CHAPTER 40

1.3K 80 3
                                    

vote+koment:)

vote+koment:)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Keadaan di sekitar rumah sakit Entrinnia begitu mengerikan. Puing-puing bangunan berserakan di mana-mana, dan asap hitam tebal masih membubung dari reruntuhan yang hangus terbakar. Bau tajam debu, kayu terbakar, dan asap terasa menusuk hidung. Jeritan samar terdengar dari beberapa korban yang selamat, sementara prajurit dan penduduk setempat sibuk mencari orang-orang yang terjebak di bawah reruntuhan.

Di tengah kehancuran ini, Eleanor berdiri terpaku, matanya dipenuhi air mata yang tertahan. Tubuhnya gemetar tak kuasa menghadapi pemandangan memilukan di depannya. Bangunan yang dulu megah dan menjadi kebanggaan kota kini hancur berkeping-keping, menyisakan hanya bayangan dari kejayaannya. Leone berdiri di sampingnya, dengan cepat menangkap tubuh Eleanor yang hampir terjatuh, memeluknya erat untuk memberikan dukungan.

Angin yang dingin di pagi itu terasa menambah kesuraman suasana, namun di udara, ada ketegangan yang tak terjelaskan, seolah ancaman lebih besar masih mengintai di balik reruntuhan ini.

Saat Eleanor dan Leone memandang sekeliling, mereka menyadari bahwa di tengah kerumunan penduduk dan prajurit yang panik, tidak ada satu pun bangsawan yang tampak di lokasi kejadian. Hanya mereka berdua yang berdiri di antara reruntuhan, berbaur dengan para rakyat biasa.

Eleanor, yang biasanya selalu dikelilingi oleh kalangan atas, merasa aneh dengan ketidakhadiran bangsawan lain di tempat yang seharusnya menjadi prioritas untuk mereka. Rumah sakit ini adalah simbol kebanggaan Entrinnia, dan hilangnya para bangsawan di saat-saat krisis seperti ini membuat perasaannya semakin tidak tenang.

Leone memandang sekeliling dengan tatapan tajam, lalu mendekatkan dirinya ke Eleanor. "Mengapa hanya kita di sini?" tanyanya pelan, seolah menyuarakan pikiran yang ada di benak Eleanor. Tidak ada jawaban, hanya kegelisahan yang merayap di udara dingin pagi itu.

Eleanor menggigit bibirnya, matanya kembali menyapu reruntuhan, mencari sosok yang dikenal, namun yang terlihat hanyalah kesibukan rakyat dan prajurit yang berusaha menyelamatkan yang masih hidup. Di dalam hatinya, terbersit rasa waspada yang semakin kuat—seakan ada sesuatu yang jauh lebih besar sedang terjadi di balik semua ini.

Eleanor berbicara dengan para perawat yang tersisa di lokasi, wajah mereka tampak kelelahan dan dipenuhi kesedihan. Salah satu perawat yang lebih tua menjelaskan dengan suara bergetar, "Banyak dari kami mungkin sudah tiada. Tim medis yang ada di dalam gedung saat pengeboman kami tidak bisa menemukan mereka. Rumah sakit hancur, dan kami kekurangan peralatan serta tenaga. Perawatan akan semakin sulit."

Mendengar hal itu, Eleanor merasakan beban yang semakin berat di dadanya. Dia menatap reruntuhan di sekelilingnya, membayangkan bagaimana kondisi korban-korban yang belum tertolong. Eleanor tahu bahwa tanpa rumah sakit dan tenaga medis yang cukup, banyak nyawa yang akan sulit diselamatkan.

Dia menarik napas panjang, mencoba tetap kuat dan berpikir cepat, "Kita harus segera mendirikan pusat perawatan sementara dan memanfaatkan apa pun yang bisa kita selamatkan dari rumah sakit ini. Kita tidak boleh menyerah."

Eleanor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang