mau masuk ke sana!" seru ku.

"Dasar rubah!"

>\+v+/<

Aku pulang. Benar-benar pulang ke rumah. Maksud ku, ke kota kelahiran ku.

"TAUFAN! KE MANA SAJA KAU, HUH? AYAH KHAWATIR KAU KENAPA-NAPA!" Baru saja sampai, Ayah ku langsung menerjang ku dengan pelukan. Aku tersenyum bahagia. Akhirnya aku bisa bertemu dengan Ayah ku lagi. Aku pikir, aku akan mati sebelum mengucapkan selamat tinggal pada Ayah ku dan Bunda.

Aku loncat menerjangnya balik. Walaupun Ayah ku sudah tua, punggungnya sering berbunyi, tapi jika disuruh menggendongku, dia nomor satu.

"Ayah, aku ketemu Bunda, Ayah! Akhirnya aku ketemu Bunda!" Aku merengek padanya. Ternyata begini ya rasanya punya orang tua kandung yang lengkap dan perhatian.

"Beneran? Mana Bunda mu?" Aku menoleh ke belakang. Dapat aku lihat Bunda sudah berkobar-kobar menahan amarah. "Tante, Taufan diculik Om Beliung selama Tante koma. 5 bulan, Tante. Lima bulan! Bayangkan, sudah berapa lama Taufan dirasuki oleh Om Beliung?" Dan di belakangnya ada Blaze yang memanas-manasi Bunda ku.

TAUFAN?! : New Adventure [Tamat] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang