Episode 10 - Lie For Dream

42 9 0
                                    

4~ Saat sang putri matahari berjalan di atas papan menuju kematian impiannya. ~

Ave berjalan cepat mengejar Zaid, tapi pria itu sudah masuk dalam ruang kerjanya. Saat melewati Jenny, Ave mengatupkan kedua tangannya di depan dada sambil menunjuk pintu. Jenny tak berkata apa-apa, hanya membiarkan Ave mengetuk pintu ruang kerja Zaid.

Tak ada jawaban. Tapi Ave tahu ia tak bisa menunggu. Maka gadis itu pun masuk ke ruang kerja Zaid dengan perlahan. Mengintip dulu sebelum masuk.

Zaid tak sedang duduk di kursi kerjanya. Pria itu duduk di atas sofa sambil melipat tangan di depan dadanya. Jas yang tadi ia kenakan sudah lepas dan disampirkan di sandaran sofa lain begitu saja. Wajah dan rambutnya masih terlihat lembab, sepertinya Zaid baru saja mencuci mukanya. Tapi Ave masih bisa melihat wajah Zaid yang merah padam dengan bibir melengkung ke bawah. Matanya yang masih gelap melirik Ave seakan sedang melemparkan sebilah pisau.

Ave jadi takut melihatnya. Tapi ia tak bisa membiarkan impiannya melayang begitu saja.

"Maa... maaf, Pak. Tapi Bapak salah paham, jadi... " Dengan terbata-bata, Ave berusaha menjelaskan. Dugaannya salah, menghadapi Zaid tak semudah dugaannya. Hati pria ini benar-benar sedingin es.

"Apa lagi?" tanya Zaid dingin.

Ave makin dekat. "Mas... Pak Ajie itu sudah seperti... seperti sahabat saya, Pak. Istrinya... " Ave ragu meneruskan dustanya, sekaligus kuatir ketahuan. "Istrinya Mas eh Pak Ajie itu sahabat karib saya. Dia sedang hamil dan Pak Ajie menitipkannya pada saya."

Kedua alis Ajie terangkat. "Menitipkan istrinya? Hanya sahabat? Ada ya sahabat cowok dan cewek saling berpelukan begitu?"

Kenapa sih semua orang begitu sensitif dengan urusan pelukan? Di Sydney sana, Avelia bahkan melihat orang berciuman di tengah keramaian dan semua orang bersikap 'whatever' tanpa menghakimi mereka. Sekarang di sini, ia harus mentolerir perasaan semua orang. Sayangnya, Ave seringkali lupa hal itu. Lagipula Ajie kan kakaknya, tentu saja itu tak masalah.

Tapi pria di depannya ini tak tahu soal itu. Kalau Ave memberitahunya, itu sama saja senjata makan tuan. Jelas sekali kalau Zaid tak menyukai Ajie, apapun alasannya. Mungkin itu sebabnya Natasha begitu yakin kalau keduanya takkan berhubungan. Sekarang Ave melihatnya sendiri. Sesuatu terjadi di antara Ajie dan Zaid, tapi Ave tak bisa menyelidikinya sekarang. Setidaknya ia harus bisa meloloskan diri dari tuduhan dulu, tanpa menyebutkan hubungan antara dirinya dan Ajie.

"Itu... " Ave memasang wajah sedih dan murung. "Saya menganggapnya sebagai pengganti kakak saya yang udah... " Ave menutup wajahnya. Berusaha menahan tawanya yang nyaris pecah. Ia tak pernah bisa menahan tawanya setiap kali berbohong.

Melihat Ave menutup wajahnya dan bahunya bergetar, wajah Zaid melembut. Mengira Ave sedang menahan tangis. Ia tak menyangka gadis periang ini sudah kehilangan kakaknya.

"Benarkah? Apa kalian memang seakrab itu?" tanya Zaid. Kali ini suaranya lebih pelan dan lebih lembut.

Ave mengangkat kepalanya setelah merasa sanggup menahan tawa. Ia mengangguk. "Kalo Bapak gak percaya, besok saya ajak istrinya Pak Ajie. Silakan Bapak tanya ke dia," kata  Ave meyakinkan. Lily sudah lama mendesak Ave untuk mengajaknya ke tempat kerjanya. Wanita itu pasti senang sekali.

"Baik! Sampai kamu bisa membuktikan ucapanmu itu, bawa apapun yang bisa kamu jadikan bukti kalo hubungan kalian benar-benar hanya teman. Tapi jika saya tahu kamu bohongi saya, tak perlu surat resign, kamu tak usah datang-datang lagi ke kantor ini. Mengerti?"

Dengan kuduk merinding, Avelia mengangguk. Barusan ia sudah berbohong, entah apa saat Zaid tahu nanti ia bisa lolos dari hukuman mati ala Zaid. Pria ini benar-benar tak punya hati. Sudah beku terlalu lama jadi bujang lapuk.

Tangan Zaid mengibas-ibas, memberi isyarat agar Ave keluar dari ruang kerjanya. Dengan langkah gontai, Ave pun keluar. Saat itu sudah ada Jenny berdiri dekat pintu, menunggunya.

"Sebenarnya ada apa sih, Ve?" tanya Jenny.

Ave menatap Jenny murung. "Ave dikira selingkuh, Mbak. Terus disuruh resign. Ya paniklah Ave."

Mulut Jenny membentuk O sebelum berujar pelan, "Pak Zaid itu sangat membenci perselingkuhan, Ve. Makanya dia kayak gitu sama kamu. Staf di sini semua udah tau. Memangnya kamu dituduh selingkuh sama siapa?"

"Suami temannya Ave, Mbak. Tadi Pak Zaid lihat waktu Ave ketemuan di cafe."

"Terus? Udah kamu jelasin sama Pak Zaid?"

"Udah, Mbak. Tapi Pak Zaid gak percaya, jadi besok Ave harus ajak temannya Ave buat jelasin juga. Biar Pak Zaid gak salah paham lagi."

"Ah ya, begitu baru benar tuh, Ve. Sudahlah, kamu tenang aja! Semua masalah pasti bisa diselesaikan."

Hanya Jenny tak mengatakan sesuatu. Baru kali ini ia melihat bosnya ikut campur dalam urusan pribadi karyawannya. Aneh tapi... Jenny menggelengkan kepalanya dan kembali menekuni pekerjaannya sendiri.

Ave hanya mengangguk lesu sebelum duduk di kursinya. Ia meletakkan dagunya menempel pada meja dan menatap layar dengan tatapan kosong. Saat itu, Akbar juga sudah datang. Melihat gaya Ave ia mengira gadis itu sakit.

"Kamu kenapa, Ve? Kok keliatan lemas gitu? Sakit? Mau dibawain obat biar sakitnya hilang?" tanyanya sambil menawarkan bantuan.

"Iya Mas, kepala Ave sakit," gumam Ave. Ia memiringkan kepalanya, menoleh pada Akbar.

"Sakit kenapa? Darah rendah, darah tinggi atau stress? Kalo cuma sakit kepala, saya bisa nyariin obatnya. Yang penting tahu penyebabnya dulu."

"Beneran Mas bisa ngilangin penyebab sakit kepala?" tanya Ave mengulang.

Dengan penuh percaya diri, Akbar mengangguk.

"Kalo begitu, ilangin tuh Boss es loli di dalam tuh! Gara-gara dia Ave sakit kepala, marah-marah gak jelas mulu," kata Ave sambil menunjuk ke arah ruang kerja Zaid.

Seringai masam terlihat di wajah Akbar. "Kalo yang satu itu, saya nyerah dah, Ve. Dari dulu juga saya pengen ngilangin, gak ilang-ilang. Ya sudah Ve... nikmati aja sakit kepalamu itu! Entar juga terbiasa kok. Saya juga gitu."

Tuh kaaan? Tetap saja, Ave tak bisa berbuat apa-apa. Sementara Akbar sudah mulai membuka laptopnya sembari tersenyum kecil dan mulai mengerjakan tugasnya sendiri. Ave menyandarkan punggungnya ke kursi dan mulai mengirim pesan ke Lily.

[Ave: Kakak iparku yang cantik, besok lunch di kantor gue bisa gak?]

[Lily: Beneran? Udah boleh ya?]

[Ave: Iya, Kak. Ada teman gue pengen kenalan ama lo.]

[Lily: Insya Allah, Cinta. See you tomorrow!]

Avelia tersenyum. Beres! Besok semuanya pasti akan jadi jelas untuk Zaid.

Sambil tetap bersandar pada kursi, Avelia tersenyum malu sendiri. Bagaimana bisa ia berpikir Zaid menyukainya? Tidak dipecat setelah berdebat dengan pria itu saja seharusnya membuat Ave berterima kasih. Jadi ia tak boleh berpikir macam-macam lagi. Tak semua hubungan boss dan sekretaris bisa seperti hubungan Ajie dan Lily. Lebih-lebih lagi, ia hanya staf magang yang bisa sewaktu-waktu dipecat. Ia benar-benar bukan siapa-siapa di sini. Bukan seorang putri atau sekretaris cantik jelita seperti Lily. Semua orang takkan menganggapnya.

Apalagi untuk pangeran tampan berwajah dingin itu.

Tepat saat Avelia mengangkat kepalanya, Hazmi lewat sembari melambai tangan padanya. Ah ya! Inilah pangeran sesungguhnya. Wajah tampan, senyum menawan dan sikap yang menyenangkan. Pangeran berhati es buang aja ke laut dah!

*****

Putri Matahari dan Pangeran Salju (2024)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang