Episode 50 - The Evil Yearning

22 7 0
                                    

~ Rindu itu jahat, Sayang! (Ave) ~

Ave menatap secarik kertas di atas meja makan dengan kecewa. Bahunya merosot tak bersemangat.

- Jangan lupa sarapan. Saya duluan. Nanti kamu naik taksi saja. Zaid.

Untuk kesekian kalinya, Zaid tak sarapan pagi lagi bersamanya. Walaupun pria itu tak pernah lupa membuatkan sarapan untuk Ave, tapi ia tak pernah menunggu.

Semalam Ave menunggunya makan malam bersama, cukup larut malam saat akhirnya Zaid pulang.

"Aku udah makan tadi dengan klien. Kenapa kamu belum makan?" tanya Zaid saat Ave memintanya untuk makan malam bersama.

Lalu tanpa menunggu Ave menjawab, Zaid sudah naik tangga menuju kamarnya sambil berkata lagi, "Aku lelah, Ve."

Ave tak mengerti apa yang sedang terjadi. Hanya saja sekarang Zaid kembali menjadi Zaid yang dingin. Ave ingin sekali bertanya, tapi ia tak punya kesempatan itu.

Belakangan Zaid lebih banyak diam, lebih sering mengunci diri di kamarnya dan tak lagi pulang atau pergi kerja bersama Ave.

Tugasnya sebagai Chef di rumah Zaid memang tak lagi jelas. Setiap pagi, Zaid memasak sendiri sarapan untuk dirinya dan Ave.

Walaupun Ave masih memasak untuk makan malam, Zaid tak pernah pulang tepat waktu atau makan di rumah lagi. Alasannya selalu ada.

Sudah makan dengan klien, sudah makan saat di studio bersama para kru, sudah makan dan masih kenyang. Lalu pria itu masuk kamar dan tak keluar-keluar lagi hingga pagi.

Andai saja pekerjaan Ave juga tak sedang menumpuk. Di saat yang sama, sejak kesuksesan timnya, Ave dibombardir aneka proyek. Bahkan ia juga diminta ikut membantu tim lain. Tentu saja, Ave senang karena itu artinya insentif bonusnya bertambah banyak.

Apakah karena itu? pikir Ave bingung.

Tidak mungkin Zaid tak tahu soal itu. Kalau pria itu marah karena pekerjaan Ave yang banyak ini, ia pasti akan bicara langsung pada Pak Bambang.

Anehnya Pak Bambang justru tersenyum penuh arti. "Makin banyak kerjaanmu kan biar cepat gendut rekeningmu, Ve. Pak Zaid bilang kamu akan senang banget dengan insentif yang nambah banyak."

Harus Ave akui, itu benar. Dalam dua minggu ini, ia menyelesaikan lebih dari 5 proyek storyboard. Idenya meluap tak henti-hentinya karena Ave mulai menikmati pekerjaan barunya.

Tak disangka seluruh pengetahuan yang ia dapatkan saat kuliah di Sydney, benar-benar bekerja dengan baik. Saat Ave menerima laporan administrasi perhitungan insentif dari Rose, senyum lebarnya tak berhenti mekar hingga terbawa dalam mimpi.

Ave tak lagi perlu menunggu setahun. Jika ia menerima sebanyak ini lagi hingga tiga bulan ke depan, maka dalam sekejap uang yang diperlukannya untuk membuktikan diri pada Papa akan terkumpul.

Tapi Ave rindu pada Zaid. Senyum unik di wajah datar itu mulai mengabur dari kenangan Ave. Sudah lama sekali mereka tak mengobrol sambil bercanda atau berdebat.

Ave memandangi piring yang kini meninggalkan separuh telur goreng, sayuran, dan potongan sosis bersama mashed potato yang belum tersentuh. Seleranya meluap saat memikirkan Zaid.

Dengan lesu, Ave mengangkat piringnya dan membuang isinya ke tempat sampah. Mencuci bersih, sebelum akhirnya mematikan lampu dapur.

Setengah melamun, di dalam taksi, Ave kembali memikirkan semua yang telah terjadi.

Apakah karena ia sudah menyatakan cinta pada Zaid di malam gathering itu?

Punggung Ave menegak. Ia teringat saat dulu menyatakan cinta pada Elang. Elang juga sempat berubah. Hubungan mereka berubah canggung sebelum Ave memilih untuk menghindar.

Tapi, hubungan Zaid dengan Ave tak sama seperti hubungan Ave dengan Elang dulu. Zaid bahkan menyatakan perasaannya berkali-kali pada Ave.

Lalu apa karena kini Zaid sudah tahu perasaan Ave makanya pria itu menghindar? Atau karena Zaid hanya ingin membuktikan kalau ia bisa menaklukkan hati Ave?

Bulu kuduk Ave meremang. Wajahnya terasa panas. Airmatanya mulai menghangat di sudut matanya. Tapi tidak bisa. Itu tidak mungkin. Ave bukan anak kecil yang tak bisa membedakan arti sentuhan, kata-kata, dan semua yang dilakukan Zaid padanya. Tak mungkin semua itu hanya tipuan belaka. Zaid mungkin selalu bersikap dingin, tapi pria itu bukan orang yang suka menipu.

Sambil meremas ujung blusnya, Ave menarik napas dalam-dalam. Ia harus memastikannya langsung pada Zaid. Harus.

Dengan langkah mantap Ave bergerak menuju lantai tempat Manajemen berada.

Ruangan itu masih sepi. Hanya ada Pak Suwiryo dan Akbar yang sedang membawa secangkir kopi ke meja kerjanya.

"Halo, Ve! Tumben langsung ke sini!" sapa Akbar.

Ave mengangguk. "Halo, Mas! Ave mau ketemu Pak Zaid ada?"

Kening Akbar berkerut. "Loh, kamu gak tau? Pak Zaid kan ke Denpasar hari ini. Besok langsung ke KL, keponakannya ulang tahun."

Ave termangu. Tak bisa berkata apa-apa. Ia tak tahu apapun soal itu. Tak ada yang memberitahunya. Zaid bahkan tak mengatakan apapun semalam saat terakhir mereka bertemu.

Pria itu hanya terlihat begitu lelah. Itu artinya akhir pekan yang ingin dijadikan kesempatan Ave untuk bicara dengan pria itu juga tak mungkin ada. Zaid akan menghabiskan seluruh pekan di kota lain dan baru kembali hari Senin.

Seperti merasakan kebingungan Ave, Akbar tersenyum kaku. "Kita juga baru diinfo kemarin kok, Ve. Harusnya Mas Hazmi yang ke sana, tapi berubah karena Mas Hazmi kurang sehat."

"Mas Hazmi sakit?"

Kali ini Pak Suwiryo yang mengangguk. "Iya, malah Hazmi juga demam tinggi semalam. Makanya hari ini Mbak Jenny izin nganterin ke rumah sakit sebentar. Kalau kamu mau tanya-tanya soal jadwalnya Pak Zaid, sebaiknya langsung WA Mbak Jenny aja, Ve. Memang banyak yang berubah mendadak."

Ave sangat berharap Pak Suwiryo benar soal itu. Tapi... ada sesuatu yang mulai memberati hati Ave.

Ia merasa tak lagi istimewa untuk Zaid, hingga hal sepenting ini saja lewat dari perhatian Zaid. Zaid tak memberitahukan kalau keponakannya berulangtahun.

Jika Ave tahu, ia pasti akan membelikan Layla sebuah kado, sesuatu yang bagus untuk seorang remaja sepertinya. Keluarga Zaid kini juga menjadi bagian istimewa di hati Ave dan secara pribadi, ia juga menyukai Layla.

Di ruang kerjanya sendiri, di sela kesibukannya, Ave membuka ponsel. Memeriksa IG Zaid. Tak ada apapun. Hanya postingan biasa tentang pekerjaan dan kantor. Tak ada foto-foto Layla yang sedang berulang tahun.

Dengan murung, Ave membuka pesan. Ia berpikir sebentar sebelum akhirnya mengirim pesan.

Rindu itu jahat, Sayang!
Ia membuat seorang kekasih kehilangan senyum. 
Ia membuat seorang kekasih kehilangan semangat.
Tak bisakah kau bantu usir rindu ini, Sayang?
Jika rindu ini terbuncah karena amarahmu pada kekasih.
Maafkanlah...
Katamu, kekasih adalah bintang di hatimu. Tapi bagi kekasihmu, kau adalah mataharinya.
Bagaimana sebuah bintang bisa bercahaya tanpa mataharinya?

Ave tersenyum tipis sebelum meletakkan kembali ponselnya. Kali ini, apapun yang terjadi, Ave takkan pernah melepaskan Zaid begitu saja. Jika lelaki itu benar-benar hanya mempermainkannya, Ave akan mengejarnya. Jika lelaki itu meragukannya, ia akan meyakinkannya.

Ave tak ingin kecewa untuk kedua kalinya. Pada Elang, ia bahkan tak yakin itu cinta. Tapi tidak pada Zaid. Ini cinta yang sebenarnya.

Senyum penuh keyakinan merekah di wajah Ave. Ajie bisa memenangkan hati kekasihnya yang ditunggu bertahun-tahun, Ave juga yakin ia bisa melakukannya. Keluarga Al Farizi adalah pencinta yang tak kenal menyerah.

Kalau perlu 1001 kata rayuan, Ave akan menuliskannya. Kalau perlu 1001 tindakan, Ave akan melakukannya.

*****

Putri Matahari dan Pangeran Salju (2024)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang