Again

60 14 11
                                    

Aku tersenyum sembari bersenandung kecil. Di tangan ku terdapat sampah kertas hasil dari bermain bersama Gempa, Adik ku yang masih begitu kecil nan rentan itu.

"Buang sampahnya, ya, anak pintar!" Bunda mengusak rambut ku lantas masuk ke dalam. Ingat bahwa ia lupa tengah memasak kuah.

Aku tersenyum kecil. Hidup yang begitu indah. Punya Adik, punya Kakak yang baik, Ayah yang mengayomi, Bunda yang perhatian. Rasanya dunia ini begitu baik pada ku.

Aroma masakan Bunda tercium dari teras rumah. Buru-buru aku berlari menuju tempat sampah merasakan perut ku yang bergemuruh minta diisi. Tapi, aku justru mendengar suara yang begitu asing dari kejauhan di telinga ku.

SREK!

JLEB!

Suara itu begitu aneh. Menakutkan. Tapi rasa penasaran ku begitu besar. Setelah berhasil membuang sampah, kaki kecil ku bergegas berjalan mengikuti sumber suara.

Aaaa! T-to-tolong! Emph!

Rasa penasaran itu semakin membesar seiring terdengarnya suara anak kecil yang begitu menjanggal itu. Aku terus berjalan hingga tanpa sadar kalau aku sudah jauh dari rumah kecil nan hangat milik ku.

Hingga aku mendengar suara isak tangis anak kecil. Aku berbelok menuju lorong kecil yang dijadikan sebagai tempat sampah perumahan. Mata ku mendelik melihatnya. Bau harum masakan Bunda berubah menjadi bau anyir nan busuk sampah.

Kaki ku berhenti melangkah saat beberapa senti di depan terdapat cairan berwarna merah yang begitu kental. Bau anyir itu berasal dari sana. Pundak ku mulai bergetar ketakutan. Penampakan di depan ku adalah hal yang begitu mengerikan untuk anak sekecil aku.

Di depan ku, terdapat anak kecil yang tersenyum pada ku. Wajahnya penuh dengan bercak darah. Tubuhnya sudah berlumuran darah. Anak kecil itu tersenyum pada ku. Senyum yang begitu mengerikan, membuat ku terus menerus mengalami mimpi buruk di masa depan.

Di depan anak itu terdapat organ-organ tubuh yang sudah berceceran tidak berada di tempatnya semula. Potongan-potongan daging yang sudah tercincang rata. Dan di tangan anak itu terdapat bambu kecil yang berlumuran darah.

Anak itu melepaskan bambu kecil di tangannya lalu kedua tangannya diangkat hingga sampai ke depan wajahnya. Ia mengacungkan 10 jarinya di depan wajah ku. Tangan anak itu begitu putih bersih, tapi sayang sekali sekarang sudah berubah menjadi warna merah.

"Ku hitung sampai sepuluh untuk menyelamatkan diri," ucapnya sembari tersenyum lebar.

"Satu," katanya mulai berhitung.

"Dua,"

Merasakan alarm bahaya itu aku lantas berlari secepat mungkin menuju ke rumah. Begitu cepat hingga kaki ku rasanya akan patah jika terus dipaksakan lagi. Napas ku mulai tercekat. Ini gila! Malam terburuk sepanjang hidup ku.

"Sepuluh." Hitungan terakhir, sedikit lagi aku sampai ke rumah. Hunian ku yang begitu indah. Bukannya aku berbelok memasuki pagar rumah, aku justru tersandung batu di dekat ku.

Jantung ku berdetak begitu cepat hingga terasa akan terlepas dari tempatnya. Aku berusaha berdiri kendati kaki ku tidak bisa dibawa berjalan lagi. Hingga aku berbalik ke belakang, melihat anak kecil itu yang sudah berdiri tegak di belakang tubuhku. Anak itu mengacungkan bambu kecil yang berada di tangannya bersiap untuk ditusuk kan ke tubuh ku.

Senyumnya, ia tersenyum pada ku lagi. Napas ku tercekat. Hidup ku serasa tinggal sedetik hingga tangan anak itu mengarah ke tubuh ku.

PUK!!

"Aaaa!" Aku mendelik kaget. Beberapa kali aku mengambil napas. Lengan ku terasa kebas. Setelah tenang, aku mulai melirik ke sekitar.

Aku berada di pesawat. Di sebelah ku terdapat seorang pramugara yang membangunkan ku dari mimpi buruk ini. "Maaf, Kak. Tapi kita sudah sampai di Korea." Pramugara itu berujar lembut pada ku membuat ku tercenung. Aku benar-benar tertidur di sepanjang perjalanan.

TAUFAN?! : New Adventure [Tamat] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang